Pendakian Horror Dua Sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998

Pendakian Horror Dua Sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998
Pendakian Horror Dua Sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998

GTA777 – Bulan Desember tahun 1998. Saat itu usiaku belumlah genap 17 tahun dan aku masih duduk di kelas 2 SMA.
Di suatu siang saat jam istirahat kedua, salah satu temanku mendatangiku yang sedang asyik merokok di pojok belakang toilet sekolah. Ya.. salah satu kelakuan nakalku saat sekolah dulu adalah merokok, kuharap tidak ada yang menirunya.
Dia adalah Anton, teman sebangku sekaligus salah satu partnerku mendaki gunung.
“Sialan, kucari-cari di kantin ga ada tenyata mojok di sini pacaran sama asap” ucapnya.

“Nih” jawabku singkat sembari memberikan rokok yang baru kuhisap.
Anton menerimanya lalu segera menghisapnya. Dulu memang kami terbiasa berbagi sebatang rokok untuk bersama. Di kalangan kami, kami menyebutnya dengan “join”.
“Minggu depan naik yuk” ucap Anton.

“Kemana?” Sahutku.

“Sumbing gimana?” Ucap Anton.

“Lagi tipis nih” jawabku mengisyaratkan isi kantongku.
“Gampang. Aku ada segini, tinggal nambah dikit paling cukup. Yaa.. paling ga buat berangkat, logistik, rokok. Pulangnya tar gampang, kita mampir ke tempat saudaraku di Temanggung minta ongkos pulang.. hahahaha” ucapnya.
“Berangkat…” Timpalku.

Ya begitulah kami saat itu ketika merencanakan pendakian. Sedikit saja keyakinan sudah cukup untuk memantapkan keberangkatan kami. Sisanya dipikir nanti sambil jalan.
Harap dimaklumi, jiwa muda yang masih membara terkadang membuat kami mengesampingkan risiko yang mungkin saja terjadi akibat dari perbuatan nekat dengan minim perhitungan.
Tetapi dari segala pengalaman itu, kami bisa belajar untuk semakin mempertimbangkan segala hal, menghitung segala risiko dan membuat antisipasi di perjalanan-perjalanan berikutnya.
Hari yang ditentukan untuk pendakian Gunung Sumbing pun telah tiba. Dengan nekat “cabut” dari sekolah saat jam istirahat pertama di hari sabtu, aku dan Anton segera menuju ke terminal.
Sebelum menaiki bus yang akan membawa kami ke basecamp Gunung Sumbing yaitu di Desa Garung, Wonosobo, kami sempatkan mampir ke toilet terminal dulu untuk mengganti pakaian seragam kami dengan pakaian biasa.
Meskipun tergolong cukup bandel semasa sekolah, tetapi kami berprinsip tetap harus berusaha menjaga nama baik sekolah dengan tidak menggunakan seragam sekolah ketika bolos, karena sekolah kami termasuk sekolah favorit di kota kami.
Setelah semuanya siap, kami pun segera memasuki bus yang telah siap berangkat dengan tujuan akhir Purwokerto, melewati Temanggung dan Wonosobo.
Bus kini telah meluncur. Usai membayar ongkos, kami pun beristirahat karena perjalanan ini lumayan lama. Kulihat Anton sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dengan model tidurnya yang khas yaitu mulut terbuka, dia terlihat cukup lelap.
Aku pun berusaha ikut tidur pula, tetapi sedari tadi kucoba memejamkan mata kurasa sangat sulit untuk bisa menyelami alam mimpi. Ada sedikit perasaan mengganjal dalam hatiku yang justru tak kupahami apa itu.
Kupandangi saja ke arah jendela bus yang telah basah di sisi luarnya akibat hujan yang memang wajar turun di musim ini. Siapa tau dengan memandang ke luar bisa membuatku menjadi ngantuk dan terlelap dengan sendirinya.
Trik yang kucoba ini ternyata cukup berhasil. Perlahan kurasakan mataku semakin berat. Tak lama akupun telah sepenuhnya kehilangan kesadaran.
Ketika aku tertidur, aku mengalami mimpi yang cukup aneh. Di dalam mimpiku itu aku seperti sedang berada ki kerumunan banyak orang. Kulihat di sekelilingku ternyata aku berada di tengah-tengah sebuah kota.
Tapi aku tak bisa mengenali ini di kota mana. Yang jelas banyak gedung-gedung menjulang tinggi, jalan-jalan pun terlihat sangat besar, tidak seperti jalanan di kotaku. Tak lama berselang orang-orang di sekitarku berlarian kesana-kemari tak tentu arah.
Lalu tak lama muncul kobaran api dimana-mana. Asap tebal membumbung. Mirip kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Tp ini berbeda, kenapa aku bisa bilang berbeda? Krn berita tentang demonstrasi, reformasi, dan chaos di beberapa wilayah di Indonesia saat itu selalu kuikuti melalu siaran tv
Meskipun saat itu aku masih SMA, tetapi jauh di dalam benakku ingin sekali bergabung dengan kakak-kakak mahasiswa di jalanan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Tak lama berselang, dari balik gedung yang cukup tinggi itu muncul suatu makhluk yang mungkin dikenali seperti genderuwo oleh orang-orang. Tetapi di dalam mimpiku itu aku tak begitu jelas melihat seperti apa bentuknya. Yang jelas makhluk itu tinggi besar, itu saja.
Beberapa detik saja, makhluk itu mengamuk dan mengambil orang-orang di sekitarku lalu memakannya. Aku pun menjadi sangat takut dan panik. Aku coba berlari entah kemana yang jelas mencoba menghindari makhkuk itu. Tapi sial, makhluk itu melihatku. Dia lalu mengejarku.
Dalam pelarianku itu, di kejauhan aku melihat kedua orang tuaku berdiri lalu tersenyum. Saat aku hendak berlalu menuju tempat kedua orang tuaku berada, sepintas aku melihat tangan makhluk itu mengayun menuju ke arahku. Kulihat ada semacam cakar yang panjang dan runcing.
Ketika cakar makhluk itu hampir mengenaiku, tiba-tiba… Claap… Seluruh tempat ini dipenuhi cahaya putih yang sangat terang, bahkan menyilaukan. Seketika itu pula aku pun terbangun dengan nafas tersengal dan keringat bercucuran.
Mimpi apa ini, batinku.

