KEMBANG LARUK (Ketika Aku Mendaki Karena Ketidaktahuan)

Image

GTA777 Gambar ilustrasi dalam cerita ini menggunakan foto kembang Wijayakusuma, alasannya sederhana hanya untuk penggambaran filosofis dari apa yg coba saya utarakan dalam bentuk narasi dari maksud kembang Laruk dalam cerita ini.

Untuk nama, tempat dan sebagainya rasanya tidak perlu ditulis karena, anggap saja cerita pengalaman narasumber ini sebagai penggingat, ambil baiknya buang buruknya, selebihnya dinikmati saja sebagai sajian kalau manusia masih terlalu kecil untuk tau perihal apa yg ada diluar sana. Ini adalah cerita horor dari SimpleMan, berikut kisahnya, selamat menikmati.

Tahun 1993, Riski Anggoro Prasetyo, lahir dari sebuah keluarga yg kental dengan pemahaman kejawen, sejak dulu Riski banyak dikenalkan dengan berbagai budaya jawa lama oleh bapak, sebuah budaya yg sudah jarang sekali ditemui di tempat-tempat umum seperti wayang, ludruk atau tari.

Bahkan di rumahnya, benda-benda antik peninggalan leluhurnya masih dirawat dan dijaga dengan sangat baik. Riski menghormati bapak lebih dari sekedar hubungan antara anak dan orang tua, ia mengaggungkannya karena selama hidupnya Riski hanya mengenali orang tua ini yang selalu menemani dia semenjak masih anak-anak, ibu nya tidak beruntung karena harus pergi terlebih dahulu saat melahirkan Riski kecil, sehingga hanya sosok bapaknya saja lah yang akhirnya dia kenali sebagai sosok yang paling penting di dalam hidupnya.

Orang jaman dahulu pernah mengatakan, “tresno iku apik, nanging sing ngelebihi tresno nang kuoso iso garai menungso salah dalan, sing kelebihan iku gak tau apik” (menyukai itu bagus namun jika melebihi kesukaan kepada tuhan yang maha kuasa itu bisa membuat manusia salah jalan, yang berlebihan itu tidak selalu membawa hal yang baik), di sinilah momen dimana Riski yang waktu itu berusia 16 tahun harus mendapati kabar kalau bapaknya kemudian meninggal dunia karena kecelakaan di tempat kerjanya di sebuah pabrik kimia, dimana seluruh bagian tubuh sampai tidak bisa dikenali lagi.

Kehilangan itu yg membuat Riski hanya bisa berdiam diri seperti orang yang nyaris kehilangan separuh jiwanya, meski pun masih ada si mbah yang merupakan pensiunan tentara, tapi Riski tidak bisa menerima kepergian bapaknya yang pergi begitu saja tanpa pernah pamit kepada dirinya terlebih dahulu.

Suatu hari, setelah melewati seratus dinone bapak (seratus harinya bapak), Riski pamit kepada si mbah, dia berniat untuk tidur lebih awal, waktu itu si mbah hanya bisa melihat Riski dengan wajah yg sayu, ia sambil berpesan kepada anak itu, “mari ngene maghrib loh nang, sabar o sek mari isya kowe iso istirahat yo nang” (sebentar lagi adzhan maghrib loh nak, sabar dulu ya, selepas isya kamu bisa beristirahat nak)

Riski hanya mengangguk, ia tidak melawan kata-kata si mbah, tapi bocah itu tetap saja berjalan lunglai menuju ke kamarnya.
awalnya dia hanya duduk di tepi ranjang, tapi lama kelamaan badannya mulai terasa lelah dan tanpa Riski sadari niat awal untuk sekedar duduk menjadi tubuh yang terlentang di atas ranjang tidur, detik jam di dinding terus bergulir dan tiba-tiba saja Riski terlelap dalam tidurnya.

Adzhan maghrib kemudian berkumandang, Riski membuka matanya saat mendengar ada seseorang sedang mengetuk pintu kamarnya. Dan dari cara dia mengetuk pintu terdengar familiar ditelinga Riski, “tok.. tok tok, tok!! tok!! tok”
Riski pun bangkit dari tempatnya tidur, ia kemudian melihat seseorang yg berdiri di muka pintu sedang menatap dirinya, “bapak”.

Rupanya bapak lah yang sejak tadi mengetuk pintu, beliau melihat Riski sembari tersenyum lalu berkata “sembahyang sek too, kok tambah turu to le”. Waktu itu Riski masih setengah sadar, ia mengangguk lalu melewati pria paruh baya itu yg sempat menepuk bahunya, Riski lalu berwudhu seperti biasa dan menunaikan sholat maghrib seperti biasa, selepas menunaikan sholat, bapak kemudian duduk di teras depan rumah sambil menyesap tembakau lintingan seperti biasanya, Riski tentu saja kemudian ikut bergabung bersamanya, ia hanya duduk-duduk sambil menemani bapak yg bertanya kenapa anak ini dari tadi terus melihat kearah dirinya.

