GTA777 – Sebentar Ningsih celingak-celinguk memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengarkan. Lalu dia berbisik lirih persis dekat telinga Marlina.
“Aku nikah sama siluman. Pesugihan Lin.”
“Ya Tuhan… Edan kamu Ning!” Sahut Marlina sembari geleng-geleng kepala.
“Memangnya kamu nggak takut dengan resikonya? Kata orang kan pesugihan itu biasanya minta tumbal?”
“Iya betul. Tapi tumbalnya tidak harus dari keluarga sendiri kok. Bisa dari orang lain.”
“Tumbal nyawa?” Tanya Marlina.
“Iya. Tumbal nyawa bayi yang baru lahir.”
*******
Kisah hidup seorang wanita yang menempuh jalan pintas demi kekayaan. Lantas apakah dia bahagia? Ternyata tidak.
Segalanya yang dia pikir akan menjadi indah, malah berakhir dengan kengerian tak berujung. Bahkan kematian jauh lebih baik dibanding dengan apa yang kelak dia alami…
(Bagian 1)
Brak!
Sinta membanting pintu dengan keras. Wajahnya masam. Napasnya mendengus dengan bibir mengerucut tanda dia sedang kesal.
“Ya ampun! Ada apa sih kamu pulang-pulang kok marah-marah begitu? Sampai banting pintu segala lagi!” Tanya Marlina yang keluar dari dalam kamar dengan balutan handuk di kepala.
Sinta melirik sinis ke arah mamanya lalu membuang muka. “Kesel ma!”
“Kesel kenapa?” Sahut Marlina sambil duduk di samping putrinya.
Sinta langsung memperlihatkan sol sepatunya yang lepas. “Nih! Tadi waktu olah raga sepatunya jebol! Aku malu ma! Diketawain sama teman-teman!”
Demi melihat hal itu, wajah Marlina jadi sendu. Dia tak tau harus bilang apa. Sepatu putrinya itu memang sudah waktunya ganti. Sebenarnya dia ingin sekali membelikannya. Tapi uang darimana?
Sedangkan uang kontrakan saja dia sudah menunggak sampai 3 bulan. Sementara uang yang tersisa kini hanya cukup untuk ongkos dan makan sampai akhir bulan saja.
“Pokoknya aku minta ganti yang baru! Aku nggak mau pake sepatu ini lagi!” Teriak Sinta sambil menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamar.
Marlina hanya bisa menghela napas sambil membanting punggungnya pada sandaran kursi. Kian hari beban hidupnya kian berat. Sejak dia ditinggal kabur suaminya yang main gila dengan wanita lain, dunia seakan berubah.
Dia yang tadinya hanya ibu rumah tangga biasa, tiba-tiba harus membanting tulang demi bertahan hidup, termasuk membayar uang kontrakan dan biaya sekolah Sinta yang sudah kelas 2 SMA. Sesuatu yang sama sekali tak pernah dia bayangkan.
Penghasilannya sebagai sales gerai kosmetik belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang saat ini bisa dia lakukan.
“Sin, Mama berangkat dulu ya. kalau kamu mau makan, sudah Mama siapkan di meja.” Ucap Marlina sambil mematutkan pakaiannya di depan cermin.
“Alah! Paling pake telor dadar lagi! Bosen ma!” Jawab Sinta dengan suara yang terbenam di balik bantal.
Marlina membisu. Lidahnya kelu. Ucapan putrinya tadi bagai sembilu yang menyayat hati. Perih, tapi tak berdarah.
*******
“Lin? Kok melamun sih?” Tanya Desi, temannya sesama sales.
“Nggak apa-apa Des. Cuma lagi pusing aja.”
“Pusing? Kamu sakit?”
“Bukan pusing itu. Tapi pusing nggak punya duit!”
“Hahaha.. Sama dong kalo gitu! Aku juga!”
Marlina tersenyum kecut. Segala canda dan kelakar Desi berikutnya cuma dia tanggapi alakadarnya. Badannya memang di situ, tapi pikirannya melayang kemana-mana.
“Lina? Kamu Marlina kan?”
Marlina seketika menoleh. Di belakangnya berdiri seorang wanita dengan semerbak wangi parfum mahal.
Sejenak Marlina mengerenyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. Lalu wajahnya berubah sumringah sambil memekik girang.
“Ningsih? Kamu Purwaningsih? Ya Tuhan! Aku sampe nggak ngenalin!”
“Apa kabar Lin? Kamu kerja di sini?”
“Iya Ning. Kamu kemana aja? Kok lama nggak ada kabarnya?”
“Aku pindah ke kota lain. Ini sengaja pulang untuk menengok ibu. Tapi sebentar mau cari oleh-oleh dulu. Nggak enak juga kalau datang tangan kosong. Makanya dari bandara aku langsung mampir ke mall ini.”
Marlina tak terlalu menggubris jawaban Ningsih. Matanya jelalatan memandangi penampilan teman sebangkunya semasa SMA itu yang kini jauh berbeda. Apalagi dengan segala perhiasan yang dikenakannya.
“Si Teguh apa kabarnya Lin? Kalian sudah punya anak berapa?” Sambung Ningsih bertanya.
Mendengar pertanyaan itu spontan wajah Marlina berubah. Dia ragu untuk menjawab. Namun akhirnya dia utarakan apa adanya.
“Minggat Ning.”
“Hah? Minggat? Minggat gimana?”
“Aduh.. panjang ceritanya Ning. Pokoknya sekarang aku cuma tinggal berdua sama anakku.”
“Ya ampun.. Ya sudah, kamu pulang jam berapa? Nanti kita makan sambil ngobrol-ngobrol. Aku kangen sama kamu.”
“Sekitar setengah jam lagi.” Jawab Marlina setelah melirik jam tangannya.
“Ok. Kalo gitu aku ke supermarket dulu. Nanti aku balik lagi ke sini.”
Marlina mengangguk lalu diam terpaku memandangi Ningsih yang pergi kian menjauh.
Marlina benar-benar takjub dengan penampilan temannya itu. Ningsih yang dulu dia kenal sebagai gadis yang polos bahkan cenderung kampungan, kini menjelma menjadi wanita dengan tampilan kelas atas yang memanjakan mata. Betapa cepatnya hidup berubah.
Setengah jam kemudian, Ningsih datang kembali sambil menenteng begitu banyak kantong belanjaan. Marlina cuma bisa tersenyum iri. Dia sudah lupa kapan terakhir kali dia pernah belanja sebanyak itu.
“Nih! Aku beliin buat kamu sama anak kamu. Siapa namanya? Oh iya, Sinta ya?” Ujar Ningsih sambil menyerahkan dua kantong belanjaan berisi berbagai macam makanan dan buah-buahan.
“Aduh, nggak usah repot-repot Ning.” Balas Marlina terlihat sungkan.
“Alah, pake malu-malu segala. Ayo! Kita mau makan di mana?”
“Terserah kamu.”
“Ya sudah. Makan di sana aja yuk?” Ujar Ningsih menunjuk sebuah restoran Jepang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Eh? Jangan di situ Ning! Itu kan mahal?”
“Nggak apa-apa. Aku yang traktir. Ayo!”
Marlina cuma bisa diam sambil berjalan mengikuti Ningsih. Keduanya lantas masuk lalu duduk berhadap-hadapan.
Sang pelayan datang dan langsung menyerahkan daftar menu. Marlina cuma membisu saat membaca nama hidangan yang tak satu pun dia kenali.
“Kamu mau pesan apa?” Tanya Ningsih.
“Samain aja sama kamu.” Jawab Marlina malu-malu.
“Ya sudah. Saya pesan yang ini dua ya mas.” Sambung Ningsih sembari menunjuk daftar menu.
“Lin, gimana ceritanya si Teguh bisa minggat? Dari tadi aku penasaran.” Tanya Ningsih.
Sebentar Marlina menghela napas. Lalu dia pun menceritakan apa yang telah terjadi. Cerita sedih tentang suaminya yang kepincut wanita lain lalu pergi begitu saja meninggalkan dirinya dan Sinta.
“Ya Allah.. Aku bener-bener nggak nyangka Lin. Padahal kalian itu kan pacaran sudah lama ya? Si Teguh juga kayanya cinta mati sama kamu? Kalian itu termasuk pasangan yang serasi waktu SMA dulu.”
“Udah lah Ning. Nggak usah dibahas. Bikin nyesek aja.”
“Eh, sory Lin. Ya sudah, kita bahas yang lain. Gimana kabar Sinta anak kamu? Sudah kelas berapa dia?”
“Sudah kelas 2 SMA Ning.”
“Ya ampun. Nggak berasa ya? Padahal dulu masih kecil. Hmm.. Gimana kalau habis ini aku mampir ke rumah kamu?”
Marlina pun mengiyakan. Jujur saja, dia juga kangen pada sahabatnya itu. Begitu banyak cerita yang ingin dia bagi. Tapi sebenarnya dia ingin tau bagaimana kisah hidup Ningsih hingga dia bisa berubah begitu drastis.
*******
Selama beberapa hari, Ningsih selalu mengunjungi Marlina sambil membawakan berbagai macam oleh-oleh. Beberapa kali dia juga memberikan uang jajan untuk Sinta. Bahkan Ningsih juga melunasi semua hutang-hutang Marlina.
Jujur saja, meski sungkan, Marlina jadi senang karena merasa terbantu. Tapi dia masih ragu dengan pengakuan Ningsih yang bilang kalau dia kini jadi seorang pengusaha yang sukses.
Cerita Ningsih terlalu mengada-ada. Bahkan cenderung dilebih-lebihkan. Dan Marlina kenal betul dengan Ningsih yang sejak dulu memang tak pandai berbohong.
Akhirnya Marlina coba menanyakan kembali tentang pekerjaan Ningsih dan terus mendesaknya agar mau berterus terang.
Merasa terpojokkan, Ningsih pun menyerah. Akhirnya dia mengaku kalau dia memang berbohong. Sejak dulu dia memang tak pandai menyimpan rahasia. Apalagi di hadapan Marlina yang begitu mengenalnya luar dalam.
“Ok Lin, aku mau jujur sama kamu. Asal kamu tau, sebenarnya aku belum pernah ceritakan ini pada siapa pun. Tapi khusus untuk kamu, ini jadi satu pengecualian. Tapi kamu harus janji jangan bilang siapa-siapa.” Ucap Ningsih.
Marlina heran. Dari gelagatnya, apa yang hendak disampaikan Ningsih seakan-akan sebuah rahasia yang teramat besar.
“Memangnya kamu kerja apa sih?”
“Nggak Lin. Aku nggak kerja. Aku dapatkan semua ini dari suamiku.”
“Suami? Kamu nikah sama orang kaya?”
“Bisa dibilang begitu. Tapi aku nikah bukan sama manusia.”
“Bukan sama manusia? Ini maksudnya gimana sih?”