Kulihat di sampingku Anton ternyata masih tertidur dengan gayanya yang khas. Aku memandang keluar untuk mengenali sampai di mana saat ini. Ternyata bus ini sudah sampai di Temanggung. Berarti sebentar lagi kami akan sampai di Garung.
Ternyata aku tadi tertidur cukup lama. Tetapi di dalam mimpi serasa hanya beberapa menit saja. Kutarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan cepat seolah membuang segala beban yang ada di benakku.
Kubangunkan Anton lalu mengajaknya merokok di belakang di dekat pintu. Kupikir, daripada memikirkan mimpi tidak jelas itu, lebih baik ngobrol sambil merokok di belakang. Siapa tau juga di sana ada cewek cakep yang bisa menyegarkan pandangan mata.
Setelah menghabiskan beberapa batang rokok sembari ngobrol bersama kernet bus akhirnya kami sampai juga di Desa Garung. Kuhirup sedalam-dalamnya udara sejuk kaki gunung sumbing yang sekaligus gunung sindoro karena letaknya bersebelahan.
Kuisi setiap kisi-kisi paru-paruku dengan udara segar pegunungan ini. Terasa sangat segar. Sangat berbeda dengan udara perkotaan yang penuh dengan polusi.
Kulihat beberapa orang berpenampilan khas pendaki di sekitar sini. Mungkin mereka juga akan mendaki Gunung Sumbing sama denganku. Tidak terlalu ramai meskipun akhir pekan. Wajar saja karena saat ini bulan puasa.
Banyak pendaki yang beristirahat sementara waktu di bulan puasa. Berbeda denganku dan Anton yang tetap pergi mendaki gunung meskipun sedang di bulan suci. Dan kami juga tidak puasa. Sungguh laknat kelakuan kami di masa dulu. Kuharap kalian yang membaca ini tidak menirunya.
Setelah melemaskan otot dan melepaskan penat akibat perjalanan yang cukup lama di dalam bus, kami mulai melangkahkan kaki menuju ke basecamp Gunung Sumbing yang letaknya hampir di ujung desa.
Lokasi basecamp jaman dulu cukup jauh dari jalan raya. Sebetulnya kami bisa saja menyewa ojek, tetapi mengingat isi kantong kami yang pas-pasan, maka uang itu akan lebih berguna jika kami gunakan untuk menambah logistik.
Jika kalian pernah naik ke Gunung Sumbing via Garung dan menemui plang besar bertuliskan “STICK PALA”, maka di dekat situlah letak basecamp Gunung Sumbing jaman dulu. Kalau sekarang setahuku sudah dipindahkan agak ke bawah, lebih dekat dengan jalan raya.
Sesampainya di basecamp kami melaporkan kedatangan kami sekaligus registrasi kepada petugas. Seperti biasa, proses registrasi pendakian gunung waktu itu sangat mudah.
Cukup menggunakan kartu identitas (KTP/SIM/Kartu pelajar) dan membayar retribusi yang tentunya sangat murah kami sudah dinyatakan sebagai pendaki resmi.
Kami mendapatkan dua lembar kertas berisi peraturan memasuki kawasan Gunung Sumbing dan peta jalur pendakian. Dan tentunya tiket sebagai bukti registrasi.
Hingga hari menjelang sore, kami hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan di bale besar yang disediakan pihak basecamp. Kami hanya beristirahat menunggu waktu untuk memulai pendakian sehabis maghrib nanti.
Jaman dulu memang kami menyukai perjalanan pendakian malam hari. Fikir kami dulu, mendaki malam hari itu lebih nyaman karena adem dan tidak terlihat berat dan terjalnya medan pendakian.
Maklum kami masih minim ilmu waktu itu. Tetapi setelah mendapatkan pendidikan khusus, kami mulai merubah kebiasaan. Sekarang kami lebih memprioritaskan mendaki saat siang. Karena risikonya jelas lebih kecil.
Malam mulai menjelang. Kami telah bersiap memulai pendakian. Tepat sebelum kami mulai melangkah, ada seseorang yang menemui kami dan meminta bergabung karena dia mendaki seorang diri.
Tidak keberatan sama sekali, kami pun mengajaknya untuk bersama-sama merayapi Gunung Sumbing melalui jalur-jalur setapaknya menuju ke puncak tertingginya. Aku lupa nama orang itu, sebut saja namanya Wahid, seorang mahasiswa dari Jogja.
Selangkah demi selangkah kami ayun meninggalkan pemukiman warga beserta segala aktifitasnya. Kegelapan kini mulai menemani perjalanan.
Hanya bermodal cahaya senter untuk mengusir kepekatan serta sedikit obrolan untuk memecah kesunyian. Ya benar memang sunyi karena ternyata kami tidak berbarengan dengan kelompok pendaki lainnya.
“Sepertinya kita tidak sendirian, mas. Dari tadi aku merasa ada yang mengikuti di belakang. Entah kalian merasakan atau tidak” ucap Mas Wahid ketika kami mulai meninggalkan area perkebunan warga.
Sebetulnya aku juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Mas Wahid. Tapi aku sedari tadi tidak membicarakannya.
Selain nyaliku yang saat itu masih sebiji kacang, juga aku pernah mendengar jika kita merasakan hal ganjil saat di gunung sebaiknya tidak dibicarakan sampai kita pulang.
“Iya mas” jawabku singkat tidak menampik kata-kata Mas Wahid.
Tak berapa lama usai kami membicarakan hal itu, tiba-tiba hujan mulai turun. Sebetulnya hal yang wajar saja karena sekarang sedang musim hujan, tetapi entah kenapa aku merasa ada hal janggal saat ini.
Kami memutuskan tetap melanjutkan perjalanan dengan memakai jas hujan. Hingga ketika kami hampir sampai di pos 2 tiba-tiba ada suara petir sangat keras menyambar di dekat kami.