Setelah duduk cukup lama, bapak kemudian baru mematikan tembakau yang ada ditangannya lalu melihat Riski dengan mimik muka yang serius, “le, kowe ndelok iku gak?” (nak, kamu lihat itu ndak?), ucap beliau sambil menunjuk sesuatu yg ada jauh didepannya.
Riski melihat ketempat bapak sedang menunjuk, sebuah jalan setapak didepan rumah di bawah pohon juwet, di sana Riski tidak melihat apa pun kecuali jalanan yang gelap, bapak kemudian berkata, “iku ngunu ibu mu le, wes ngenteni kowe ket biyen”
(itu ibumu nak, sudah menunggu kamu sejak dulu)

Riski tentu saja terkejut saat itu, berkali-kali dia melihat ketempat itu tapi ia tidak bisa melihat siapa pun sedang berada di sana, rasanya bapak sedang ngelantur, pikirnya waktu itu.

Tapi bapak kemudian berdiri, “kowe ra percoyo to karo bapak, nek gak percoyo gur melok aku tak duduhno nek ibu mu pancen onok nang kunu” (kamu gak percaya kan sama bapak, kalau tidak percaya ayok ikut, tak tunjukin kalau ibumu memang ada disitu) Saat itu Riski belum curga sedikit pun. Ia yg belum pernah sekali pun melihat ibu kecuali dari foto-foto lama kemudian ikut berdiri, dia kemudian berjalan mengikuti bapak yg sedang menapaki jalan menuju ke pohon juwet yang ada di depan rumah.

Awalnya tidak terasa, pohon juwet yg hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah entah kenapa terasa sangat jauh, selain itu bapak juga tidak berkata apa-apa lagi kepadanya keculi hanya berjalan dengan langkah kaki yang semakin cepat.
“pak, kok ra totok totok too” (pak kok gak sampai-sampai) protes Riski saat itu.

Tapi bapak tidak menjawab pertanyaan Riski sama sekali, beliau masih terus berjalan seperti biasa. Hingga perlahan-lahan suhu udara terasa semakin dingin, pohon juwet itu juga mulai tidak nampak lagi, Riski yang melihat bapak masih berjalan di depan masih belum curiga, sebelum mendadak sekujur tubuh Riski berubah menjadi tidak enak, hatinya risau, nafasnya tersenggal-senggal,
kemudian rentetan hal ganjil itu diakhiri dengan bulukuduknya yg berdiri.

Riski mulai berhenti berjalan, ia sejenak melihat tempat ini dan mulai sadar dimana kebradaannya saat ini. Bapak yang sejak tadi memimpin kemudian ikut berhenti, anehnya beliau tidak langsung membalikkan badan saat berbicara dengan Riski. “lapo le, kok mandek? Iku loh ibu nang ngarep, titik maneh, jarene kowe kangen karo ibu” (kenapa nak, kok berhenti? Itu loh ibu ada di depan, sedikit lagi, katanya kamu kangen sama ibu)

Riski tidak bergeming dari tempatnya, firasatnya mengatakan kalau dia ikut bapak berjalan terus di jalanan ini dia akan mendapati sesuatu yang sangat buruk. Melihat Riski yg nampak mulai ragu, sosok bapak kemudian menoleh, beliau melihat Riski kemudian melambai-lambaikan tangan kearahnya. “le, kowe ra percoyo to karo bapak? Merene, ayo nang ibu sak iki?” (nak, kamu gak percaya ya sama bapak? Kesini, ayo ke tempat ibu sekarang?)

Riski hanya menggelengkan kepalanya. “Bapak kangen, Riski gak kangen to karo bapak, gak gelem melu bapak?” kata sosok itu yg masih melambai-lambaikan tangannya. Riski masih diam saja, kini tubuhnya tiba-tiba saja merinding sewaktu ada hembusan angin yg seperti melewati dirinya.

Riski tau di mana tempat ini, ia mengenalinya, jalan ini tidak salah lagi adalah jalan yg menuju kearah kuburan desa. Kuburan tempat orang-orang mati biasa di makamkan, mana saat Bapak kemudian berhenti melambaikan tangan, Riski sudah berdiri diantara nisan-nisan tua lengkap dengan pohon-pohon kamboja yang ada disekelilingnya.

“kowe ra gelem melu mergo bapak opo mergo kowe wes sadar nek iki guguk bapak?” (kamu gak mau ikut karena bapak apa karena kamu sudah sadar kalau aku bukan bapak?) Seketika itu wujud bapak menjadi bentuk wujud pocong tapi berwarna hitam yg kain kafannya benar-benar terlihat kotor seperti diselimuti oleh arang, mulutnya rusak dengan bola mata merah menyala, sosok itu melayang beberapa centi dari permukaan tanah menuju ke tempat Riski.

Riski hanya bisa ber’istighfar tapi aneh kaki nya tidak bisa pergi dari tempat itu. “melu aku le, bapak ibu mu onok nang ngarep, kowe gak kepingin mrunu ta karo aku” (ikut aku nak, bapak sama ibumu ada di depan sana, kamu gak mau ikut denganku kesana)
Riski menggeleng-gelengkan kepalanya, wujud pocong ini membaui Riski yang sedang membuang muka tidak berani melihat sosok yg mengerikan itu, “cah ganteng, cah pinter, cah pancer keliwon, ambumu wangi e, wangi getih sing sek legi, melu yo, melu , melu, MELUUUUUU!!” (anak ganteng, anak pinter, anak pancer keliwon, aroma mu begitu wangi, wangi darah yang masih terasa manis, ikut, ikut, ikut, IKUTTTTTT!!)