Sebentar Ningsih celingak-celinguk memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengarkan. Lalu dia berbisik lirih persis dekat telinga Marlina.
“Aku nikah sama siluman. Pesugihan Lin.”
“Heh! Jangan bercanda ya Ning! Aku nanya serius!” Balas Marlina sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
“Aku nggak bercanda Lin. Aku serius. Sudah hampir 3 tahun aku jalani semua ini. Hasilnya bisa kamu lihat sendiri.” Sahut Ningsih seraya membentangkan tangan seolah memamerkan dirinya.
“Tunggu dulu. Ini kamu beneran? Nikah sama siluman? Jadi suami istri?” Tanya Marlina lagi minta diyakinkan. Padahal dirinya merasa kali ini Ningsih tak bohong.
“Iya. Beneran. Masa aku bohong.”
“Lalu kalian tinggal satu rumah atau bagaimana? Coba tolong jelaskan.”
“Ya nggak gitu juga Lin. Namanya juga nikah sama mahluk gaib, sudah pasti caranya juga beda. Kami nggak tinggal satu rumah. Suamiku itu cuma datang di waktu-waktu tertentu saja.”
“Ya Tuhan… Edan kamu Ning!” Sahut Marlina sembari geleng-geleng kepala.
Ningsih cuma tersenyum sambil mengangkat bahu. Dia pun kembali melanjutkan penuturannya.
“Tadinya aku juga nggak nyangka bakal begini Lin. Tapi aku terpaksa. Keluargaku terlilit hutang yang amat besar. Gara-gara itu orang tuaku jadi sakit. Semua harta sudah ludes terjual. Aku putus asa. Sampai akhirnya ada yang menawarkan aku untuk menempuh cara ini.”
Marlina terdiam. Alasan Ningsih terdengar klise. Sudah terlalu banyak kisah serupa yang dia dengar. Tapi siapa kira justru kini sahabatnya sendiri yang mengalaminya. Sungguh ironis.
“Kalau benar begitu, memangnya kamu nggak takut dengan resikonya? Kata orang kan pesugihan itu biasanya minta tumbal?”
“Iya betul. Tapi tumbalnya tidak harus dari keluarga sendiri kok. Bisa dari orang lain. Dan itu juga setahun sekali.”
“Tumbal nyawa?” Tanya Marlina.
“Iya. Tumbal nyawa bayi yang baru lahir.”
Marlina terperanjat! Mulutnya melongo. Bulu kuduknya seketika merinding…
“Gila kamu Ning! Kok tega sih? Lalu bayi siapa yang sudah kamu tumbalkan?”
“Bayi orang lain. Aku nggak kenal. Aku cuma diminta untuk memberikan tanda pada si calon korban. Lalu siluman itu sendiri yang datang menjemputnya.”
“Ya Tuhan…”
Marlina cuma bisa geleng kepala. Dia benar-benar tak menyangka kalau Ningsih yang dulunya dia kenal begitu polos kini berbicara tanpa empati layaknya pembunuh berdarah dingin.
Tapi dia tak mau menghakimi. Di dunia yang gila ini, segalanya bisa saja terjadi. Apalagi bila sudah berurusan dengan uang.
Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara keji sekali pun. Seperti yang baru saja Ningsih sampaikan.
Selama beberapa hari, cerita Ningsih selalu terngiang-ngiang di telinga Marlina. Begitu mengusik pikirannya.
Jujur saja, dia salut dengan Ningsih yang berani ambil resiko untuk menempuh jalan gila itu. Bahkan dia sangsi apakah dia berani melakukan hal yang sama bila ada di posisi Ningsih.
Tapi semakin direnungi, Marlina merasa kalau saat ini dirinya juga ada dalam situasi yang mirip. Memang tak sama persis, tapi himpitan ekonomi yang saat ini dia alami membuat dirinya merasa terwakili oleh cerita Ningsih.
Sampai akhirnya bisikan setan pun mulai menyelinap ke dalam hatinya, menguasai pikirannya, menutupi keimanannya. Hingga membuatnya tergoda untuk meniru jalan yang ditempuh Ningsih.
Kalau Ningsih bisa, kenapa aku tidak? Lagipula dari cerita Ningsih, resikonya tak terlalu menakutkan. Dia pun lantas menakar dan meyakinkan diri kalau dia juga sanggup melakukannya.
“Ning, kamu bisa bantu aku untuk mengikuti jejakmu?” Tanya Marlina pada Ningsih.
Untuk sesaat Ningsih cuma tersenyum. Marlina jadi sedikit heran melihat reaksi dari sahabatnya itu.
“Kenapa kamu malah senyum-senyum gitu? Aku serius Ning.” Desak Marlina.
“Hmm.. Sudah kuduga kalau kamu akan memintanya. Aku kenal kamu Lin. Kamu tak terbiasa hidup susah. Tapi apa kamu yakin? Kamu tau kan kalau ini jalan yang dilaknat Tuhan?”
“Ah! Persetan dengan Tuhan! Dimana Dia saat aku membutuhkannya? Justru malah kamu yang datang jadi malaikat penolong. Dan aku yakin kalau ini adalah jalan keluar dari semua kesulitanku.”
“Tapi apa kamu sudah mantap? Asal kamu tau, setelah kamu melakukannya, tak ada lagi jalan untuk kembali. Kamu selamanya akan jadi budak siluman itu.”
“Aku sudah siap. Semua sudah kupikirkan baik-baik. Lebih baik jadi budak siluman tapi hidup senang daripada terus-terusan hidup susah. Aku sudah nggak sanggup Ning. Kalau saja tak ingat Sinta, rasanya mau mati saja.”
Ningsih kembali tersenyum. Dia maklum dengan sikap sahabatnya itu. Marlina anak semata wayang dari keluarga yang dulunya kaya. Dia sejak kecil begitu dimanja. Hingga akhirnya cinta membutakan matanya.
Dia nekat menikahi Teguh kekasihnya sejak SMA meski pemuda itu berasal dari keluarga yang ekonominya tergolong pas-pasan.
Awalnya mereka memang bahagia. Orang tua Marlina terus memberikan dukungan berupa limpahan uang yang justru membuat pasangan itu jadi terlena.
Namun nasib mulai berbalik sejak papanya Marlina masuk penjara karena tersangkut skandal korupsi hingga semua hartanya disita. Mamanya yang syok kemudian jadi sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal akibat tak kuat menanggung malu dan hebatnya tekanan batin.
Namun semua kesengsaraan itu rupanya belum cukup. Teguh yang jadi sandaran Marlina satu-satunya malah bertingkah gila dengan main serong lalu pergi meninggalkan anak istrinya.
“Baiklah kalau memang kamu sudah yakin. Besok kamu ikut aku.” Ucap Ningsih yang langsung disambut senyuman Marlina.
*******
Esok harinya, Marlina dibawa Ningsih pergi menemui mak Enok, seorang nenek tua yang jadi kuncen penghubung antara sang siluman dengan para calon pemujanya.
Rumahnya jauh di sebuah desa terpencil. Butuh waktu seharian untuk mereka bisa sampai ke sana.
Singkat cerita, kini Marlina dan Ningsih telah duduk di hadapan mak Enok yang terus memandangi Marlina lekat-lekat.
“Apa kamu sudah yakin? Kalau masih ragu, lebih baik kamu pulang saja. Ini bukan untuk main-main.” Ucap mak Enok coba mengukur seberapa keras tekad Marlina.
“Yakin mak. Lahir batin saya sudah siap.” Jawab Marlina sambil melirik Ningsih yang duduk di sebelahnya. Ningsih pun mengangguk demi ikut meyakinkan mak Enok.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti malam kita langsung saja mulai upacaranya. Aku akan siapkan dulu syarat-syaratnya. Sementara menunggu, kalian boleh tetap tinggal di sini.”
Selesai berkata, mak Enok pun pergi meninggalkan kedua sahabat itu. Entah mau kemana, Marlina tak berani bertanya.
“Ning, apa nanti aku harus memberikan imbalan untuk mak Enok?” Tanya Marlina sesaat setelah mak Enok pergi.
“Sebenarnya sih nggak perlu. Dia nggak pernah minta apa-apa. Tapi biasanya setiap orang akan memberikan uang sebagai tanda terima kasih kalau niatnya sudah terkabul. Terserah mau kasih berapa. Dulu aku kasih dia 100 juta.”
“Hah? 100 juta? Nggak salah?” Pekik Marlina terperangah.
“Iya. Nggak masalah. Asal kamu tau, kalau sampai nanti kamu berhasil, uang yang akan kamu dapatkan itu jumlahnya nggak kira-kira. Bisa milyaran.”
Marlina kembali terperangah! Dadanya langsung berdebar-debar mendengar jawaban Ningsih.
“Gila! Serius? Sebanyak itu?”
“Iya. Itu belum seberapa. Malah kalau kamu pintar menyimpan uang, jumlahnya bisa sampai puluhan milyar, bahkan lebih. Tapi jarang ada orang yang bisa simpan uang sampai sebanyak itu. Biasanya mereka dengan entengnya akan menghambur-hamburkannya. Termasuk aku.”
Demi mendengar hal itu, seketika hati Marlina jadi berbunga-bunga. Dulu orang tuanya yang kaya saja tak pernah bisa punya uang sebanyak itu. Dia pun makin tak sabar untuk segera mendapatkannya.
Menjelang tengah malam, mak Enok kembali datang. Dia pun langsung meminta Marlina untuk mandi kembang di halaman belakang yang telah dipersiapkannya.
Selesai mandi, Marlina diminta untuk berbaring tanpa busana di atas dipan kayu. Mak Enok pun mengasapi sekujur tubuh Marlina dengan asap dari bakaran dupa yang aromanya begitu menyengat.
Setelah selesai, mak Enok menyayat lengan Marlina dan menampung darahnya dalam sebuah mangkuk. Lalu dia memecahkan sebutir telur abu-abu berbintik hitam yang isinya dicampurkan dengan darah Marlina yang ada di dalam mangkuk tadi.
“Minum ini. Habiskan.” Perintah mak Enok sambil menyodorkan mangkuk itu kepada Marlina yang kini duduk bersimpuh di hadapannya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Marlina menerimanya. Tercium bau anyir bercampur amis yang seketika membuat perutnya mual. Namun dia berusaha untuk menahan diri agar tak muntah lalu meminumnya sampai habis.
Mak Enok terus memperhatikan semua itu sambil manggut-manggut. Begitu pula Ningsih yang sejak tadi ikut menyaksikan.
“Sekarang dengar baik-baik. Tujuh hari ke depan, sang siluman akan datang menemuimu. Untuk itu kamu harus sudah siap. Itu adalah malam pertamamu sebagai pengantin. Tapi ingat, jangan sampai ada orang yang tau saat kamu melakukannya, atau semuanya akan sia-sia.”
Marlina pun mengangguk meski sebenarnya dia masih kurang paham. Tapi dia pikir selebihnya nanti bisa dia tanyakan pada Ningsih.