Seketika kami pun berlari tunggang langgang mencari tempat berlindung dari sambaran petir yang kami yakini akan kembali terjadi.
Tanpa banyak pertimbangan, kami pun berhenti di pos 2 yang terdapat shelter berupa bedeng dari kayu dengan dinding dan atap dari seng. Tak bisa dipungkiri, rasa takut dan panik kini mulai merayapi jiwa kami.
Mas Wahid yang memang paling tua sekaligus lebih banyak pengalaman di antara kami berusaha menenangkanku dan Anton. Dia berusaha membangun suasana supaya tidak terjadi kepanikan berlebihan sehingga bisa membuat kondisi semakin berbahaya.
Sedangkan di luar sana hujan masih turun sangat deras disertai petir menyambar yang intensitasnya terbilang cukup tinggi. Dekat sekali, aku yakin petir itu menyambar sangat dekat dengan posisi kami, terlihat dari hampir tidak adanya jeda antara cahaya kilat dan suaranya.
“Kita stop aja dulu di sini. Bahaya kalau kita maksain jalan” ucap Mas Wahid.

“Iya mas” jawabku singkat menyetujui usulan Mas Wahid.

“Bikin api aja, itu di pojokan ada tumpukan kayu kering. Ga usah bikin tenda, kita istirahat di sini aja” sambung Mas Wahid.
Kami pun berbagi tugas, aku dan Anton mengumpulkan kayu-kayu kering itu dan menyusunnya di tengah-tengah bedeng yang memang sudah ada bekas perapian. Sedangkan Mas Wahid mempersiapkan perlengkapan masaknya.
Usai menyusun kayu-kayu itu, kami mulai berusaha menyalakannya. Tak berapa lama aku tiba-tiba terpaku, seluruh tubuhku terasa beku tak dapat kugerakkan.

Rasa takut yang teramat kuat merayapiku. Mataku kini seolah kaku memandang sesuatu yang berada di depanku.
Tepat di depan bedeng di bawah sebuah pohon besar. Aku melihat sepasang mata berwarna merah bersinar tajam menatap kami bertiga menembus pekatnya malam yang lebih tersamarkan oleh air hujan.
Aku tak bisa melihat bagian tubuh lainnya dari sosok itu. Hanya sepasang mata bersinar seperti dua buah lampu LED mini yang diletakkan bersebelahan.
Beberapa waktu aku benar-benar tak bisa menggerakkan badanku. Seluruh badanku merinding hebat. Mulutku tercekat tak mampu berkata apapun.
Ingin kuteriak sekedar meminta pertolongan kawan-kawanku yang ada di sini, tapi hanya kebisuan yang bisa keluar dari mulutku. Hingga pada akhirnya Anton yang menyadarkanku dengan tepukannya di pundakku.
“Kenapa, Hen?” Ucap Anton

“I itu ada……”

“Stop. Udah diem aja ga perlu diucapkan” sahut Mas Wahid memotong ucapanku.

Kembali kuarahkan pandanganku ke tempat sepasang mata tadi, tapi hanya kegelapan yang kulihat di sana. Sepasang mata itu telah lenyap entah kemana.
Aku berusaha mengabaikan apa yang kulihat tadi. Kulanjutkan aktifitasku menyalakan perapian bersama Anton. Tapi justru yang kurasakan saat ini adalah kengerian yang terus menerus menggelayutiku. Entah hanya diriku atau Anton dan Mas Wahid juga merasakannya.
Aku seolah merasakan ada banyak, sangat banyak makhluk tak kasat mata hadir di sini. Mengelilingi bedeng yang kami gunakan untuk berlindung dari hujan dan petir.

***
Malam semakin larut, entah jam berapa saat ini aku tak bisa memastikannya karena di antara kami tak satupun yang membawa penunjuk waktu.
Tak ada pendaki lain yang datang kesini ataupun sekedar melintas. Mungkin di bawah sana cuacanya tak jauh beda, sehingga beberapa pendaki lain mengurungkan niatnya untuk mendaki malam ini.
Suasana mencekam semakin kental menyelimuti tempat ini. Beruntung perapian yang kami buat tadi sudah menyala sempurna. Setidaknya sedikit bisa memberikan rasa tenang melalui cahaya yang terpendar serta kehangatan yang dihasilkannya.
Makanan yang dimasak Mas Wahid juga telah siap. Meski hanya mie instan dengan lauk ikan kalengan, sudah cukup untuk menjadi asupan energi untuk mengarungi malam ini.
Saat kami sedang menikmati makan malam sederhana namun terasa mewah ini, tiba-tiba kami dikagetkan suara keras dari salah satu dinding bedeng.

“Duuuuaaaaaaarrr……”
Kami semua berjingkat, bahkan panci nesting yang tadi kupegang pun seketika terlempar saking kagetnya aku.

Kami mendengar salah satu dinding bedeng seperti dipukul atau dilempar dengan sesuatu.
Beberapa saat kami saling berpandangan satu sama lain. Tak ada kata terucap di antara kami. Tapi apa yang kami rasakan sepertinya sama. Kaget, takut, ngeri sekaligus penasaran.
Mas Wahid perlahan bangkit. Aku pun mengikutinya. Rasa penasaran atas apa yang terjadi ternyata sanggup membuatku mengesampingkan rasa takut.
Aku mengikuti Mas Wahid yang berjalan keluar lalu memutar ke samping bedeng melalui pinggiran bedeng yang tidak terkena guyuran hujan.
Ketika sampai di bagian dinding yang kami yakini dipukul atau dilempar suatu benda tadi kami menemukan potongan batang pohon tergeletak begitu saja. Batang pohon itu terlihat basah dan kotor oleh lumpur tanah merah khas tanah gunung.
Di bagian dinding juga terlihat ada bekas tanah lumpur yang menempel. Nampaknya batang kayu ini yang dilempar mengenai dinding bedeng ini. Lantas yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang melemparnya?
“Kira-kira siapa yang lempar ya mas? Kayaknya dari tadi ga ada orang kesini” ucapku.

Belum sempat Mas Wahid menjawab, tiba-tiba terdengar suara dari balik semak-semak di depan kami. Suara seperti langkah kaki yang diseret melalui rerimbun semak.
“Kresek kresek kresek”

Kira-kira seperti itu.