Riski meraung berteriak dan seketika dia terlonjak dengan badan yang terpelanting karena sesuatu seperti menjerat tubuhnya, saat itu lah Riski melihat si mbah yg terhenyak disamping para tetangga desa yg melihat wajah Riski dengan sorot mata terkejut sekaligus ngeri. Bagaimana hal itu bisa terjadi.

Riski juga merasa nafasnya terasa sulit dan tersenggal, saat itu lah Riski kemudian melihat dirinya, ia sadar jika sekujur tubuhnya sudah dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Siang itu, si mbah meminta maaf kepada para tetangga yg hadir di rumah sementara Riski duduk ditemani sanak saudara, tidak ada dari mereka yg bicara, setelah semua tamu sudah pergi, si mbah mengajak Riski masuk ke kamar.

Riski kemudian menceritakan semuanya, mulai dari ketemu bapak, kemudian diajak jalan ketemu sama ibu kemudian melihat wujud pocong menggunakan kain kafan hitam, pocong itu terus mencoba merayu Riski untungnya anak itu tidak terkecoh.
si mbah hanya menghela nafas panjang, beliau tau kehilangan membuat manusia berada dititik paling rendah dalam hidupnya dan saat itu terjadi mereka yg suka, suka memanfaatkan keadaan bergerak masuk tidak menutup kemungkinan makhluk-makhluk seperti itu juga akan ikut bergabung.

Si mbah kemudian menceritakan versinya, kalau saat adzhan maghrib berkumandang, si mbah masuk ke kamar Riski, di sana beliau melihat Riski sedang tidur, tapi firasat buruk orang tua tidak bisa dibohongi, ia segera membangunkan bocah itu yg sekujur tubuhnya dipenuhi oleh peluh.

Si mbah mulai khawatir, badan Riski mendadak menjadi panas, tidak hanya itu nafasnya tersenggal seperti orang yg terkena asma, si mbah kemudian memanggil orang-orang termasuk mantri desa, tapi semua orang tidak bisa membangunkan Riski yg seperti hanyut dalam tidurnya.

Semakin malam semakin mengkhawatirkan dari badan yg sebelumnya panas tinggi mendadak menjadi dingin, nafas Riski juga tidak beraturan, beberapa orang menyarankan agar ada yg mau meng’adzhani anak itu, si mbah pun melakukannya, dan tiba-tiba tubuh Riski mengejang hebat.

Dibantu orang-orang, semua melafalkan adzhan yg semakin keras, tubuh Riski terus mengejang, bahkan bocah itu menjerit-jerit seperti orang kesurupan, saat ada dititik paling jauh, tubuh Riski kemudian berhenti bergerak, denyut nadinya lenyap, detak jantungnya berhenti berdetak,

Riski yg baru saja kehilangan bapak, dinyatakan meninggal dunia pukul 12.05 malam. Waktu itu tetangga menyarankan agar anak malang itu di makamkan saat itu juga, tapi si mbah masih belum rela, beliau bilang biar Riski tetap di sini setidaknya untuk malam ini saja, besok pagi pemakaman bisa dilangsungkan, si mbah pun tidur disamping jasad Riski.

Semalaman si mbah tidak tidur, beliau menjaga cucunya, semua sholat beliau lakukan, membaca ini itu, sambil mengharapkan kalau Riski benar-benar cuma tertidur tapi sampai fajar terbit Riski tidak kunjung menghembuskan nafas, dia benar-benar sudah pergi ke alam baka.

Selepas dimandikan, di sholati oleh para tetangga, kemudian tinggal beberapa prosesi doa, semua orang yg ada di dalam rumah dibuat terkejut saat bocah berselimut kain kafan itu menggeliat kemudian duduk dan melihat mereka semua, termasuk si mbah yg merinding menyaksikan ini. Riski mati suri.

Sesuatu yg jarang sekali terjadi kepada manusia. si mbah sendiri pun rasanya masih tidak percaya dengan kejadian ini, tapi nyatanya semua terjadi begitu saja, seorang yg kebetulan bertamu di desa pun mentakannya, kalau Riski itu memiliki aroma kembang Laruk.
aroma yg sangat disukai oleh mereka yg bukan dari bentuk makhluk sembarangan.

Kelas Kembang Laruk jauh lebih mengkhawatirkan, butuh orang yg punya kebatinan tinggi untuk menjaganya, karena itu, orang itu memberi nasihat, Riski dilarang keras mendaki gunung mana pun, terutama satu gunung yg ada di jawa timur.

Orang asing itu membisiki si mbah, karena jika itu terjadi, si mbah dan keluarga lebih baik melupakan kalau beliau punya keluarga yg seistimewa ini. Singkat cerita, si mbah sudah memberi wejengan bahkan setelah si mbah akhirnya wafat dan Riski memulai kehidupan barunya sebagai anak kuliahan.