“Dan satu hal lagi. Setelah itu, kamu sudah harus memberikan tumbal sebelum genap satu bulan. Aku tak perlu lagi menjelaskan caranya. Kamu nanti bisa tanyakan pada temanmu ini.” Pesan mak Enok lagi.
“Iya mak.” Balas Marlina mengangguk patuh.
“Bagus. Sekarang kamu boleh pulang.” Ucap mak Enok menutup semua rangkaian upacara.
Sepanjang perjalanan pulang, Marlina pun meminta petunjuk Ningsih atas semua hal yang dia kurang mengerti.
“Ning, untuk melakukannya, apa aku harus punya kamar khusus?”
“Iya. Kamu kan tadi dengar sendiri? Mak Enok bilang, jangan sampai ada orang lain yang tau.”
“Aduh. Aku baru kepikiran. Di rumah kan ada Sinta?”
Ningsih malah tertawa. Marlina jadi tambah bingung. Apanya yang lucu?
“Ya ampun Lin, gitu aja kok repot. Kamu tinggal pesan kamar hotel. Beres!”
“Memang bisa begitu?”
“Kenapa enggak? Dia itu mahluk gaib. Dimana pun kamu berada, dia pasti akan menemukanmu.”
Marlina langsung manggut-manggut. Lalu dia pun lanjut bertanya tentang hal lainnya.
“Kira-kira tampangnya seperti apa Ning? Apa dia nakutin?”
Ningsih menggeleng sambil tersenyum. “Sama sekali nggak. Dia akan datang dalam wujud lelaki biasa. Pokoknya kamu nggak perlu takut. Tapi kata mak Enok, suatu saat nanti dia akan datang dalam wujud aslinya.”
“Memang aslinya gimana?”
“Aku sih nggak tau. Selama ini dia belum pernah tunjukkan wujud aslinya padaku. Tapi kata mak Enok, dia itu punya wujud asli seekor ular.”
Marlina langsung kaget. Ular? Kenapa mesti binatang yang satu itu? Sejak dulu dia paling takut dengan mahluk melata yang menjijikkan itu.
“Kenapa? Takut?” Ejek Ningsih begitu melihat wajah Marlina yang berubah kecut.
“Iya. Kamu kan tau sendiri, dari dulu aku paling takut sama ular.”
“Tenang aja Lin. Aku punya tips buat kamu. Kalau suatu saat nanti dia tunjukkan wujud aslinya, kamu merem aja. Nggak perlu kamu lihat sampai tugasmu selesai. Beres kan?” Ucap Ningsih memberi saran.
Marlina kembali manggut-manggut. Kekhawatirannya sedikit berkurang. Kini dia sudah tak sabar untuk menantikan ‘malam pertama’ nya.
(Bagian 2)
Setelah masuk dan mengunci pintunya, Marlina langsung berjongkok di lantai kamar mandi. Perutnya makin melilit. Lalu dia paksakan mengejan hingga akhirnya terasa ada sesuatu yang keluar dari kemaluannya..
Plok!
Marlina menjerit tertahan dengan mata terbelalak!
Ada telur berwarna abu-abu berbintik hitam yang langsung menggelinding di lantai kamar mandi!
Dan akhirnya malam yang dinantikan pun tiba. Kini Marlina sedang duduk berkhidmat di atas ranjang dalam sebuah kamar hotel melati yang dia sewa.
Dia sengaja mencari hotel yang letaknya jauh dari rumah karena takut kalau ada tetangga yang memergoki. Dia pun terpaksa berbohong pada Sinta dengan mengatakan kalau dia harus lembur sampai besok pagi.
Diliriknya jam dinding, hampir tengah malam. Rasa gelisah dan gugup bercampur jadi satu dengan irama jantungnya yang berdetak tak beraturan.
“Tenang Marlina.. Tenang.. Kamu pasti bisa.. Ingat uangnya..” Batinnya coba membesarkan nyali demi meredam rasa gugup.
Dipandanginya ranjang penuh taburan bunga yang menebarkan aroma wangi sedap malam. Dipastikannya kembali aroma tubuhnya sendiri yang tercium tak kalah semerbak.
Sebentar lagi ‘Dia’ datang. Tak ada lagi kata mundur. Sudah terlambat untuk berpikir ulang. Kesulitan hidup yang selama ini dia alami bagai bara api yang membakar tekadnya.
Teng!
Jarum jam menunjukkan tepat pukul 12 malam. Mendadak suasana jadi hening. Dunia seolah terhenti. Deru kendaraan yang lalu-lalang di luar sana seakan hilang begitu saja.
Lalu entah darimana, ada hawa dingin yang berhembus menerpa tengkuk Marlina hingga dia merinding.
Udara dalam kamar tiba-tiba saja terasa begitu dingin. Marlina makin gelisah terbawa suasana yang menjurus mistis.
Hingga tak lama berselang, lampu kamarnya tiba-tiba saja berkedip-kedip, lalu mati.
Pet!
Marlina spontan mendongakkan kepala. Apakah ini pertanda kalau calon suaminya sudah hadir? Tapi dia malah khawatir kalau lampunya mungkin saja memang bermasalah.
Marlina turun dari ranjang sekedar untuk memeriksa. Dia tak ingin hal sepele macam ini jadi merusak segalanya. Namun tiba-tiba..
“Apa kamu sudah siap?”
Marlina kaget! Suara siapa itu? Dia memicingkan mata memaksakan pandangan menembus remang demi melihat ke arah sumber suara. Dan akhirnya dia temukan apa yang dia cari…
Di sana, di balik kegelapan, terlihat seorang lelaki sedang duduk di kursi membelakangi dirinya. Padahal jelas-jelas kursi itu tadinya ada di tempat lain. Bagaimana bisa?
Lantas Marlina teringat cerita Ningsih, kalau siluman itu bisa hadir dengan berbagai macam cara. Namun Marlina tak berani mendekat. Sementara lelaki itu masih duduk di sana seolah sedang menikmati suasana.
“Kenapa diam? Apa kamu sudah siap?” Tanya lelaki itu mengulangi pertanyaannya.
Marlina mengangguk. Dia berusaha bersikap setenang mungkin. Tapi rasa takut yang sejak tadi jinak kini malah merajalela.
“Buka pakaianmu. Berbaringlah di atas ranjang.” Perintah lelaki itu dengan suara yang berat dan berwibawa layaknya raja yang tengah bersabda.
Marlina ragu. Tapi mau bagaimana lagi? Batinnya mengatakan kalau dia harus menuruti permintaan itu. Meski malu-malu, dia mulai menanggalkan seluruh pakaiannya kemudian berbaring di atas ranjang dengan tubuh yang kini polos.
Dalam posisi rebah, mata Marlina terpejam. Jujur saja, dia benar-benar takut. Keberanian yang sejak tadi dia kumpulkan seolah lenyap begitu saja. Langsung terbayang sosok ular yang jadi momok bagi dirinya.
Sejenak Marlina menunggu perintah selanjutnya. Namun suasana yang kembali hening malah membuatnya jadi heran sendiri.
Pelan-pelan dia membuka mata lalu melirik ke arah kursi yang telah kembali ke tempatnya semula. Tapi lelaki itu sudah tak ada.
Kemana dia?
Marlina memberanikan diri bangun dari rebah lalu duduk di atas kasur. Ditariknya selimut demi menutupi tubuh telanjangnya yang kedinginan. Matanya jelalatan menjelajah seisi ruang redup. Namun lelaki itu tak juga ditemukan. Apa dia pergi?
Marlina tergerak untuk bangkit dari ranjang. Namun belum apa-apa, dia kembali terkejut saat lelaki itu tiba-tiba sudah berdiri di sudut kamar tak jauh dari ranjangnya.
Marlina diam membeku. Dia terkesima. Alih-alih melihat tampang yang menakutkan, dirinya malah disuguhi pemandangan yang membuat jantungnya jadi berdebar-debar…
Diterangi sedikit cahaya yang tembus dari luar, nampaklah sosok lelaki itu sebatas pinggang ke atas yang tanpa mengenakan pakaian.
Wajahnya begitu tampan nyaris tanpa cela. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya kekar dan atletis dengan otot mengukir layaknya dewa-dewa dari Yunani.
Namun semua kekaguman itu seketika sirna saat lelaki itu maju dua langkah hingga seluruh badan telanjangnya jadi terlihat.
Astaga!
Marlina tersurut mundur sambil memalingkan wajah! Ternyata kemaluan lelaki itu berupa seekor ular bersisik kehijauan yang meliuk-liuk sambil mendesis-desiskan lidahnya!
Ya Tuhan!
“Kenapa? Kamu takut? Kamu bisa mundur kalau kamu takut.” Ucap lelaki itu sambil bertolak pinggang seolah memamerkan kejantanannya yang tak henti mendesis.
Marlina menelan ludah. Semua ini sungguh jauh di luar dugaannya. Dia memang telah siap dengan segala kemungkinan. Tapi kemaluan berupa ular adalah kemungkinan paling gila yang sungguh tak terbayangkan.
Mengapa Ningsih tak pernah cerita? Apa jangan-jangan sahabatnya itu sengaja menyembunyikannya agar dirinya tak takut?
Marlina coba menguasai diri. Setengah mati berusaha menahan rasa takut bercampur jijik yang membuat bulu kuduknya jadi bergidik.
Namun dia kesulitan untuk menyingkirkan semua rasa itu. Bagaimana bisa? Dia tak sanggup membayangkan seandainya binatang melata itu benar-benar masuk ke dalam organ kewanitaannya. Apa jadinya nanti?
Tapi lelaki itu seperti tau apa yang ada dalam pikiran Marlina. Dia kembali berucap dengan suara lembut yang sedikit membujuk.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku takkan menyakitimu. Kamu adalah calon istriku. Aku akan memperlakukanmu dengan baik dan akan memberikanmu kesenangan yang belum pernah kamu rasakan.”
Mendengar ucapan itu Marlina jadi sedikit lebih tenang. Tapi dia belum sepenuhnya percaya. Apa iya seperti itu? Bagaimana kalau dia bohong? Jika manusia saja bisa ingkar, apalagi siluman?
Namun lelaki itu mulai mendekat. Suara desis ular di sela pangkal pahanya terdengar makin menakutkan.
Marlina cuma bisa pasrah lalu kembali berbaring sambil memejamkan mata. Sudah kepalang tanggung, apa pun yang terjadi, terjadilah.
Sang siluman perlahan ikut berbaring persis di samping Marlina. Namun siapa sangka, ternyata tubuh lelaki itu begitu wangi. Aromanya sama persis seperti parfum yang sering digunakan Ningsih.
Lelaki itu pun memulai aksinya. Marlina hanya diam ketika sang siluman mulai menjamah setiap jengkal lekuk tubuhnya yang padat berisi.