Spontan Mas Wahid mengeluarkan sebilah golok dari pinggangnya.

“Kamu masuk aja, biar aku coba cek. Takutnya binatang liar” ucap Mas Wahid.
“Aku ikut aja mas” jawabku karena penasaran ingin mengetahui binatang apa yang mencoba mengganggu kami. Atau mungkin justru kedatangan kami yang mengganggu ketenangannya.
“Kamu bawa senjata apa gitu. Kayu atau apa buat jaga-jaga” ucap Mas Wahid yang tidak melarangku mengikutinya.
Mas Wahid mulai berjalan menyusuri sela-sela semak yang rimbun namun tidak terlalu rapat. Aku mengikutinya dari belakang sambil tetap waspada, takutnya tiba-tiba ada serangan dari binatang liar.
Di balik semak itu kami tidak menemukan apapun. Bahkan bekas jejak binatang pun tidak ada. Saat aku sedang memeriksa tempat di sekitarku tiba-tiba Mas Wahid berjingkat lalu berlari ke arah yang lebih menjauh.
Aku pun juga berlari mengikutinya meskipun aku tak paham dia sedang mengejar siapa atau apa.
Saat aku semakin mendekatinya, sepintas aku melihat di depan Mas Wahid adalah sebuah lembah yang cukup dalam atau tepatnya jurang. Meski samar, tapi aku tetap bisa mengenali konturnya. Dan sialnya, Mas Wahid tetap berlari menuju ke arah jurang itu.
Aku berusaha memanggil Mas Wahid tetapi dia sama sekali tidak menggubris panggilanku. Hingga ketika kami semakin dekat dengan bibir jurang kembali aku melihat sepasang mata yang menyorot bercahaya melihat ke arah kami.
Menyadari adanya sesuatu yang tidak beres, aku mempercepat langkahku lalu melompat menerjang tubuh Mas Wahid. Kami berdua pun terjatuh lalu berguling hingga hampir jatuh ke dalam jurang.
Beruntung kami masih selamat. Nafas kami berdua memburu tak beraturan. Setelah mencoba menenangkan diri, akhirnya Mas Wahid pun juga tersadar.

“Gimana kita bisa sampai sini, Hen?” Ucap Mas Wahid.
“Kamu tiba-tiba lari ga jelas, mas. Makanya aku ikutin aja. Ga taunya kok malah lari ke arah jurang. Aku teriak-teriak manggil kamu juga kamu ga respon. Ya udah aku lompat aja nangkap kamu. Takut kamu jatuh ke jurang, mas” jelasku padanya.
“Loh.. padahal aku ngerasa dari tadi jalan biasa aja, Hen. Aku ngikuti burung tadi. Jadi tadi pas di balik semak aku ketemu burung kecil warna hitam ada corak kuning dan merah. Karena menurutku bagus,
aku coba mau nangkap dia karena burung itu kayaknya kelihatan jinak. Aku ikutin aja sampe tiba-tiba aku jatuh di sini sama kamu” jelas Mas Wahid padaku.
“Wah udah ga bener ini, mas. Mana ada burung malam-malam gini. Apalagi hujan kayak gini. Kita juga udah terlalu jauh kayaknya ini mas. Kita harus kembali ke bedeng. Tapi aku ga yakin ingat jalannya yang tadi” ucapku menyadari adanya sesuatu yang tidak beres.
Beberapa saat Mas Wahid mengamati area sekitar. Mungkin dia sedang berusaha mengenali tempat ini. Karena dia sudah beberapa kali mendaki Gunung Sumbing, jadi mungkin sedikit banyak sudah mengenali area Gunung ini.
“Aku ga yakin hafal, tapi sedikit aku mengenali tempat ini, Hen. Ayok balik aja ke bedeng. Ikuti aku” ucap Mas Wahid lalu mulai beranjak. Aku pun mengikutinya.
Belum jauh kami berjalan, tiba-tiba aku melihat suatu sosok makhluk berukuran sangat besar, mungkin tingginya sekitar 4-5 meter. Sosok itu terlihat samar, seperti gumpalan asap hitam menggumpal membentuk siluet badan. Dan matanya terlihat jelas berwarna merah bercahaya.
Sontak aku menghentikan langkahku lalu memegang pundak Mas Wahid untuk menghentikan langkahnya karena sosok itu berdiri tepat menghadang di depan kami.

Sontak aku menghentikan langkahku lalu memegang pundak Mas Wahid untuk menghentikan langkahnya karena sosok itu berdiri tepat menghadang di depan kami.
Makhluk itu tetap berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun. Meski begitu, tatapan matanya terasa sangat mengerikan. Dia menatap tajam ke arah kami. Sorot matanya seolah memiliki kekuatan untuk membuat kami lemas diterkam ketakutan.
Mas Wahid yang juga menyadari adanya gangguan juga tak mampu berbuat apapun. Dia hanya mematung di depanku.
“Mas, gimana ini” ucapku kepada Mas Wahid.

“Tunggu sebentar, kamu baca aja doa sebisamu” jawab Mas Wahid.
Ya.. kami memang tak bisa berbuat apapun. Terutama aku yang memang masih minim pengalaman di gunung, terutama tentang hal-hal mistis. Aku hanya menuruti saja perintah Mas Wahid yang mungkin lebih banyak pengalaman dibandingkan denganku.
Beberapa waktu kemudian, Mas Wahid memberikan gestur padaku untuk mengikutinya. Dia berjalan sedikit memutar menghindari lokasi makhluk yang tadi menghadang kami.
Dalam pekatnya kabut kami berjalan entah ke arah mana. Pandangan kami sangat terhalang. Bahkan cahaya senter yang kami bawa sama sekali tidak bisa membantu menunjukkan jalan.
Dengan melewati kontur tanah tak beraturan yang kadang kala harus menembus rerimbun semak, kami terus berjalan. Hingga pada akhirnya kami bertemu dengan jalan setapak yang kami yakini adalah jalur pendakian.
“Ini jalur pendakian, Hen. Tapi sepertinya posisi kita ada di atasnya pos 2” ucap Mas Wahid.