Tahun itu, tidak banyak orang yg bisa merasakan bangku kuliah, tapi karena Riski dari keluarga yg cukup berada, beliau pun memilih-
menempuh pendidikan disalah satu universitas negeri. Selama di sana, tidak ada yg terjadi, kehidupan Riski seperti mahasiswa kebanyakan, kuliah, pulang, kuliah, pulang.

Sampai suatu hari, temannya menyampaikan salam titipan kepadanya, sebut saja teman Riski ini dengan Koco. Koco ini teman Riski yg paling dekat, selain satu fakultas mereka juga masih dalam satu tempat kontrakan yg sama. tahun itu, belum banyak kost-kostan, mahasiswa umumnya saling patungan untuk langsung menyewa rumah yg bisa diisi 5-7 orang, begitu pula dengan nasib Riski dan Koco.
siang itu Koco memberitahu, kalau ada teman perempuan dari anggota Mapalanya yg ingin mengenal Riski.

Saat itu sebagai anak yg kurang aktif tentu Riski tidak gampang percaya, apalagi Koco anaknya yg sedikit sangklek dan suka membesar-besarkan hal-hal kecil. Tapi Koco terus menerus memaksa katanya untuk menjaga martabatnya, kalau ndak suka sama anak ini Riski gak usah melanjutkan, ini adalah amanah, hal ini yg membuat Riski akhirnya mau dan bertemu sama kenalan si Koco ini. Singkatnya, Riski akhirnya mengenal perempuan ini, Koco memanggil beliau dengan Lika.

Lika ini cukup cantik dan Riski tidak bisa berbohong kalau dia sebenarnya tertarik, anehnya, baru satu minggu kenal Lika ini, perempuan ini berani mengajak Riski pulang ke rumahnya. Sebagai orang yg tidak enakan, Riski mau-mau saja diajak pulang ke rumah perempuan ini. Ada satu hal yg membuat Riski tidak nyaman saat bersama dengan Lika ini, dia sering sekali bertanya apa Riski pernah mati suri?

pertanyaan ini terus menerus ditanyakan setiap ada kesempatan.
Riskti tentu menjawab sekenanya saja, kata orang dia memang pernah seperti itu tapi terlepas dari itu Riski tidak tau bagaimana rasanya dan bagaimana hal itu bisa menimpanya.

Lika pun mengerti dan dia berusaha untuk tidak bertanya tentang hal itu lagi.
rumah Lika ini tidak jauh dari area kampus, tempatnya di deretan perumahan dengan gaya rumah khas belanda.

saat Riski berjalan masuk, ia langsung bertanya, “omah bekas londo?” (rumah bekas belanda?)

Lika mengangguk, “iya mas, bapak dosen jadi dapat rumah dinas”
di ruang tengah, Riski lebih banyak duduk dan menghabiskan waktunya melihat perabotan-perabotan lama, banyak lukisan dan foto-foto tua tertata di dinding, tidak ada yg menarik dari rumah ini selain firasatnya yg menunjukkan kalau rumah ini punya sesuatu yg gelap di dalamnya.
sementara Lika meninggalkan Riski di dapur bersama dengan pembantunya.

sendirian di dalam rumah itu membuat Riski tidak punya pilihan lain selain memperhatikan pigura-pigura foto yg tergeletak diatas meja buku, di sana Riski melihat foto sepasang perempuan kembar.
fotonya jauh lebih tua dari tahun Riski sehingga ia menyimpulkan kalau mungkin ini foto ibu Lika, saat Riski memperhatikan dengan seksama foto itu, Lika tiba-tiba sudah berdiri dibelakangnya kemudian berbicara, “foto ibu kale bu lek, ibu kembar mas nek kowe takok”
(itu foto ibu sama tante, ibu itu kembar mas kalau kamu tanya)

Riski yg merasa tidak enak karena bersikap tidak sopan kemudian mengangguk dengan canggung, ia melihat Lika meletakkan gelas berisi teh sebelum perempuan itu mengatakannya, “mas eroh gak karo Jajar loro?”
(mas tau tidak tentang sejajar berdua?)

Riski tentu saja bingung, karena ini kali pertama dia mendengar pertanyaan seperti ini.
Riski kemudian menggelengkan kepalanya, mengaku kalau ia tidak tahu arti dari Jajar loro yg Lika tanyakan, perempuan itu hanya mengangguk, tidak menanyakan perihal itu lebih lanjut.

setelah cukup lama mereka mengobrol, Riski kemudian meminta ijin kebelakang, Lika kemudian-
memberitahu dimana kamar mandinya.

“neng mburi enek mbak Nuk, nek kowe bingung takok ae ten mbak Nuk mas” (dibelakang ada mbak Nuk, kalau kamu bingung tanya saja sama beliau mas)

Riski mengangguk, diperjalanan Riski semakin merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah ini.
mungkin karena rumah tua membuat Riski tidak terbiasa berada di dalamnya.

saat itu Riski bertemu dengan mbak Nuk, beliau wanita paruh baya yg sangat sopan, bahkan mbak Nuk masih menunjuk menggunakan jempol tangannya.