Lelaki itu benar-benar menepati ucapannya. Sentuhannya begitu lembut hingga membuat Marlina mulai terlena.
Namun ketika kedua paha Marlina dibentangkan dan ular kejantanan lelaki itu menemukan ‘sarangnya’, Marlina seketika memekik!
Tapi pekiknya bukan karena sakit. Melainkan karena terkejut merasakan sensasi rasa yang sungguh luar biasa…
Marlina memang sudah pernah menikah sebelumnya. Namun dia tak pernah merasakan hal semacam itu saat melakukannya dengan suaminya dulu.
Dan akhirnya terjadilah. Dua mahluk berbeda alam menyatu dalam sebuah perbuatan terlarang. Marlina bagai dibawa terbang menembus awan. Rasanya seperti masuk ke alam mimpi hingga waktu seolah terabaikan.
Entah berapa lama semua itu terjadi. Sampai akhirnya semuanya selesai. Marlina terkulai lemas sambil menggigit bibir.
Rasa takutnya sudah hilang entah kemana. Berganti dengan luapan rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Namun sejak tadi matanya tetap terpejam. Tapi dengan begitu, justru semuanya bisa dia nikmati tanpa rasa takut.
“Istriku, aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi.” Bisik lelaki itu persis di telinga Marlina.
Marlina cuma mengangguk lalu memberanikan diri membuka mata. Kini lelaki itu telah berdiri persis di samping ranjang, lalu tiba-tiba menghilang.
Marlina bernapas lega. Malam pertamanya telah usai. Tapi mengapa dia seolah menyesali kepergian lelaki itu? Mungkin terdengar sedikit gila, namun kini terselip rasa rindu dalam lubuk hatinya.
Marlina meraih segelas air putih di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia tenggak isinya sampai habis. Tubuhnya yang lengket bermandikan peluh membuatnya jadi jengah. Dia ingin segera mandi.
Namun ketika dia turun dari ranjang dan menjejakkan kakinya di lantai, terasa ada sesuatu yang terinjak. Dia spontan melihat ke bawah dan langsung terperangah sampai melongo..
Uang! Lantainya penuh dengan uang! Bertebaran memenuhi lantai di sekitar ranjangnya! Gila! Apakah ini nyata?
Diambilnya selembar uang pecahan 100 ribu lalu diterawangnya untuk memastikan kalau itu benar-benar uang asli. Kemudian dia pun melonjak kegirangan seperti orang gila!
“Kaya! Aku sekarang jadi orang kaya! Ya Tuhan, apakah ini mimpi?”
Lalu dia tersenyum geli. Jelas-jelas dia tak bermimpi. Bukankah dia baru saja melacurkan diri kepada siluman? Namun dia tak perduli. Yang penting adalah hasilnya!
Dan ini baru malam pertama!
*******
“Bagaimana Lin? Berhasil?” Tanya Ningsih saat dia berkunjung ke rumah Marlina esok harinya.
Marlina mengangguk sambil tersenyum bangga. Lalu dia membuka tas yang ada di dekatnya dan langsung diperlihatkan kepada Ningsih.
“Waw! Berapa banyak?” Ningsih membelalakkan mata seraya berdecak kagum.
“Satu tas penuh! Aku belum hitung. Mungkin ratusan juta.” Jawab Marlina dengan girangnya.
“Sinta gimana? Dia curiga nggak?” Tanya Ningsih lagi.
“Aman. Dia nggak tanya apa-apa. Lah wong pulang-pulang langsung aku belikan makanan kesukaannya. Trus aku kasih duit. Aku bilang itu hasil lembur tadi malam.”
“Bisa aja kamu. Trus semalam ‘rasanya’ gimana?” Ningsih mengedipkan mata sambil sunggingkan senyum nakal.
“Gila Ning! Teguh nggak ada apa-apanya! Tapi kamu kok nggak cerita kalau kejantanannya berbentuk ular? Aku sampai kaget!” Jawab Marlina.
“Hahaha.. Iya maaf. Aku memang sengaja kasih kejutan. Habis kalau aku cerita, kamu pasti ketakutan. Malah bisa-bisa kamu nggak jadi.”
Marlina tersenyum mendengar jawaban itu. Ningsih benar. Hal itu memang membuatnya terkejut. Tapi apa pun itu, semuanya kini telah berhasil dia lalui. Sekarang tinggal langkah selanjutnya. Mencari tumbal…
“Kamu sudah dapat calon tumbalnya Lin?” Tanya Ningsih kini dengan wajah serius.
“Belum Ning. Tapi pasti segera aku cari. Kamu ada saran?” Sahut Marlina setengah berbisik.
“Nggak ada. Kamu kan tau sendiri, aku sudah lama nggak tinggal di sini, jadi aku nggak tau dimana ada wanita yang hamil tua atau bayi yang baru lahir.”
Marlina mengangguk. Dia juga belum tau dimana harus mencarinya. Lalu dia teringat kalau pernah melihat ada tetangganya yang sedang hamil besar. Dia pun langsung tersenyum dengan mata memicing licik.
“Lin. Besok aku pulang. Jaga dirimu baik-baik. Mulai sekarang kita harus sering-sering berkabar. Lain waktu aku undang kamu untuk datang ke rumahku.” Ujar Ningsih memohon pamit.
“Terima kasih ya Ning. Aku nggak tau harus bilang apa. Kamu memang dewa penolongku.” Balas Marlina lalu memeluk sahabatnya itu erat-erat.
*******
Seminggu telah berlalu. Kini Marlina bagai menemukan kehidupannya yang telah lama hilang.
Dia pun berniat untuk keluar dari pekerjaannya. Sesuai saran Ningsih, dia akan memulai sebuah usaha sebagai penyamaran agar semuanya terlihat wajar di mata orang.
Marlina berniat untuk membuka salon kecantikan atau toko kosmetik sesuai apa yang digelutinya selama ini. Tapi itu urusan nanti. Sekarang yang terpenting adalah mencari tumbal secepatnya.
Hingga malam itu, tepat malam ke-10, Marlina merasakan nyeri di perutnya. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. sebentar datang, lalu hilang lagi.
Sebenarnya sudah beberapa hari dia merasakan sakit itu. Tapi kini rasa sakitnya kian tak tertahankan.
“Ya Tuhan, apakah ini sudah waktunya?” Marlina membatin sambil mengusap-usap perutnya.
Sudah hampir tengah malam, diliriknya Sinta yang sedang tertidur pulas. Mendadak rasa mulas itu kembali datang. Namun kali ini rasa sakitnya sungguh tak kira-kira. Marlina pun segera berlari menuju kamar mandi.
Setelah masuk dan mengunci pintunya, dia langsung berjongkok di lantai kamar mandi.
Perutnya makin melilit. Lalu dia paksakan mengejan hingga akhirnya terasa ada sesuatu yang keluar dari lubang kemaluannya..
Plok!
Marlina menjerit tertahan dengan mata terbelalak!
Ada telur berwarna abu-abu berbintik hitam yang langsung menggelinding di lantai kamar mandi!
Namun belum hilang rasa kagetnya, kembali terasa ada sesuatu yang meluncur keluar dari organ kewanitaannya..
Plok!
Plok!
Keluar secara beruntun dua butir telur berbentuk sama yang berlumuran darah bercampur lendir.
Marlina spontan berdiri meski darah kini meleleh di kedua pangkal pahanya yang menebarkan bau amis.
Dia segera menjauh ke sudut kamar mandi sambil memandangi ketiga butir telur aneh itu. Meski sebenarnya dia sudah tau hal ini akan terjadi, namun tetap saja dia terkejut.
Sejenak dia menunggu sambil bersandar pada dinding kamar mandi. Lalu tiba-tiba dua dari tiga butir telur itu nampak bergerak-gerak lalu pecah!
Krak!
Astaga!
Marlina menjerit tertahan saat melihat ada dua ekor ular kecil bersisik kehijauan yang keluar dari dalam cangkang telur yang pecah!
Marlina sampai mengangkat satu kaki saking takutnya. Sesaat ular-ular itu menggeliat di lantai kemudian dengan anehnya tiba-tiba saja hilang tanpa bekas!
“Kemana ular-ular itu?”
Batin Marlina bertanya dalam takut. Dia masih belum berani bergerak. Bisa jadi ular-ular itu sembunyi di balik ember.
Matanya jelalatan memperhatikan sekitar, namun sepertinya ular-ular itu benar-benar telah lenyap.
Perlahan Marlina menurunkan kembali satu kakinya. Kini dipandanginya sebutir telur yang tersisa.
Dia telah siap kalau memang telur itu juga pecah seperti yang lain. Namun setelah menunggu beberapa saat, tak ada lagi yang terjadi.
Dengan ragu-ragu Marlina mendekati telur itu. Diambilnya air dengan gayung lalu menyiram telur itu berulang kali demi membasuh noda darah dan lendir yang melekat pada cangkangnya.
Kemudian Marlina memberanikan diri memungutnya. Dibersihkannya telur itu dengan ujung dasternya hingga kering, lalu dia tersenyum sambil menimang-nimang telur itu dalam genggamannya.
“Maa… Mama lagi ngapain?” Terdengar suara Sinta di luar sana.
Marlina seketika gelagapan sambil menggerutu. “Aduh! Mau apa sih anak itu? Kok tumben malam-malam begini dia bangun?”
“Iya sebentar. Mama lagi buang air.” Jawab Marlina sekenanya.
“Cepetan ma! Sinta kebelet pipis! Udah nggak tahan!” Sahut Sinta setengah berteriak.
Marlina segera memungut bekas cangkang telur yang pecah tadi lalu meremukkannya hingga jadi serpihan-serpihan kecil. Dia pun cepat-cepat membuangnya ke lubang wc lalu menyiramnya dengan air sebanyak mungkin.
“Maa! Ayo dong! Sinta udah nggak tahan!” Teriak Sinta memaksa sambil mengetuk pintu berulang kali.
“Iya, Ini udah selesai.” Sahut Marlina lalu membuka pintunya sambil menyembunyikan telur yang masih utuh di balik dasternya.
Sinta bergegas masuk tanpa menunggu Marlina keluar hingga mereka hampir bertabrakan di depan pintu. Namun wajah Sinta berubah saat matanya melihat kaki mamanya.
“Ma? Mama kenapa? Itu kok berdarah?” Tanya Sinta sambil menunjuk lelehan darah yang mengalir sampai betis Marlina.
Marlina kaget lalu mengutuk diri sendiri. “Astaga! Bodohnya aku! Kenapa bisa sampai lupa?”
“Oh, ini tadi waktu buang air, mama mendadak ‘dapet’, jadinya mama nggak siap pembalut. Baru aja mau mama bersihkan, tapi kamu keburu dateng.” Jawab Marlina coba berkilah.
“Idih! Mama jorok!” Sinta mengejek lalu buru-buru meminta mamanya keluar kemudian menutup pintu kamar mandi.