“Ayo turun aja, kita ke pos. Kasihan juga Anton ditinggal sendirian” sambungnya.
“Ayo mas aku ngikut aja” jawabku.

Kami pun berjalan turun. Dan beberapa saat kemudian benar saja kami sampai di pos 2 tempat kami istirahat sebelumnya.
Sesampainya di pos aku melihat Anton yang masih duduk di dekat perapian. Dia hanya duduk menatap ke arah api yang menyala tidak terlalu besar. Bahkan saat aku dan Mas Wahid masuk dan menyapanya dia juga tidak merespon sama sekali.
Hingga ketika aku menyentuh pundaknya, tiba-tiba dia berjingkat sambil berteriak ketakutan.

“Ton.. tenang ton.. tenang.. ini aku henry sama mas wahid” ucapku menenangkannya.
Setelah menyadari bahwa ini benar-benar aku dan Mas Wahid, akhirnya Anton menjadi sedikit tenang.

“Ada apa, Ton?” Lanjutku bertanya.
Anton pun menceritakan pengalaman horor yang dialaminya setelah aku dan Mas Wahid meninggalkannya sendirian.
Dia bercerita bahwa dia diganggu makhluk-makhluk penunggu daerah sini hingga hampir saja mengancam nyawanya. Hingga pada akhirnya dia tidak berani melihat kemanapun kecuali ke arah api sampai aku dan Mas Wahid datang.
POV Anton :

Pendakian ini memang tidak seperti biasanya. Meski aku baru beberapa kali mendaki gunung, tapi aku bisa membedakan mana suasana yang nyaman dan mana yang kurang nyaman saat berada di gunung. Terutama dalam hal mistis.
Sejak awal memulai perjalanan perasaanku sudah tidak enak. Aku merasa diikuti sesuatu yang aku tak mengerti itu apa. Aku merasa tidak melanggar pantangan apapun, aku pun yakin Henry juga sama.
Tapi aku tak tahu bagaimana dengan Mas Wahid, orang yang baru kukenal di basecamp tadi dan bergabung denganku dan Henry di pendakian ini. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi nanti.
Sepanjang perjalanan aku terus berusaha melawan perasaan mengganjal ini. Hingga pada akhirnya kami sampai di Pos 2. Dikarenakan cuaca yang kurang mendukung maka kami memutuskan malam ini beristirahat di pos 2 saja. Krn sepertinya terlalu berbahaya jika kami melanjutkan pendakian
Usai menyalakan api unggun dan makanan yang dimasak Mas Anton siap, kami pun menikmati makan malam bersama.
Hingga kami dikagetkan oleh suara keras seperti dinding bedeng yang dilempar dengan suatu benda. Perlu diketahui, bedeng ini terbuat dari kayu untuk rangkanya dan dinding serta atapnya menggunakan seng. Sehingga ketika dipukul akan menimbulkan suara yang sangat keras.
Mas Wahid dan Henry berinisiatif memeriksa keluar. Mereka khawatir akan datangnya binatang liar. Aku memang sengaja tidak ikut. Selain malas, makananku juga belum habis kunikmati. Paling mereka tidak lama, jadi sebaiknya aku tetap di sini saja, begitu batinku.
Setelah mereka berdua keluar, aku kembali bersantai menikmati makan malam sambil menghangatkan badan di depan api unggun. Hingga beberapa waktu, aku baru menyadari jika mereka sudah terlalu lama keluar belum juga kembali kesini.
“Heeen… Henryyyy..” teriakku memanggilnya.