Riski pun mengikuti arahannya.
Riski membuang air disamping sebuah sumur yg ditutup dengan kayu dari pohon trambesi, setelah ia selesai dengan urusannya niatnya kembali ke ruang tengah sebelum Riski seperti melihat Lika sedang berada di salah satu kamar dengan pintu yg terbuka.
Riski tentu saja kemudian mendekat ke kamar itu, di sana Lika sedang duduk sejajar dengan cermin di meja rias di salah satu kamar, anehnya cara duduk Lika ini terlihat janggal, tubuhnya tegap dengan selaras wajahnya melihat ke cermin terus menerus.
Riski sebenarnya merasa tidak nyaman, ia bisa mendengar degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, satu hal lagi, sekujur badan Riski tiba-tiba seperti menggigil dengan sendirinya.

tapi Riski kelewat nekat, ia hanya penasaran apa yg dilakukan oleh kenalannya ini.
berdiri di depan pintu sendirian dengan seorang perempuan yg dikenal sedang duduk selaras dengan cermin merupakan keadaan yg tidak mengenakan.

Riski pun berniat memanggil kenalannya ini saat tiba-tiba Lika ini memutar tubuhnya lalu seperti dengan sengaja membelakangi Riski.
“Lik” “Lika..” panggil Riski saat itu, tapi sosok Lika ini tidak berbalik, tidak juga bergeming, membiarkan laki-laki ini seperti orang konyol yg hanya berdiri diluar pintu.

saat Riski merasa mungkin ada alasan lain, Riski berniat pergi sebelum Lika memanggilnya.
“Totok..” Riski seketika berhenti, “totok..” kata Lika lagi, Riski sempat bingung kenapa perempuan ini memanggil totok, sebelum Riski sadar sesuatu, dia cukup mengenal dialeg-dialeg lawas dari sejarah lama, totok adalah panggilan noni belanda kepada laki-laki pribumi.
Riski yg berdiri di depan kamar melihat Lika atau yg menyerupai dirinya menoleh tapi dengan cara yg sangat pelan, anehnya bagian badannya tidak bergeming atau ikut memutar, hanya kepalanya saja yg kemudian menyeringai melihat Riski, saat itu lah pintu kamar ditutup oleh mbak Nuk.
“mas, kowe iku ngerti po ra, ra sopan mlaku-mlaku nang omahe wong nek ra onok kepentingan” (mas, kamu itu mengerti apa enggak, tidak sopan jalan-jalan di rumah orang kalau tidak memiliki kepentingan)

Riski sempat menunjuk ke pintu kamar tapi mbak Nuk mengantar Riski kembali
setibanya di ruang tengah, Lika yg sama, baju yg sama sedang duduk seperti orang yg sudah menunggu sejak tadi,

Riski tidak berbicara apapun begitu juga mbak Nuk yg langsung berjalan pergi.

suasana mendadak menjadi canggung dan kemudian Lika mengatakannya.
“aku karo Koco, karo arek-arek angkatanku kateh munggah, kowe gelem melok gak mas, gak tau kenek opo kok aku kepingin sampean melu, gelem yo mas”

(aku sama Koco, sama anak-anak lain angkatanku mau mendaki, kamu mau ikut gak mas, entah kenapa aku kok ingin kamu ikut, mau ya?)
entah kenapa Riski tidak bisa menolak ajakan perempuan itu terutama selepas dia menenggak teh yg ada di depannya, “mau ya mas, aku mekso soale” kata Lika, Riski kemudian bisa melihat jika dibelakang mbak Nuk sedang melotot kearahnya tanpa alasan yg jelas.
Riski pun mengangguk kepada Lika, meski tidak berucap dengan lisan tapi itu cukup membuat perempuan itu mengangguk kemudian tersenyum.

ya, untuk pertama kalinya Riski akan mendaki gunung.
Selang beberapa hari setelah bertemu dengan Lika, Riski pulang lebih malam dari biasanya dikarenakan ia harus mengerjakan beberapa tugas kuliah yang mengharuskannya seharian berada di perpustakaan membuka buku-buku tua dengan pinset karena lembarannya yang begitu tipis,
salah sedikit saja halamannya bisa robek, maklum buku-buku ini rata-rata berusia tua, salah satu koleksi berharga yang dimiliki perpustakaan kampus.
Sewaktu pulang ke rumah kontrakan, Riski baru mengingat jika ketiga temannya sedang pergi ke kota sebelah, katanya mereka ingin membuang stress sebelum mulai menjalani ujian akhir semester, itu berarti yang ada di rumah ini hanya lah Koco seorang diri.
Dengan menenteng tas, Riski mengambil kunci dari kantung celana jins miliknya, ia mendorong pintu lalu terhenyak sejenak ketika mendapati suasana rumah kontrakan yang terasa berbeda, entah karena lampu yg masih dalam kondisi dimatikan atau karena hal lain yang Riski tidak ketahui
selain itu udara malam ini juga terasa lebih lembab dari biasanya.