Marlina bergegas masuk ke dalam kamar. Hatinya lega karena nampaknya Sinta percaya bualannya dan tak memperhatikan apa yang dia sembunyikan di balik dasternya.
Dia cepat-cepat sembunyikan telur itu dalam lemari di sela-sela tumpukan pakaian lama pada ambalan paling bawah. Dia yakin kalau Sinta takkan bisa menemukannya.
Lantas dibersihkannya lelehan darah pada kedua kakinya. Berlembar-lembar tissue dia habiskan hingga akhirnya noda itu hilang meski bau amisnya masih samar tercium.
“AAAH! MAMAA!”
Terdengar suara Sinta memekik dari kamar mandi. Marlina bergegas kembali ke sana dan mendapati Sinta sedang berdiri ketakutan persis di luar kamar mandi.
“Kenapa?” Tanya Marlina.
“Ular ma! Ada ular kecil-kecil di dalam kamar mandi!” Sahut Sinta setengah berteriak dengan wajah pucat sambil menunjuk-nunjuk.
“Ya Tuhan.. Jangan-jangan ular yang tadi?” Batin Marlina coba menerka. Diambilnya sapu demi mempersenjatai diri.
mendadak terdengar suara yang begitu dia kenali.
“Jangan kamu sakiti ular-ular itu. Mereka anak-anak kita.”
Marlina kaget hingga sapu di tangannya terlepas. Di sudut sana, sang siluman berdiri sambil menatap tajam ke arahnya.
Lelaki itu kini mengenakan pakaian yang aneh. Marlina melirik ke arah Sinta demi melihat respon gadis belia itu. Tapi nampaknya Sinta tak bisa melihat keberadaan sang siluman.
Marlina mengangguk. Lalu dia coba membujuk Sinta agar putrinya itu tidak bertambah panik.
“Ular apa sih? Jangan ngaco deh. Kamu kan baru bangun tidur? Mungkin kamu masih ngantuk makanya jadi ngelantur.” Ujar Marlina coba beri penjelasan yang masuk akal.
Sinta terdiam. Sepertinya dia terpengaruh ucapan Marlina. Terlihat dari wajahnya yang jadi meragu.
Marlina pun ambil kesempatan dengan kembali ucapkan kalimat yang bisa membuat putrinya tenang.
“Sudah, nggak ada apa-apa. Lebih baik kamu tidur, besok kan sekolah? Nanti kamu kesiangan.”
Sinta mengangguk mengiyakan. Dia pun berbalik pergi menuju kamar. Marlina lega. Matanya kembali melirik ke arah siluman tadi, namun rupanya dia telah pergi.
Sesaat Marlina tertegun. Terngiang kembali ucapan siluman itu.
“Anak-anakku? Ya Tuhan, aku punya anak seekor ular.”
Namun Marlina tak ingin perasaannya terlalu larut dalam drama. Dia sadar kalau ini adalah resiko dari perbuatannya. Sebuah resiko yang dianggapnya setimpal dengan hasil yang dia raih.
Dia pun kembali masuk ke kamar mandi demi membilas kaki dan kemaluannya yang masih berbau amis.
Namun setelah selesai dan baru saja melangkah keluar dari kamar mandi, dia merasa ada sesuatu yang licin menyentuh mata kakinya..
Astaga!
Ular-ular tadi! Entah darimana datangnya tiba-tiba saja sudah melilit pergelangan kakinya!
Setengah mati Marlina menahan diri agar tak menjerit. Tapi rasa jijik bercampur takut membuat tubuhnya jadi gemetar.
Sejenak Marlina cuma bisa diam mematung. Dia tak tau harus bagaimana. Ingin rasanya dia ambil sapu atau apapun untuk mengusir ular-ular itu.
Namun dia sadar kalau dia tak boleh melakukannya. Suka tak suka, mau tak mau, dia harus menerima keberadaan ular-ular itu sebagai anak-anaknya.
Lalu tiba-tiba ular-ular itu menggigit kakinya!
Marlina spontan menjerit sambil menutup mulutnya dengan tangan agar suaranya redam. Dia tak mau kalau Sinta sampai mendengarnya.
Marlina meringis menahan rasa nyeri saat kedua ular itu seolah menghisap darahnya.
Hingga akhirnya ular-ular itu melepaskan pagutannya lalu merayap pergi meninggalkan Marlina yang merasakan kakinya kini jadi nyut-nyutan.
Marlina limbung hingga terduduk di lantai. Dipandanginya luka bekas gigitan ular yang merona di kedua pergelangan kakinya.
Hampir 10 menit dia duduk hingga akhirnya kakinya terasa normal kembali. Dia pun bergegas pergi ke kamar meski berjalan sedikit pincang.
*******
Pagi buta Marlina terbangun dan langsung memperhatikan kedua kakinya. Dia heran, luka bekas gigitan itu telah hilang.
Dia pun tak lagi merasakan sakit. Dia coba bawa kakinya untuk berjalan, tak ada masalah. Segalanya nampak baik-baik saja.
Hufffth…
Marlina bernapas lega. Jujur saja, dia sama sekali tak tau hal itu akan terjadi. Memang dia sudah banyak dapat petunjuk dari Ningsih. Namun rupanya masih banyak hal yang luput untuk disampaikan. Termasuk gigitan ular-ular itu.
Tadinya Marlina takut kalau gigitan itu mengandung bisa. Namun kini dia sadar. Gigitan itu bukan untuk ‘memberikan’ sesuatu, melainkan untuk ‘mengambilnya’. Dan itu adalah darahnya.
Apa maksud ular-ular itu menghisap darahnya? Setaunya, binatang melata itu tak punya kemampuan untuk menghisap. Namun dia sadar, ini bukan ular biasa. Nanti dia hendak tanyakan hal itu pada Ningsih.
Marlina menjalankan rutinitas pagi seperti biasanya. Namun sejak dia punya banyak uang, dia jadi sedikit malas untuk melakukan semua itu.
Dia sudah tak sabar ingin segera membeli rumah yang jauh lebih besar dan mempekerjakan pembantu untuk mengurus segalanya. Sama seperti saat dia masih tinggal bersama orang tuanya di masa jayanya dulu.
Namun dia sadar kalau uangnya saat ini belum cukup. Dia pun makin tak sabar menunggu malam berikutnya.
Harus diakui, kini dia rindu pada suami gaibnya itu. Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar serta kemampuannya dalam memuaskan hasrat sungguh membekas dalam ingatan.
Tapi segala lamunannya seketika buyar saat dia teringat sesuatu yang teramat penting.
Mencari tumbal…
(Bagian 3)
Berita tentang kematian bayi itu langsung membuat geger. Bagaimana tidak? Seorang bayi yang baru lahir tiba-tiba saja mati akibat digigit ular. Sungguh tragis.
Dan yang lebih mengherankan lagi, sang bayi rupanya tewas bukan karena racun dari sang ular, melainkan karena kehabisan darah!
Ya Tuhan, sungguh di luar nalar!
“Halo Ning? Apa kabar?” Tanya Marlina dalam pembicaraan melalui ponsel.
“Baik Lin. Kamu sendiri apa kabar?” Jawab Ningsih di sebrang sana.
“Aku baik-baik aja Ning. Tapi asal kamu tau, semalam aku sudah melahirkan.. eh, maksudku, bertelur.”
“Serius? Kok cepet banget? Aku dulu hampir sebulan baru keluar. Makanya waktu itu aku jadi tergesa-gesa cari tumbal karena waktunya mepet. Untung cepet dapet.”
“Iya. Tapi semalam Sinta sempat melihat ular-ular itu. Aku malah kena digigit.”
“Oh ya? Aduh maaf Lin. Aku lupa kasih tau kamu kalau ular-ular itu memang akan menggigit dan menghisap darah kita. Tapi nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu khawatir. Ular-ular itu anak-anak kamu.”
“Iya. Tadinya aku sempat takut kalau gigitannya beracun. Tapi sekarang bekasnya aja malah nggak ada.” Jawab Marlina sambil mengusap-usap kedua kakinya.
“Lalu tumbalnya gimana? Kamu sudah dapet calonnya? Jangan kelamaan lho Lin, bisa celaka kamu nanti.” Ujar Ningsih coba mengingatkan.
“Aku sih sudah dapet calonnya. Tapi aku deg-degan Ning, takut ketahuan.” Sahut Marlina.
“Wajar kok. Aku dulu juga begitu. Awalnya takut sama seperti kamu. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Malah sekarang sudah mati rasa. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Jalani saja.” Balas Ningsih.
Marlina mengangguk-angguk bagai murid mendengarkan wejangan dari sang guru. Ucapan Ningsih sedikit banyak telah membesarkan nyalinya. Ningsih benar. Kenapa harus takut? Bukankah caranya tergolong mudah?
*******
Hari itu juga, Marlina memulai perburuannya. Dia sengaja mengintai dan memata-matai gerak-gerik salah satu tetangganya yang dia ketahui sedang hamil tua.
Rumah calon korbannya itu tak terlalu jauh. Letaknya masih di sekitar lingkungan situ. Namun Marlina tak begitu mengenalnya karena wanita hamil itu rupanya belum lama tinggal di situ.
Dari hasil pengintaiannya, Marlina jadi tau situasi dan kondisi rumah calon korbannya itu. Dia pun telah menemukan tempat yang ideal untuk meletakkan penanda bila tiba waktunya nanti.
Setelah menunggu beberapa hari, datanglah berita yang dia tunggu-tunggu. Menurut kabar yang dia serap, kemarin malam wanita itu baru saja melahirkan.
Waktunya untuk beraksi.
Marlina sengaja menunggu hingga malam. Padahal dia tak sabar ingin segera melakukannya agar semuanya cepat selesai. Tapi dia tak mungkin melaksanakannya siang hari. Cari masalah itu namanya.
Dan akhirnya malam pun datang. Hujan gerimis yang turun sejak sore membuat situasi jadi lengang. Hanya ada serombongan jama’ah yang lewat seusai menunaikan sholat Isya di mesjid.
Marlina bergegas menuju rumah calon korbannya. Kepalanya celingak-celinguk sepanjang langkahnya di antara rintik gerimis. Dia pun mengulum senyum karena merasa keadaan yang sepi seolah berpihak padanya.
Kini Marlina telah berdiri tak jauh dari rumah korbannya. Dia sengaja bersembunyi di balik tembok sambil jelalatan memantau situasi.
Di halaman rumah itu, tak jauh dari pintu rumah, Marlina melihat ada gundukan kecil yang ditutupi ember plastik terbalik diterangi cahaya lampu. Tak salah lagi. Itu pasti ari-ari si jabang bayi.
Dengan langkah hati-hati, Marlina mengendap-endap mendekat. Dadanya berdegup keras. Dia begitu gugup hingga tangannya jadi gemetar. Ini pengalaman pertamanya. Nyalinya benar-benar diuji.
Bagaimana kalau ada yang memergoki?
Bagaimana kalau sampai gagal?