Jika dia berada di luar bedeng, seharusnya mendengar teriakanku. Tapi tak ada jawaban sama sekali dari sana. Baik dari Henry maupun Mas Wahid.
Merasa sedikit khawatir dengan keadaan mereka, aku pun inisiatif memeriksa keluar. Aku berjalan memutar menuju tempat Henry dan Mas Wahid tadi.
Tapi ketika sampai di lokasi, aku tak mendapati siapapun. Lantas kemana mereka? Sialan ternyata aku ditinggal sendiri, batinku.
Saat memeriksa keadaan sekitar, aku melihat sesuatu tergeletak di tanah. Bentuknya bulat seperti bola. Entah kebodohan yang datang dari mana, atau mungkin karena dorongan rasa penasaran, aku pun mendekati benda itu untuk memeriksanya.
Aku mendekatkan kepalaku pada benda itu supaya bisa melihat lebih jelas. Saat aku sedang mengamatinya dengan seksama, tiba-tiba sepasang mata terbuka dari benda itu.
Ya benar sekali, benda itu ternyata adalah kepala. Aku terperanjat hingga hampir terjerembab. Masih dalam kekagetanku, tiba-tiba kepala itu melayang mendekatiku. Kali ini telah terlihat mulut yang terbuka dengan giginya yang runcing.
Terdengar suara tawa yang cukup nyaring dan mengintimidasi. Ya.. benar.. kali ini aku sangat ketakutan. Aku berusaha menghindari makhluk itu. Tapi aku bingung hendak kemana.
Saat ini aku benar-benar sendirian. Henry dan Mas Wahid entah berada dimana. Semua tempat kurasa sudah tidak aman lagi bagiku saat ini.
Aku berusaha bergerak pelan menghindari makhluk itu. Setidaknya aku harus masuk ke dalam bedeng dulu. Siapa tahu aku aman di sana.
Ketika aku bergerak, makhluk berbentuk kepala tanpa badan yang melayang di depanku hanya diam saja tak bergerak. Tetapi tatapan matanya terus mengarah padaku. Mulutnya masih terbuka mengeluarkan lendir yang sangat menjijikkan.
Aku berusaha tidak memperdulikannya. Tapi ketika aku telah berhasil menghindari makhluk itu dan hendak menuju ke arah depan bedeng dari sisi samping, aku melihat sesosok makhluk berambut sangat panjang dengan pakaian putih menghadang jalanku. Mungkin ini yg di sebut kuntilanak.
Jarak kuntilanak itu denganku sangatlah dekat, mungkin hanya sekitar 2 meter. Dia pun tidak bergerak sama sekali. Tetapi dari telingaku aku mendengar suara tawanya yang khas. Tawa mengikik sangat menyeramkan yang terdengar seolah menggema dari kejauhan.
Panik.. itu yang kurasakan saat ini. Aku sungguh bingung harus berbuat apa. Dari depan dan belakangku sama-sama dihadang makhluk menyeramkan yang sangat tidak kuharapkan kehadirannya.
Dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki, aku pun berlari menjauh menuju ke arah rimbunan semak disamping bedeng. Aku berfikir untuk menghindari kedua makhluk itu dulu, lalu memutar dan kembali ke arah bedeng.
Saat aku berlari, tiba-tiba kakiku seperti tersandung sesuatu seperti akar hingga aku pun tersungkur.
Aku berusaha mengatur nafasku. Sejenak kulihat ke belakang, ternyata kedua makhluk tadi tidak mengikutiku. Aku sedikit lega. Tetapi ketika aku kembali memandang kedepan, aku pun seketika tercekat.
Tepat di depanku kini berdiri sesosok makhluk berukuran sangat besar dengan bulu panjang menutupi sekujur tubuhnya. Di kepalanya terlihat ada tanduk. Matanya merah menyala dan di mulutnya terdapat taring yang cukup panjang. Makhluk itu menatapku sambil menyeringai.
Dalam ketakutan yang telah sepenuhnya menguasaiku, aku tak lagi mampu menggerakkan tubuhku. Seluruh persendianku terasa sangat kaku. Bahkan untuk memejamkan mata pun aku tak mampu.
Aku seolah sedang dipaksa untuk terus melihat makhluk di depanku ini. Yang kuharapkan saat ini adalah pingsan, supaya aku tak lagi melihat kengerian ini. Tetapi entah bagaimana, kesadaranku masih sepenuhnya utuh.
Tak berapa lama kemudian, makhluk itu bergerak, tepatnya tangannya yang bergerak. Sekilas kulihat cakar yang sangat tajam dari balik bulu-bulu yang menutupi tangannya.
Dengan tangannya yang sangat panjang itu, dia bergerak hendak meraihku, atau mungkin tepatnya hendak menyerangku dengan cakarnya.
Aku berusaha menggerakkan badanku untuk menghindar, tetapi sia-sia, seluruh badanku masih kaku. Hingga ketika tangan makhluk itu hampir mengenaiku, tiba-tiba “claaaaap” semuanya gelap. Aku telah kehilangan kesadaranku.
Aku merasakan dingin di sekujur badanku. Bahkan aku merasakan pakaianku basah. Perlahan kubuka mataku. gelap, itu yang pertama kali kurasakan dengan pandanganku. Namun perlahan kulihat setitik cahaya berwarna jingga yang bergerak-gerak tak beraturan.
Ketika pandangan mataku telah kembali sepenuhnya, aku menyadari bahwa yang kulihat adalah api. Api dari perapian yang kami buat di dalam bedeng. Ternyata aku saat ini berada di depan bedeng.
Entah bagaimana aku bisa sampai di sini. Terakhir kuingat aku berada agak jauh dari samping bedeng dan dihadang makhluk hitam besar yang hendak menyerangku.
Perlahan kugerakkan badanku. Aku berusaha berdiri dan berjalan menuju ke dalam bedeng. Aku harus mengganti bajuku yang telah basah oleh hujan ini dengan baju yang kering. Itu yang pertama kufikirkan. Karena aku takut akan terserang hipotermia.
Saat aku sedang berjalan tertatih, aku kembali mendengar suara-suara seperti suara tangis, tertawa, orang bicara dan suara langkah. Begitu terus menerus. Meski dengan bersusah payah, akhirnya aku sampai juga di dalam bedeng. Aku segera mengganti pakaianku lalu duduk di dekat api.
Aku terus duduk di dekat api dan terus memandang ke arah api. Aku tak berani memandang ke arah lain karena aku sangat menyadari bahwa ada banyak sekali makhluk gaib di sekelilingku. Bahkan dari sudut mataku aku bisa melihat mereka.
Terkadang terlihat seperti ada pocong, lalu kuntilanak, lalu berganti sosok orang tua, berganti lagi sosok hitam besar. Begitu terus menerus. Entah sudah ada berapa jenis yang menampakkan diri.
Hingga beberapa waktu kemudian aku merasa ada tangan yang memegang pundakku. Aku terjingkat sangat ketakutan sambil berteriak.
“Ton.. tenang ton.. tenang.. ini aku henry sama mas wahid” ucapnya.

Awalnya aku masih ragu, takut bahwa itu adalah makhluk gaib yang sedang menyerupai temanku, Henry. Tetapi ketika beberapa saat kuamati, ternyata itu benar mereka berdua.
Aku sangat lega mereka telah kembali kesini. Bukan hanya lega karena mereka tak apa-apa, tapi juga lega karena aku tak lagi sendirian, jadi setidaknya kami bisa melawan rasa takut bersama-sama.