Riski mencoba untuk tidak memperdulikan hal itu, karena di dalam kepalanya, Riski hanya berpikir mungkin saja Koco sedang pergi keluar makanya rumah nampak seperti ini.
ia pun berjalan menuju ke kamarnya.

Kamar tempat tidur Riski berada disebuah ruangan yang berada jauh disudut dekat anak tangga kayu yg ada di lantai dua, tak ada pikiran apa-apa di dalam benak Riski kecuali dia hanya ingin meletakkan tas miliknya kemudian pergi mandi.
Tapi Riski tidak bisa membohongi dirinya kalau ada perasaan yg terasa mengganjal yg entah kenapa membuat dirinya lebih waspada dari pada biasanya saat berada di dalam rumah ini, seperti ada sesuatu yg sedang mengawasi dirinya dari suatu tempat yg entah dari mana datangnya.
Riski berjalan dilorong rumah.

Rumah ini memang termasuk bangunan tua, maklum saja kalau tempat-tempat seperti ini nyaris tersebar disegala penjuru karena mungkin masih dalam satu area yg sama yg dekat dengan pemerintahan saat jaman kolonial dulu.
Selain itu hal yg membuat Riski dan kawan-kawannya terkejut saat pertama kali mengambil rumah ini sebagai kontrakan mereka, yaitu pemilik rumah yg meminta seluruh perabotannya agar tetap ada di sini dan Riski bersama dengan yang lainnya boleh menggunakannya sebagai fasilitas-
yg terpenting tidak ada dari benda-benda itu yg rusak, tentu saja hal ini menguntungkan, itu lah kenapa pada beberapa titik tembok terdapat lukisan-lukisan tua lengkap dengan benda-benda antik yg biasa dilindungi dengan kaca di dalam lemari-lemari tua.
Untungnya selama Riski dan yg lain tinggal di tempat ini tak ditemukan hal-hal aneh yg terkadang sering dibicarakan oleh orang-orang sekitar setiap kali Riski mengatakan dimana mereka sebenarnya tinggal.
hanya saja malam ini rumah ini memang terasa lebih berbeda dibandingkan malam-malam biasanya.
Di sinilah keanehan terjadi sewaktu Riski melewati satu lukisan tua tentang seorang penari Bali, dimana Riski sempat melirik dan melihat bola mata wanita yang ada di dalam lukisan tersebut rasanya seperti mengikuti gerakan kemana pun Riski pergi,
hanya saja Riski sudah terbiasa dengan hal ini karena ia percaya hal itu dikarenakan ilusi bias yang biasa terjadi saat orang-orang melihat lukisan-lukisan dengan objek manusia yang memiliki bentuk rupa.
Namun sejenak ketika Riski melangkah di jalan yg menuju kearah kamar tiba-tiba saja dari arah belakang Riski sempat mendengar seperti suara perempuan yg sedang tertawa.
Riski tentu saja menghentikan langkahnya dan melihat kearah belakang dimana Riski tidak bisa menemukan siapa pun yg berada di tempat ini kecuali dia seorang diri, selain itu suara tertawa itu terdengar menyerupai suara tertawa perempuan yang ditahan seperti “hi hi hi hi..”
Riski tak memperdulikannya dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke kamarnya.
di dalam kamar, Riski kemudian menggantung tas miliknya lalu membuka seluruh pakaian yang seharian ini dia kenakan, setelah itu dengan celana pendek dia berjalan menuju ke kamar mandi sambil menenteng handuk yg dia letakkan di atas bahu miliknya.
Sewaktu Riski berjalan menuju ke kamar mandi dia harus melewati lorong itu kembali, tempat dimana lukisan penari bali itu digantung, entah karena saat itu lampu sedang dalam kondisi mati sehingga tempat itu terlihat lebi suram atau karena hal lain, Riski berusaha melewatinya
ia sempat terhenyak saat berjalan disisi yg berlawanan dimana dia sempat merasa seperti melihat seorang wanita sedang duduk dibagian lain tempat Riski sedang berjalan, Tapi anehnya, ketika Riski menoleh dan memperhatikan dengan seksama,
ia tidak melihat apa pun kecuali kursi-kursi yg kosong yg ada di depan meja makan.
“Asu!! Mikir opo aku!!” (sialan!! Mikirin apa sih aku ini) batin anak itu yg benar-benar tidak habis pikir dengan apa yg dia sedang rasakan, ia pun kembali berjalan dan meninggalkan tempat itu
Sayangnya sesampainya dia di depan kamar mandi yg hanya ada satu-satunya di dalam rumah ini, Riski melihat seseorang sedang menggunakannya.
Riski bisa mendengar dari luar suara guyuran air dari dalam kamar mandi, Riski pun kemudian duduk di atas sebuah bayang (kursi panjang) yg sengaja diletakkan di samping pintu kamar mandi untuk anak-anak yg menunggu giliran.
Kamar mandi sendiri berada di tempat yg paling dalam disamping area dapur, tempatnya cukup tersembunyi dari kamar anak-anak, Riski hanya duduk sembari mendengarkan suara guyuran air seperti biasanya.
Tapi rasanya aneh, belum pernah rasanya Riski menunggu selama ini orang yang sedang mandi, kemudian Riski teringat kalau tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dirinya sendiri dan tentu saja Koco, Riski pun kemudian berdiri dan menggedor pintu dengan keras,
“co!! co!! iki koen tah?” (co!! co!! ini kamu kan?)