Bagaimana..
Ah.. Begitu banyak pertanyaan dalam benaknya. Namun sudah kepalang tanggung. Mau tak mau semua ini harus dia lakukan.
Halaman rumah itu dikelilingi pagar besi. Marlina tak berani masuk. Dia cuma bisa berdiri di luar persis di depan jeruji pagar. Kemudian dia mengambil bungkusan yang sejak tadi dia sembunyikan di balik bajunya.
Sebentar dia buka bungkusan itu untuk memastikan kalau isinya tak pecah. Dipandanginya telur abu-abu berbintik hitam itu lalu kembali mamasukkannya dalam bungkusan.
“Ini ditaruh saja atau dikubur?” Batin Marlina bertanya pada diri sendiri. Ningsih memang berpesan kalau tak ada aturan khusus untuk meletakkan telur itu. Yang penting jangan sampai benda itu ditemukan orang sebelum niatnya terlaksana.
Akhirnya Marlina berjongkok lalu menjulurkan satu tangannya menerobos sela-sela pagar besi kemudian sebisanya menggali sebuah lubang dengan tangan kosong. Tanah yang becek membuat usahanya jadi sedikit mudah.
Sebentar saja, sebuah lubang dangkal telah siap. Marlina segera menaruh telur itu ke dalam lubang lalu cepat-cepat menguburnya sambil kepalanya tak henti tengak-tengok.
“Selesai.”
Marlina bergumam sambil menepuk-nepuk gundukan tanah lembek agar bentuknya tak menarik perhatian. Lalu dia mengusap-usap tangannya yang belepotan pada ujung roknya demi membersihkan tanah yang menempel.
“Lagi ngapain mbak?”
Astaga!
Marlina tersentak! Jantungnya seperti mau loncat! Dia pun segera berdiri demi menghadap ke arah sumber suara.
Ada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu rumah. Sepertinya dia suami dari si wanita alias bapak dari bayi calon tumbalnya.
“Eh.. Itu pak.. Saya lagi cari dompet saya yang jatuh. Mungkin di sekitar sini.” Jawab Marlina sekenanya sambil menyembunyikan tangannya yang kotor.
“Ya ampun.. malam-malam begini. Hujan-hujanan lagi. Ketemu nggak dompetnya?” Tanya lelaki itu lagi. Sepertinya dia termakan oleh bualan Marlina.
“Belum pak. Ini lagi saya cari-cari.” Sahut Marlina sambil coba pasang muka bingung agar sandiwaranya lebih meyakinkan.
Namun Marlina jadi sedikit gelagapan ketika lelaki itu membuka payung lalu hendak menghampirinya. Dia takut kalau lelaki itu melihat gundukan tanah yang baru saja dia buat.
Marlina pun segera melangkah ke arah lain sambil celingukan melihat ke bawah seolah sedang mencari-cari. Dia berharap lelaki itu mengikuti arah langkahnya demi menjauhkannya dari gundukan itu. Cerdas.
Dan sesuai harapan Marlina, lelaki itu berbelok arah menghampiri dirinya. Marlina pun lega. Hampir saja.
“Lho? Ini kan mamanya Sinta ya?” Tanya lelaki itu setelah jarak mereka cukup dekat.
Marlina kaget sambil memperhatikan wajah lelaki itu. Dia sama sekali tak menyangka kalau si pemilik rumah mengenalinya.
“I-iya pak. Kok bapak bisa tau?” Sahut Marlina sedikit gugup sambil coba mengingat-ingat apa dia mengenal lelaki ini.
“Lho, Sinta itu kan teman sekelasnya Dewi, anak saya. Sinta juga sering main ke sini. Saya sering kok lihat mbak sama Sinta lewat di depan rumah.” Jawab lelaki itu sambil tersenyum.
Ya Tuhan! Temannya Sinta? Bagaimana ini? Tapi sudah terlanjur. Marlina jadi sedikit menyesal mengapa dia sampai tak tahu akan hal ini.
Tapi Marlina coba memaklumi diri. Kesibukannya selama ini dalam mencari nafkah membuat dia jadi jarang bergaul. Sampai-sampai anak tetangga yang jadi teman putrinya saja dia tak tau.
Tapi Marlina tak mau berlama-lama ada di situ. Dia pun segera pamit pergi. “Maaf pak. Saya mau pulang aja. Mungkin dompet saya bukan jatuh di sini.”
“Hmm.. Ya sudah. Mudah-mudahan dompetnya cepet ketemu ya mbak.”
Marlina cepat mengangguk lalu bergegas pergi. Sebentar dia tengok ke belakang demi memastikan kalau lelaki itu kembali masuk ke dalam rumahnya.
Hufffth… Hampir saja.
“Ma! Ada bayi yang mati digigit ular!” Pekik Sinta esok harinya.
“Bayi? Mati digigit ular? Dimana?” Marlina menyahut kaget.
“Itu ma, adiknya si Dewi, teman sekelas Sinta. Ibunya Dewi kan baru melahirkan. Tapi tadi malam katanya bayinya mati digigit ular.” Ucap Sinta coba menjelaskan.
“Hah? Kok bisa?” Jawab Marlina berlagak terperangah demi membuat responnya terlihat natural. Kemampuannya bersandiwara sepertinya kian terasah.
“Nggak tau ma. Tadi di sekolah ramai jadi omongan. Hari ini Dewi nggak masuk sekolah. Kasihan dia. Padahal sudah lama dia ingin punya adik.”
Marlina cuma mengangguk. Dia sebenarnya merinding mendengar berita itu meskipun semua sudah dia perkirakan.
Dan berita tentang kematian bayi itu langsung membuat geger. Bagaimana tidak? Seorang bayi yang baru lahir tiba-tiba saja mati akibat digigit ular. Sungguh tragis.
Dan yang lebih mengherankan lagi, sang bayi rupanya tewas bukan karena racun dari sang ular, melainkan karena kehabisan darah! Ya Tuhan, sungguh di luar nalar!
Sang bapak langsung mencari dimana keberadaan ular itu. Dia takut kalau ular itu masih ada di sekitar rumahnya dan jadi ancaman bagi keselamatan jiwa keluarganya.
Namun dia tak mampu menemukannya. Dia hanya menemukan bekas cangkang telur yang pecah di sebuah lubang yang ada di halaman rumahnya.
Mengetahui semua itu, Marlina jadi sedikit khawatir. Kejadian malam itu saat sang bapak memergokinya, jelas membuat hatinya gundah. Dia takut kalau-kalau lelaki itu jadi curiga.
Tapi Marlina coba untuk menyikapinya dengan tenang. Dia pun telah menyiapkan berbagai macam alasan dan alibi sekedar untuk berjaga-jaga bilamana tuduhan itu benar-benar jatuh padanya.
Namun setelah lewat beberapa hari, segala ketakutan Marlina tak terbukti. Tak ada kabar kalau dirinya dicurigai. Marlina pun jadi bisa bernapas lega. Meskipun semua ini membuatnya jadi tak nyenyak tidur, namun segalanya telah berhasil dia lalui.
*******
“Gimana Lin? Sukses?” Tanya Ningsih di sebrang sana dalam pembicaraan melalui ponsel dengan Marlina.
“Sukses Ning. Tapi aku sempat khawatir, soalnya bapak dari bayi itu sempat memergoki aku. Untung dia nggak curiga.” Jawab Marlina.
“Bagus lah. Lain kali lebih hati-hati Lin. Takutnya kamu apes. Wah, nggak kebayang kalau sampai ketahuan. Bisa habis kamu.”
“Iya. Tapi aku jadi nggak enak. Ternyata bayi itu adik dari temannya Sinta. Aku juga baru tau waktu itu. Salah aku juga sih, kenapa aku nggak tanya-tanya dulu.”
“Alah.. Nggak usah dipikirin. Yang penting kamu sudah berhasil. Sekarang tinggal tunggu malam selanjutnya. Aku sendiri baru tadi malam kedatangan dia. Ini baru selesai hitung uangnya.”
“Oh ya? Lagi banyak duit dong kamu? Tapi aku bener-bener nggak nyangka Ning. Sebagai sahabat, dulu kita sering berbagi. Siapa sangka kalau sekarang kita juga berbagi suami? Hihihihi..”
“Iya ya? Bisa aja kamu! Tapi kamu tenang aja, aku nggak bakal cemburu kok! Hahahaha…”
Marlina pun ikut tertawa. Dia bahagia. Segala ketegangan telah berakhir. Dia pun tak sabar untuk menantikan malam berikutnya…
*******
Malam harinya, sepulangnya bekerja, Marlina dikejutkan oleh satu pemandangan yang membuatnya seketika terperangah.
Dari kejauhan, nampaklah Sinta di teras rumah sedang duduk di hadapan dua ekor ular kecil!
Astaga!
Marlina berlari tergopoh-gopoh mendekat. Sinta dalam bahaya! Dia tak mau kalau sampai putrinya itu celaka.
Namun larinya langsung terhenti saat Sinta melihat kedatangannya dan langsung menyambut girang.
“Ma, sini ma! Ada anak kecil lucu-lucu!” Ujar Sinta dengan mata berbinar-binar.
“Hah? Anak kecil? Apa aku tak salah dengar?” Batin Marlina bertanya heran.
“Sinta! Kamu sedang apa?”
“Ini ma, tadi ada Om yang datang membawa dua anaknya ini. Dia minta tolong titip anak-anak ini sebentar. Katanya dia sudah bilang sama mama.”
“Om? Om Siapa?”
“Nggak tau. Dia nggak sebut nama. Tapi dia bilang kalau dia temannya mama dan tante Ningsih. Dia baik deh ma. Sinta dikasih uang. Mungkin sebentar lagi dia datang untuk jemput anak-anaknya ini. Mereka lucu ya ma?”
Marlina langsung lemas. Lututnya serasa copot hingga dia terduduk di kursi teras. Rupanya siluman itu datang membawa anak-anak mereka!
Tapi kenapa Sinta melihat mereka berwujud manusia? Padahal jelas-jelas dalam pandangan Marlina keduanya adalah ular-ular kecil bersisik kehijauan!
“Ma, Sinta jadi kepengen punya adik.” Ucap Sinta entah serius atau bercanda.
Marlina tak sanggup menjawab. Lidahnya kelu. Lehernya tercekat. Hanya benaknya yang bisa berkata-kata.
“Andai kamu tau Sin, mereka itu adik-adikmu. Mereka juga keluar dari rahim mama.”
Marlina cuma bisa duduk sambil memandangi wajah Sinta yang nampak bahagia sambil sesekali tertawa.
Tapi Marlina tak mau membiarkan Sinta berlama-lama di dekat ular-ular itu. Dia lantas meminta putrinya untuk segera masuk ke dalam kamar.
“Sudah malam Sin. Lebih baik kamu masuk kamar trus tidur. Biar mereka mama yang jaga.”