Tidak banyak hal yang bisa kami lakukan malam ini. Suasana tidak banyak berubah. Hanya hujan yang semakin mereda, namun masih menyisakan rinai yang membuat suasana mencekam semakin kental.
Kami bertiga masih duduk mengelilingi perapian yang terus kami jaga supaya tidak padam. Beruntung persediaan kayu kering masih cukup banyak, sehingga kami tak perlu khawatir perapian ini padam karena kehabisan bahan bakar.
Di luar sana masih banyak aktifitas penghuni gunung yang tak jarang menunjukkan eksistensinya.
Terkadang terdengar suara langkah kaki di samping bedeng, suara benda yang dilempar ke atap bedeng yang menghasilkan suara cukup gaduh dan berhasil mengagetkan kami, serta kelebatan bayangan-bayangan melintas di depan bedeng.
Tetapi tak satupun dari mereka yang menampakkan wujudnya di depan kami seperti mereka menampakkan diri di depan Anton sebelumnya.
Tak satupun dari kami yang bisa tidur. Rasa takut yang menyelimuti kami saat ini memaksa kami untuk terus terjaga.
Hingga malam semakin larut, entah sudah jam berapa, Mas Wahid terlihat beringsut merebah di depan perapian. Mungkin dia sudah telalu lelah.
Aku dan Anton masih tetap terjaga mengobrol tentang apa saja. Kami berdua memang tidak berniat untuk tidur, karena kami khawatir mendapatkan gangguan ketika kami terlelap.
Hingga saat kami sedang asyik menikmati kopi, tiba-tiba Mas Wahid berdiri lalu melihat keluar bedeng. Cukup lama dia berdiri tanpa melakukan apapun. Aku dan Anton pun hanya melihatnya. Kami hanya penasaran apa yang hendak dilakukannya.
Tiba-tiba Mas Wahid berbicara sendiri. Atau lebih tepatnya meracau karena tidak jelas apa yang diucapkannya. Dan tak lama tiba-tiba dia berlari keluar menembus kegelapan dan rinai hujan yang masih turun dengan lembut namun menakutkan.
Aku dan Anton hanya saling pandang setelah melihat kelakuan Mas Wahid.
Menyadari ada yang tidak beres, kami berdua mengambil senter lalu keluar mencari keberadaan Mas Wahid. Kami khawatir atas keselamatannya.
Meskipun kami baru kenal, tetapi sebagai sesama pendaki gunung, apalagi kami mendaki bersama dalam satu tim, kami pun merasa bahwa kami semua adalah saudara.
Aku dan Anton menyusuri area sekitar pos untuk mencari Mas Wahid. Namun kami tak dapat menemukannya. Tak jarang kami juga berteriak memanggil namanya.
Tak satupun jawaban yang kami dengar. Justru kami malah mendengar suara-suara aneh dari penghuni gunung ini. Seperti suara tertawa, suara orang ngobrol bahkan suara eraman harimau yang kami dengar samar terbias suara hujan.
Merasa nihil hasil pencarian kami, kami pun memutuskan kembali ke bedeng. Siapa tau Mas Wahid sudah kembali. Sesampainya di bedeng kami merasa lega karena ternyata benar Mas Wahid sudah berada di dalam bedeng sedang duduk menghadap ke perapian.
“Dari mana tadi mas?” Tanyaku ketika aku telah sampai di hadapannya.

Tak ada jawaban dari Mas Wahid. Bahkan dia sama sekali tak menghiraukan kedatangan kami. Dia masih tetap diam memandang ke arah api.
“Mas… Mas Wahid…” Panggilku lagi

Dia tetap masih diam membatu tak memperdulikan kami. Hingga ketika aku hendak memegang pundaknya tiba-tiba dia menepis tanganku lalu menatapku tajam.
Aku yang terkaget seketika mundur beberapa langkah. Tak berbeda dengan Anton, dia juga melakukan hal yang sama.
Mas Wahid lalu berdiri dan menatap kami berdua bergantian. Masih dengan tatapannya yang tajam. Namun kali ini diiringi dengan senyumnya yang menyeringai. Kami berdua sungguh ketakutan dibuatnya.
“Gggrrrrr… Kalian semua penggangu… Gggrrrrr…” Ucap Mas Wahid diselingi dengan geraman seperti geraman harimau.
Mungkin ini yang disebut kesurupan, batinku. Mirip seperti yang pernah diceritakan orang-orang. Aku memang tak tau pasti bagaimana orang kesurupan. Mungkin ini pertama kalinya aku melihat langsung. Dan jujur saja aku bingung bagaimana menghadapinya.
“Ggggrrrrr… Dia harus ikut denganku… Gggrrrrr” ucap Mas Wahid lagi.

Karena sudah merasa sangat tersudut, akhirnya aku berusaha mengumpulkan keberanianku. Bagaimanapun juga kami harus selamat. Begitu yang kupikirkan.
“Siapa kamu dan apa maumu?” Ucapku tegas kepada Mas Wahid, atau tepatnya kepada sosok yang merasukinya.

“Gggrrrr… Aku penguasa wilayah ini… Ggghrrrrr… Kalian lancang memasuki wilayahku dan membawa sesuatu yang mengotorinya.. Gghrrrrrr…” Ucapnya lagi
Apa maksud makhluk itu? Seingatku kami datang dengan cara yang baik. Bahkan semua sampah yang kami hasilkan pun kami kumpulkan untuk besok dibawa turun lagi. Jadi sebetulnya kami mengotori apa? Pikirku sedikit kebingungan.
“Apa maksudmu? Kami tidak mengotori apapun. Cepatlah pergi dari tubuh temanku!” Ucapku lagi.

“Gghgrrrrrrr.. dia harus ikut denganku… Gggrrrr… Hahahahaha”
Usai mengucapkan itu, Mas Wahid tiba-tiba melompat melewati perapian langsung menuju ke depan bedeng yang berupa dataran agak lebar. Di depan bedeng itu Mas Wahid merangkak kesana kemari mirip seperti harimau sambil terus menggeram.
Sesekali dia berguling. Dia juga mencakar-cakar tanah sambil sesekali memakannya. Ya benar, dia memakan tanah merah basah di depan bedeng ini.
Aku dan Anton segera mendekati Mas Wahid. Aku berusaha menangkapnya. Tapi setiap kali aku menangkap tubuhnya, dia langsung berontak bahkan melemparkanku.
Tenaganya sungguh luar biasa. Aku dan Anton sangat kuwalahan menghadapi Mas Wahid yang sedang kerasukan. Beberapa waktu kami saling berjibaku hingga seluruh badan dan baju kami kini telah basah dan kotor terkena lumpur.
Mungkin merasa ada perlawanan, sosok yang merasuki Mas Wahid kini mengamuk. Dengan menggunakan tubuh Mas Wahid, dia mulai berusaha menyerang kami.
Beruntung aku dulu sempat mengikuti perguruan silat, jadi sedikit banyak aku bisa menggunakan tehnik silat untuk menghindari serangan Mas Wahid.
Hingga suatu ketika aku mendapatkan sedikit kesempatan saat Mas Wahid sedang menyerang Anton, sehingga pertahanannya sedikit terbuka.
Tak mau buang kesempatan, aku segera melayangkan tinju kananku ke arah pipi kiri Mas Wahid. Entah ada kekuatan dari mana, ketika tinjuku tepat mengenainya dengan telak, Mas Wahid langsung tersungkur tidak bergerak.
Aku jatuh terduduk. Kurasakan seluruh badanku sakit dan sangat kelelahan. Nafasku memburu. Kulihat Anton kondisinya juga tak berbeda denganku. Kucoba atur nafas dulu.
Ketika sudah sedikit tenang, aku beranjak mendekati Mas Wahid. Tubuhnya masih tergeletak di tanah. Aku memeriksanya, dan ternyata dia masih bernafas. Berarti dia hanya pingsan.
Aku takut terjadi sesuatu padanya. Tapi jika dipikir pun tak mungkin aku sampai mencelakainya jika hanya memberi satu pukulan saja.
Bersama Anton, aku membawa Mas Wahid ke dalam bedeng. Anton melepas pakaian Mas Wahid sedangkan aku membongkar ranselnya untuk mencari baju yang masih kering. Beruntung aku mendapatkannya.
Dengan segera kami mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian kering. Karena memakai pakaian basah dalam kondisi seperti ini sangat beresiko terserang hipotermia. Usai mengganti pakaian Mas Wahid, aku dan Anton juga bergiliran mengganti baju kami.
Usai berganti pakaian, kami semua kembali duduk di dekat perapian untuk menghangatkan badan. Kami juga memasak air untuk keperluan nanti. Setelah beberapa waktu, Mas Wahid mulai bergerak. Nampaknya dia mulai siuman.
“Aduh ini pipiku kenapa sakit banget ya” ucapnya ketika kesadarannya sudah pulih.