Tak berselang lama, suara guyuran itu berhenti sejenak, Riski terdiam menunggu jawaban sebelum ia mendengar orang yang ada di dalam kamar mandi berbicara.
“IYO!! Aku iki mbut, nyapoo!! Sabar too, mari ki aku mari!” (IYAA!! Aku ini mbut, lapo!! Sabar dong, habis ini aku selesai)

Riski pun merasa lega mendengar suara dari sahabatnya ini, “Jancok!! Tak kiro demit asu!! Soale aku gak ndelok awakmu nek wes nok omah!!”
(Jancok!! Ku kira kamu itu setan njing!! Soalnya aku tadi gak melihat kamu ada di rumah)
Orang yang ada di dalam kemudian tertawa sembari menyahut kepada Riski, “oalah mbut mbut, jaman yamene sek wedi karo demit, santai, santai, cah model koyo koen gur wangi ra nggarai aku kepingin, kecuali mbak kui sing koyo e seneng kowe”
(oalah mbut mbut, jaman sekarang masih saja takut sama setan, tenang, tenang, anak model kaya kamu meskipun wangi gak membuatku menginginkanmu, kecuali mbak yang itu yang sejak awal kayanya suka sama kamu)
Mendengar itu Riski sempat terdiam sebentar, ia berdiri di depan pintu sambil memikirkan apa maksud dari “mbak” yang dikatakan oleh Koco ini. Mbak siapa yang dia maksud.
Tapi Koco tidak mengatakan apa pun lagi karena kemudian terdengar lagi suara guyuran air dan Riski kembali duduk sambil berujar “ojok suwe suwe asu, aku yo kepingin ndang adus, gatel awakku kabeh iki”
(jangan lama-lama njing, aku juga ingin cepat-cepat mandi, badanku sudah gatal semuanya)

Riski kembali duduk sambil memandang kesisi ruang tengah, entah kenapa tempat ini begitu sepi, anehnya kenapa baru sekarang Riski menyadarinya, atmosfer di dalam rumah ini terasa menakutkan.
Sambil menunggu Koco selesai dari dalam kamar mandi, Riski melamun memikirkan kenapa dia mau ikut naik ke gunung, bukankah selama ini dia tidak pernah melakukan kegiatan itu, kira-kira apakah dia nanti sanggup, fisiknya, mentalnya, entahlah,
Riski masih berkutat memikirkan hal itu sebelum dari ruang tengah Riski melihat bayangan seseorang sedang mendekat kearahnya.
Riski memandang bayangan gelap itu yg tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, Riski terdiam memikirkan siapa yg datang, apa salah satu temannya memutuskan pulang, tapi betapa terkejutnya Riski ketika melihat bayangan gelap itu tiba-tiba melompat dan berteriak mengejutkannya.
“Hiyaaaaa!!” teriaknya sambil memamerkan gigi-giginya yang besar, “Jancok!! Kowe iki tak celok celok tambah mlaku ae asu, kowe gak krungu ta aku ngenteni kowe nang pinggir pos gerbang kampus, nyeludur ae dadi wong!!”
(jancok!! Kamu itu dipanggil-panggil jalan saja terus njing, kamu gak dengar ya aku dari tadi nungguin kamu di pos gerbang kampus, nyelonong saja jadi orang)
Riski termangu diam, ia melihat Koco sedang berada di hadapannya, entah kenapa Riski bahkan sampai tidak tau apa yang bocah ini sedang bicarakan, karena telinganya mendadak seperti orang yg tuli.
“woi, bangsat!! Kowe nyapo? Kowe ngerungokno aku po ora mbut?” (woi, bangsat!! Kamu itu kenapa? Kamu dengar aku apa enggak sih?)

Riski masih diam mencoba mencerna isi kepalanya.
sebelum ia sadar dan berjalan kemudian mendorong pintu kamar mandi, sial!! batin anak itu yg seketika sadar saat melihat pintu kamar mandi bisa didorong dengan tangannya, dan lagi, tidak ada siapa pun yg ada di dalamnya.
“Woi woi!! Nyapo seh, kowe lapo?? kok meneng ae!!” (woi woi!! ngapain sih, ada apa?? kok diam saja)

Riski menelan ludah, ia bersumpah sewaktu duduk di atas bayang ini, ia tidak melihat satu orang pun yg berjalan keluar dari dalam kamar mandi itu,
dan lagi, bagaimana bisa Koco datang dari arah luar rumah sedangkan tadi benar-benar ada yang menjawab perkataannya. Riski pun mengurungkan niat untuk mandi, ia berkata kepada Koco, “negara sedang susah untuk itu mereka harus menghemat air” Riski pun kembali ke kamarnya
Malam semakin larut Koco kemudian mendatangi kamar Riski, ia melihat Riski sedang duduk di atas ranjang miliknya, bocah itu nampak sedang membuka buku, Koco sejenak mengetuk pintu kemudian berjalan masuk, nampaknya anak itu sudah bisa mengira-ngira apa yang baru saja terjadi.
Tanpa basa basi Koco kemudian langsung mengatakannya, “kowe diwedeni tah karo sing ono gok jeding?” (kamu digangguin ya sama yang ada di kamar mandi?)
Mendengar itu tentu saja Riski hanya bisa melongo, sepertinya Koco lebih tau sesuatu yang tidak Riski ketahui. “maksudmu opo?”