Sinta pun patuh mengangguk lalu mengusap-usap kepala kedua ular itu.
“Dada dedek.. Kakak Sinta tidur dulu ya? Sekarang kalian main sama tante Marlina.” Ujar Sinta lalu masuk ke dalam kamarnya.
Sepeninggalan Sinta, ular-ular itu merayap lalu melingkar di kaki Marlina. Dia langsung merinding. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak kuasa menolaknya.
“Marlina.”
Marlina kaget dan langsung menoleh. Astaga! Dia datang! Namun kini siluman itu hadir dengan mengenakan pakaian parlente yang membuat ketampanannya makin mempesona.
“Apa kabar istriku?” Ucap siluman itu. Marlina cuma bisa melongo tak tau harus menjawab apa.
Sang siluman tersenyum. Dia pun melangkah mendekati Marlina. Aroma wangi tubuhnya seketika membuat Marlina bagai tersadar.
“Kamu?”
“Iya. Ini aku. Aku sengaja datang membawa anak-anak kita. Mereka ingin bertemu dengan ibunya.”
Marlina langsung melirik ke arah ular-ular itu. Hewan-hewan melata itu masih melingkar di kedua pergelangan kakinya sambil sesekali menjulur-julurkan lidah.
Demi melihat hal itu, entah mengapa rasa jijik Marlina perlahan pudar. Dia malah terenyuh. Kedua ular itu bagai anak kecil yang sedang bermanja pada ibunya.
“Mereka ingin berterima kasih padamu. Asal kamu tau, bayi yang sudah kamu persembahkan itu yang menjadi makanan mereka selain darahmu.” Ucap sang siluman.
“Astaga! Jadi mereka yang…
Marlina tak sanggup lanjutkan kalimatnya. Dia benar-benar kaget.
Jujur saja, Ningsih tak pernah cerita akan hal ini. Tapi mungkin Ningsih sengaja. Mungkin ada beberapa hal yang Marlina harus mengalaminya sendiri tanpa harus diberi tau.
“Sekarang kami harus pergi. Apa kamu tak ingin memberikan ciuman pada kedua anakmu ini?”
Marlina terhenyak. Mencium ular? Menyentuhnya saja dia tak berani. Tapi sepertinya sang siluman tau apa yang ada dalam benaknya.
“Pejamkan matamu.” Ucapnya memberi perintah.
Marlina pun menurut. Dia langsung memejamkan matanya beberapa saat, hingga sang siluman memintanya untuk kembali membuka mata.
“Ya Tuhan!”
Marlina terkejut! Kini di dekat kakinya ada dua anak kecil yang lucu dan menggemaskan! Apakah ini nyata?
“Sekarang apa kamu masih takut?” Tanya siluman itu lagi.
Marlina menggeleng. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mungkin dua anak ini yang sejak tadi dilihat Sinta. Pantas saja putrinya itu begitu senang. Dia pun kini juga punya perasaan yang sama.
Tanpa sadar Marlina menyentuh kepala kedua anak itu. Mereka pun langsung tertawa. Lalu Marlina menunduk dan langsung mencium kening kedua anak itu.
“Ayo anak-anak. Biarkan ibu kalian istirahat. Marlina, kami pergi dulu.” Ucap siluman itu lalu tiba-tiba menghilang bersama kedua anak kecil itu.
Kini Marlina cuma bisa duduk terdiam. Kejadian yang baru saja dia alami begitu kaya akan rasa. Rasa takut, heran, dan takjub bercampur jadi satu.
Entah bagaimana harus menyikapinya. Dia juga tak tau apakah harus senang atau sedih. Dua rasa itu kini begitu mendominasi.
Di satu sisi dia senang karena pesugihannya ini tak seburuk yang dia bayangkan. Dia malah merasakan kebahagiaan yang tak pernah dia dapatkan dari suaminya dulu.
Namun di sisi lain, dia merasa sedih. Tak terbayangkan kehidupan macam apa yang kelak dijalaninya nanti.
*******
Hingga beberapa hari berikutnya tak ada lagi kejadian aneh. Meski peristiwa tewasnya bayi itu masih jadi bahan pergunjingan, namun Marlina sama sekali tak perduli.
Kini Marlina menjalani hidupnya dengan antusias sambil memanjakan dirinya dan Sinta dengan uang yang kini dia punya.
Selama itu pula dia masih tetap bekerja meskipun dia sering bolos. Tapi masa bodoh. Lagipula sebenarnya dia sudah tak butuh pekerjaan itu. Dia sengaja bertahan hanya agar kehidupannya terlihat normal.
Dia tak ingin orang-orang jadi curiga bila dia hidup berfoya-foya sedangkan dia hanya berdiam diri di rumah.
Semua itu berlangsung selama tiga bulan hingga datang malam yang dia nantikan.
Sama seperti sebelumnya, dia kembali menyewa kamar hotel. Namun kini dia pilih hotel bintang lima yang jelas lebih bagus dan layak untuk dirinya. Uang kini bukan jadi masalah.
Kali ini, tak ada lagi rasa gugup, tak ada lagi rasa takut. Yang ada rasa rindu yang menggebu-gebu menantikan kedatangan suaminya yang akan memberikannya malam yang tak terlupakan.
Dia pun telah siap membekali diri dengan sejumlah jurus bercinta. Dia seolah ingin memanjakan suaminya itu dengan harapan akan mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak dari sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan kejantanan siluman itu yang berupa ular? Mudah saja. Tinggal pejamkan mata dan nikmati semuanya hingga selesai.
Dan akhirnya sang siluman pun hadir. Dengan sosoknya yang sempurna berikut aroma wangi tubuhnya yang sungguh memabukkan.
Malam itu, kembali terjadi perbuatan terlarang di luar nalar. Namun kini Marlina tak hanya diam. Dia bagai singa betina dengan gairah yang meledak-ledak.
Hingga akhirnya malam pun usai. Sang siluman pun telah pergi. Tinggal Marlina yang terkapar di tempat tidur dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Dia pun kembali melonjak kegirangan begitu melihat banyaknya uang yang berserakan di lantai kamar. Jumlahnya? Luar biasa! Hampir dua kali lipat dari sebelumnya.
Esok harinya Marlina pulang dengan senyum terkembang. Dua tas penuh berisi uang ada dalam pelukannya. Tak henti-hentinya dia tertawa di dalam taksi yang mengantarkannya pulang ke rumah.
Kini dia menatap masa depan dengan lebih optimis. Hidup jadi begitu remeh di matanya. Kenapa tidak? Dengan uangnya, segalanya bisa dia miliki.
*******
Setelah merasa uangnya cukup, Marlina berniat untuk membeli sebuah rumah.
Tak perlu mewah, yang penting dia bisa memiliki sebuah kamar pribadi hingga tak perlu lagi menyewa kamar hotel bila hendak melayani suami gaibnya.
Tak butuh waktu lama, Marlina pun mendapatkan apa yang dia cari. Sebuah rumah berlantai dua yang memiliki beberapa kamar di dalamnya. Dapurnya bersih. Kamar mandinya bagus. Halamannya pun cukup memadai.
Letaknya tak terlalu jauh, hanya beberapa kilometer dari rumah kontrakannya. Namun dia sengaja membeli rumah itu diam-diam karena tak ingin mengundang perhatian sekaligus ingin memberi Sinta kejutan.
“Sin, Bulan depan kita pindah.” Ucap Marlina yang membuat Sinta langsung terkejut sesuai dugaannya.
“Hah? Pindah? Pindah kemana?”
“Masih dekat-dekat sini kok. Semuanya sudah mama siapkan. Kita tinggal bawa barang seperlunya saja.” Jawab Marlina dengan bangganya.
“Kenapa harus pindah kontrakan sih ma? Sinta sudah betah di sini.”
“Siapa bilang itu rumah kontrakan? Itu rumah kita sendiri.”
“Hah? Kok bisa? Memangnya mama dapat uang darimana sampai bisa beli rumah segala?”
Marlina langsung gelagapan. Apa yang harus dia katakan? Dia benar-benar tak menyangka kalau Sinta akan memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu. Dia pun jadi menyesal karena sudah bersikap sembrono.
Sinta memang pernah bertanya dari mana uangnya berasal saat dia dibelikan sejumlah barang yang jadi idamannya selama ini.
Tapi waktu itu Marlina bilang kalau dia dapat bonus dari kantor. Dan Sinta pun percaya karena alasannya terdengar masuk akal.
Tapi untuk membeli sebuah rumah? Marlina butuh alasan yang lain. Dan itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.
Tapi akhirnya Marlina menemukan jawabannya. Sebuah kebohongan demi menutupi kebohongan yang lain. Tapi mau bagaimana lagi?
“Mmm.. Mama nggak beli. Rumah itu warisan Opa kamu.” Jawab Marlina spontan. Hanya itu jawaban paling logis yang bisa dia berikan.
“Warisan Opa? Kok mama nggak pernah cerita? Lalu kenapa nggak dari dulu aja kita tinggal di situ?” Tanya Sinta lagi.
Marlina kembali bingung sambil membatin. “Ya Tuhan.. Rewel banget sih anak ini. Bikin repot saja.”
“Mama juga baru tau dari Opa kamu waktu mama menjenguknya di penjara tempo hari. Rupanya selama ini Opa sengaja sembunyikan keberadaan rumah itu karena takut disita.”
“Ya ampun.. Sinta bener-bener nggak nyangka. Ya sudah, kapan kita kesana? Sinta jadi penasaran mau lihat rumahnya.” Sahut Sinta antusias. Rupanya dia percaya dengan bualan mamanya.
“Besok juga boleh.” Jawab Marlina singkat. Dia jadi lega. Rentetan pertanyaan Sinta akhirnya terhenti.
(Bagian 4)
Sebulan berlalu. Marlina kini telah menempati rumahnya yang baru. Dia begitu senang. Impiannya telah tercapai. Apalagi melihat Sinta yang nampak bangga dengan kamar baru miliknya sendiri.
Marlina sendiri sengaja menempati kamar yang ada di lantai dua demi terjaganya privasi. Dia tak mau Sinta jadi curiga saat dia sedang menerima kedatangan suami gaibnya.
Namun rupanya bukan hanya Marlina dan Sinta saja yang pindah ke rumah itu. Sejak hari pertama, Marlina kerap melihat ‘anak-anaknya’ muncul di beberapa sudut rumah.
Bahkan ular-ular itu sudah dua kali mendatanginya demi meminta jatah darah.
Tapi kini Marlina tak takut. Dia biarkan ular-ular itu menggigit dan menghisap darahnya bagai anak yang minta disusui. Toh nanti bekasnya juga hilang. Rasa sakitnya pun masih bisa ditoleransi.
Kini fokus Marlina tertuju pada hal lain. Dia ingin segera memenuhi niatnya untuk membuka toko.
Bukan apa-apa, sudah sejak bulan lalu dia memutuskan untuk berhenti kerja. Jadi dia harus segera memulai bisnisnya sebagai kedok dari pesugihannya.