“Tadi ga tau kenapa Mas Wahid tiba-tiba ga sadar lalu lari keluar dan nabrak pohon di depan itu, mas” ucapku berbohong.
Kupikir memang sebaiknya tidak kuceritakan dulu kejadian yang sebenarnya. Setidaknya sampai kami turun besok. Anton pun sependapat denganku.
“Kalian yang ganti pakaianku?” Tanyanya lagi.

“Iya mas. Tadi basah dan kotor karena Mas Wahid hujan-hujanan” jawab Anton.
“Aneh.. padahal seingatku aku tadi tidur. Kenapa tiba-tiba bangun badanku sakit semua. Pipiku juga sakit banget kayak habis kena pukul. Dan bajuku juga sudah kalian ganti. Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Mas Wahid lagi.
“Besok aja pas udah turun kita ceritain mas. Sekalian ada yang mau aku tanyain” jawabku.

“Baiklah. Sekarang kalian mendingan istirahat aja. Biar gantian aku yang jaga” sambungnya
“Udah terlanjur ga ngantuk mas. Lagian kayaknya bentar lagi juga udah pagi. Nanti sekalian tidur di basecamp aja. Sekarang mendingan ngopi.. hehe” jawab Anton sedikit mencairkan suasana.
Pada akhirnya kami bertiga bergadang sampai pagi di sini. Ditemani kopi, rokok, dan cerita-cerita pengalaman kami masing-masing.
Hingga tak terasa hari mulai terang. Pagi kini telah menjelang. Hujan telah sepenuhnya reda, berganti suasana cerah dengan semburat mentari pagi yang menghangatkan.
Usai sarapan dan berbenah, kami memutuskan tidak melanjutkan pendakian ini. Kami sepakat turun ke basecamp bersama-sama. Selain badan sudah terlalu lelah, ingatan teror semalam juga masih lekat dalam ingatan kami.
Jadi keputusan untuk turun adalah yang terbaik. Sepanjang perjalanan turun tidak ada hal menarik yang perlu diceritakan. Perjalanan kami lancar hingga sampai di basecamp di siang hari.
Sesampainya di basecamp kami membahas kejadian semalam. Aku dan Anton bercerita tentang kejadian yang dialami Mas Wahid. Termasuk ketika aku terpaksa harus melayangkan bogem padanya.
Dia tidak marah, apalagi dendam. Justru dia berterima kasih karena dia merasa bahwa kami berdua telah menyelamatkannya.
“Oh iya semalam katanya kamu mau tanya sesuatu, Hen?” Tanya Mas Wahid.

“Iya mas. Sebenernya Mas Wahid bawa apaan? Kenapa penunggu gunung ini sampai marah pada kita?” Tanyaku.
Akhirnya Mas Wahid bercerita bahwa dia memiliki semacam “pegangan” untuk menjaga diri. Dan nampaknya penunggu gunung ini tidak menyukai apa yang dibawanya itu.
Atau ada semacam energi yang bertolak belakang sehingga membuat penunggu gunung ini ingin mencelakai kami, terutama Mas Wahid.
Mengenai aku yang tiba-tiba bisa merobohkan Mas Wahid hanya dengan sekali pukulan, sampai saat ini masih jadi misteri. Karena aku merasa tidak pernah memiliki “pegangan” apapun.
Aku juga bukan orang yang menyukai hal-hal yang bersifat gaib. Aku hanya bermodal keyakinan saja bahwa aku bisa merobohkannya ketika hendak memukulnya.
Mas Wahid berkali-kali meminta maaf kepada kami karena gara-gara dia kami berdua juga hampir celaka. Dan sebagai permintaan maaf, dia mentraktir kami makan sampai puas di basecamp ini.
Menjelang sore kami memutuskan pulang. Aku dan Anton akan ke Temanggung, mampir ke rumah saudara Anton di sana. Sedangkan Mas Wahid kembali ke kota asalnya.
Sebetulnya waktu itu kami sempat bertukar alamat, hanya alamat, karena waktu itu kami belum memiliki ponsel, tetapi alamat yang diberikan Mas Wahid kepada kami hilang entah kemana.
Demikian cerita pendakian “gagal” kami di Gunung Sumbing waktu itu. Semoga ada pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini.
Jika ada hal buruk, sebaiknya jadikan sebagai pengalaman untuk tidak ditiru. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bisa menghagai dimanapun tempat yang kita datangi.
Jangan bersombong dengan apa yang kita miliki atau kita kuasai, karena hal itu justru bisa berbalik merugikan kita sendiri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top