Dan dengan uang yang kini dia miliki, hal itu bukan perkara yang sulit untuk diwujudkan. Tak butuh waktu lama, Marlina mendirikan sebuah gerai kosmetik pada salah satu mall ternama di kota itu.
Hanya sebuah kios kecil, tapi itu sudah cukup bagi Marlina. Dia tak butuh toko yang besar karena itu hanya buang-buang biaya.
Tak ada pembeli pun tak masalah. Dia tak butuh omsetnya. Yang penting toko itu bisa jadi tameng penyamaran dari uang haram yang kelak dia raih.
Tapi semua itu sudah pasti mengundang pertanyaan Sinta. Gadis remaja itu heran kenapa tiba-tiba mamanya bisa membuka sebuah toko.
Tapi Marlina sudah menduga kalau Sinta akan mempertanyakannya. Dia pun telah siap dengan jawabannya. Dia bilang kalau toko kosmetik itu milik Ningsih dimana dia diminta untuk mengelolanya.
Sempurna.
*******
Hingga malam itu, Marlina baru saja pulang dari tokonya. Sebenarnya dia paling menghindari pulang malam. Dia enggan bila harus lewat di depan sebuah warung remang dimana sering jadi tempat berkumpulnya supir-supir angkot yang kerap usil menggodanya.
Dan kekhawatiran Marlina pun terbukti. Baru saja dia lewat di depan warung itu, nampak dua orang lelaki yang sedang duduk-duduk dan langsung berkicau usil begitu melihatnya melintas.
“Baru pulang neng? Mau abang anter?” Ujar lelaki bertubuh kurus jangkung yang langsung berdiri lalu mendekat sambil cengengesan. Tercium aroma alkohol yang menyengat dari mulutnya.
“Jangan mau neng! Masa jalan kaki? Mending naik motor sama abang. Tapi kita jalan-jalan dulu ya?” Sahut temannya yang bertubuh gempal dengan tato di lengannya.
Marlina seketika merinding. Apalagi tak ada orang lain di sekitar situ. Marlina pun mempercepat langkahnya sambil menundukkan wajah demi menghindar dari kedua lelaki itu yang tertawa terbahak-bahak di belakangnya.
Hingga sampai di satu jalan sepi dekat tanah kosong yang dipagari seng, langkah Marlina melambat karena dia pikir situasinya sudah aman. Namun dia langsung kaget saat lelaki jangkung tadi tiba-tiba sudah muncul di hadapannya.
“Mau kemana neng?”
Marlina meradang. Dia pun spontan menghardik lantang. “Mau apa kamu? Jangan kurang ajar ya!”
Tapi alih-alih ciut, lelaki itu malah mendekat dengan mata jelalatan memandangi tubuh Marlina yang terbalut pakaian ketat mengundang hasrat.
Marlina pun terpaksa mundur. Namun dia kembali kaget saat lelaki gempal bertato yang satunya lagi tiba-tiba sudah ada di belakangnya dan langsung memeluknya erat-erat!
“Heh! Bangsat! Lepaskan! Toloong!” Jerit Marlina sembari meronta-ronta.
“Hahaha.. Percuma teriak! Nggak bakal ada yang dengar! Ayo Jon! Nanti keburu ada yang lihat!” Ucap lelaki gempal itu kepada temannya sambil berusaha membawa Marlina menuju tanah kosong.
Tapi bukannya menjawab, si lelaki jangkung malah memekik keras…
“AAAAH!”
Semua terkejut termasuk Marlina. Nampak ada seekor ular yang sedang mendesis dekat kaki lelaki jangkung itu yang kini meringis kesakitan sambil terpincang-pincang.
“Ya ampun! Ular Jon!” Teriak si lelaki gempal sambil menunjuk-nunjuk hingga tanpa sadar melepaskan pelukannya pada Marlina. Marlina pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan kedua lelaki itu.
Esok harinya terdengar kabar yang menghebohkan. Dua orang lelaki ditemukan tewas dekat tanah kosong dengan tubuh yang pucat bagai tanpa darah!
Penduduk sekitar pun heboh. Apa yang terjadi dengan kedua lelaki itu? Apalagi tak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada jasad keduanya. Hanya ada luka bekas gigitan ular yang justru membuat segalanya makin membingungkan.
Marlina yang mendengar kabar itu pun juga ikut bingung. Apa mungkin itu ulah dari anak-anaknya? Atau malah suaminya gaibnya? Dia tak tau.
Namun dari peristiwa itu, Marlina coba ambil sisi baiknya. Kedua lelaki kurang ajar itu memang pantas menerima ganjarannya. Andai saja waktu itu sang ular tidak muncul, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya.
*******
Hingga suatu hari, rumah Marlina kedatangan tamu. Tamu yang kehadirannya sama sekali tak pernah dia harapkan. Dia Om Samuel, adik dari papanya.
Sejak papanya Marlina dipenjara yang menyebabkan kejatuhan ekonomi keluarganya, Om Samuel dan keluarganya langsung menjauh. Mereka terang-terangan memutus tali hubungan keluarga dengan alasan tak mau ikut menanggung malu.
Hal itu jelas membuat Marlina jengkel. Bagaimana tidak? Saat papanya sedang ada di puncak karir, Om Samuel tak henti datang merongrong. Bahkan dia merengek agar papanya mau membiayai kuliah Selvi -anak Om Samuel satu-satunya- sampai lulus.
Tapi di saat papanya tersangkut masalah, Om samuel malah berpaling. Bahkan sejak papanya masuk penjara, tak pernah sekalipun Om Samuel atau keluarganya datang menjenguk.
Dan yang paling menyakitkan, waktu Marlina datang saat dia dilanda kesulitan, Om Samuel langsung buang badan. Lelaki itu seolah tak perduli. Dia sama sekali tak mau membantu Marlina, bahkan mengusirnya. Sungguh keterlaluan.
“Halo Marlina. Apa kabar? Lama kita nggak ketemu.” Ucap Om Samuel dengan senyum palsunya.
Marlina balas sunggingkan senyum sinis. Sebenarnya dia malas untuk menanggapi, namun dia tak mau dianggap tak sopan.
“Aku baik-bak saja Om. Darimana Om tau kalau aku pindah ke sini?”
“Dari tetangga di tempatmu yang lama. Kemarin Om datang kesana untuk menengokmu, tapi ternyata kamu sudah pindah. Wah, hebat ya kamu sekarang? Dengar-dengar katanya kamu juga punya toko?”
Marlina tak langsung menjawab. Tadinya dia ingin merendah agar Om Samuel tak curiga. Tapi hati kecilnya justru berkata sebaliknya.
Tak ada gunanya merendah di hadapan manusia tak kenal balas budi seperti ini. Sekalian saja dia sombongkan diri setinggi langit sekedar untuk memberi pelajaran.
“Ya gitu lah Om. Semua yang Om dengar itu memang benar. Aku sekarang punya rumah sendiri. Aku juga punya toko kosmetik. Sebentar lagi mau buka cabang baru.” Jawab Marlina sengaja melebih-lebihkan.
“Oh ya? Luar biasa! Tapi maaf, memangnya kamu punya uang darimana? Apa jangan-jangan ada uang papamu yang selama ini kamu sembunyikan?”
Mata Marlina langsung mendelik. Ingin rasanya dia tampar mulut lelaki ini. Tapi Marlina lebih memilih untuk membalas dengan sindiran pedas.
“Maaf ya Om, semua ini hasil kerja kerasku, tak ada sangkut-pautnya dengan uang papa yang memang sudah ludes. Nasib orang bisa berubah asal mau usaha, bukannya mengemis merengek pada orang lain.”
Wajah Om Samuel seketika memerah merasa tersindir. Lelaki itu nampak menahan emosi. Tapi hal itu justru membuat hati Marlina puas.
Namun di luar dugaan, alih-alih marah, Om Samuel malah menjawab dengan nada lembut yang dibuat-buat.
“Iya, kamu betul. Kita memang harus usaha kalau ingin sukses. Makanya Om sengaja datang kesini. Om mau ajak kamu kerja sama.”
“Kerja sama? Kerja sama apa?” Tanya Marlina.
“Jadi begini, Om mau buka usaha jual beli mobil bekas. Prospeknya cukup bagus. Tapi Om butuh tambahan modal. Gimana? Kamu tertarik?” Jawab Om Samuel antusias.
Bibir Marlina langsung mencibir. Dia tak sedikit pun percaya dengan ucapan Om Samuel. Hatinya bilang kalau semua itu hanyalah tipu muslihat belaka. Dia yakin kalau Om Samuel yang mata duitan ini sedang bersiasat untuk memperdaya dirinya.
“Maaf Om, aku tak tertarik.” Balas Marlina terkesan acuh tak acuh.
Tapi Om Samuel pantang menyerah. Dia coba terus membujuk Marlina dengan bualannya yang terdengar makin memanjakan telinga.
“Ayolah Marlina.. Om yakin bisnis ini akan menguntungkan. Uangmu akan bertambah banyak dalam waktu singkat. Sebenarnya Om bisa saja ajak orang lain, tapi Om mau menjalankan bisnis ini bersama keluarga sendiri.”
Marlina ingin sekali tertawa mendengarnya. Keluarga? Dia masih anggap aku keluarga? Cuih! Dimana dia saat aku membutuhkannya? Batin Marlina meradang hingga akhirnya dia memberikan jawaban dengan nada yang jauh lebih ketus.
“Nggak Om. Aku benar-benar nggak minat. Om nggak perlu maksa. Maaf, aku mau istirahat. Lebih baik Om pulang saja.”
Demi mendengar jawaban itu, Om Samuel langsung naik pitam hingga dia melepaskan topeng keramahannya dan kembali menunjukkan sikap aslinya.
“Heh! Sombong sekali kamu! Baru punya uang sedikit saja lagakmu sudah selangit! Lihat saja nanti, kamu pasti akan menyesal!” Hardik Om Samuel lalu berbalik pergi.
Marlina menanggapinya dengan ekspresi datar. Dia tau Om Samuel akan bereaksi seperti itu. Tapi mungkin itu lebih baik. Dia berharap dengan sikapnya tadi, Om Samuel akan jera dan tak lagi datang menemuinya.
Baca: Pendakian Horror Dua Sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998
Tapi Marlina salah…
“Baiklah, saya akan berikan apa yang kamu minta. Tapi kasih saya waktu.” Jawab Marlina.
“Nggak masalah. Saya kasih waktu seminggu. Tapi saya masih punya satu permintaan lagi.” Sahut Bidin.
*Hah? Apalagi? Kamu jangan main-main ya?!” Jawab Marlina sengit melihat sikap oportunis Bidin yang menjengkelkan.
Bidin tak langsung menjawab. Sejenak dia tersenyum sambil mengelus-elus dagunya seraya memandangi wajah dan tubuh Marlina.