“Ora, kowe loh kok koyok ngunu mau, kowe diwedeni ta karo sing njogo omah iki?”
(enggak, kamu loh kok kaya begitu reaksinya, kamu digangguin sama yg jaga rumah ini?)

Tidak lagi bisa berbohong, Riski kemudian menceritakan semuanya, Koco hanya manggut-manggut tidak berkomentar, anak itu juga nampaknya tidak terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“Halah, ra popo, mek nggudo tok iku, kepingin kenalan paling karo kowe” (halah, gak papa itu, cuma nggodain, mungkin ingin kenalan sama kamu)
Riski hanya mengangguk, Koco kemudian melanjutkan, “aku yo gelek ketemu ambek sing ngunu kui, tambah cebok e mumbul tapi yo gak popo, omah model ngene justru aneh nek ra onok sing njogo modelan ngunu”
(aku juga sering bertemu dengan yg seperti itu, malah aku pernah lihat gayung yg bisa terbang tapi ya gak papa, rumah seperti ini justru aneh kalau gak ada yang jagain seperti itu)
Riski mengangguk kembali, apa yg Koco katakan memang benar, hal-hal diluar nalar memang ada dan tidak seharusnya dia takut dengan hal seperti itu. Ditengah-tengah pikiran Riski yg campur aduk kemudian ia ingat dengan pembicaraan saat dia tadi sedang dikerjai,
“mbak-mbak itu” siapa maksudnya, tapi Riski memilih mengurungkan niat untuk mengatakan hal itu kepada Koco.

Kemudian pembicaraan mereka melebar sampai pada titik dimana Riski memberitahu kalau Lika mengajak dia naik ke gunung bersama dengan rombongan Koco,
saat itu lah Koco baru nampak kaget ketika mendengarnya.
“Opo?? Kowe, melu munggah? Tenanan? Ojok guyon kowe karo aku?” (apa?? kamu. Ikut naik? Yang bener saja? Jangan bercanda sama aku?)

Riski kemudian menjelaskan bukankah seharusnya Koco tau hal ini, tapi kenapa dengan reaksi Koco yang seperti itu. Bukankah hal ini terasa janggal.
Koco kemudian menjelaskan kalau gunung yg akan Koco daki bersama rombongannya adalah gunung yg jarang jadi pilihan para pendaki karena medannya yg masih terkenal sulit dan aksesnya yang sukar dijelajahi, selain itu butuh jam terbang tinggi untuk menjelajahi tempat ini.
namun Koco kemudian terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu.

“aku kok kaet eroh nek Lika ngejak kowe, soale sing nggawe acara iki yo asline Lika iku, malah bapak’e sing bakal nangung kabeh biayane”
(aku baru tau kalau Lika ngajakin kamu, soalnya yg buat acara ini sebenarnya ya Lika itu, malah ayahnya yang mau menanggung semua biayanya)
Riski semakin yakin kalau ada kejanggalan dengan pendakian ini tapi baik Riski mau pun Koco, mereka sama-sama tidak tahu alasan apa yg dilakukan oleh keluarga Lika.

“nek aku seh gak keberatan, lumayan iso nyantai” (kalau aku tidak keberatan, lumayan bisa bersantai)
Riski hanya diam saja. Ia ingat jika Lika mengatakan kalau ayahnya adalah seorang dosen.

“trus kowe ngomong iyo pas ditawari?” (trus kamu ngomong iya sewaktu dia menawarimu?)
Riski mengangguk, Koco nampak khawatir kemudian ia mengatakan sesuatu kepada Riski, “munggah gunung iku gak gampang loh Ris, ra koyok kari mlaku ngunu, nek wong rung tau mestine munggah gunung sing endek-endekan sek, gak langsung melu pendakian sing iki,
tak saranno urungno niatmu, soale, kowe gak ngerti nang gunung iku menungso iso dadi bedo?”
(naik gunung itu tidak mudah loh Ris, gak kaya kamu tinggal jalan saja seperti biasa, kalau orang belum pernah naik seharusnya dimulai dengan gunung yg pendek-pendek dulu, gak langsung harus ikut pendakian yg ini, ku sarankan urungkan niatmu,
karena, kamu gak akan mengerti kalau di gunung manusia bisa menjadi orang yang berbeda?)
Riski kurang mengerti apa yg coba Koco sampaikan kepadanya tapi jika ia melakukan hal itu rasanya mau ditaruh dimana mukanya nanti dihadapan Lika, lagipula entah kenapa Riski yang biasanya kurang memperdulikan perasaan orang lain bisa begitu takut membuat Lika kecewa,
padahal mereka saja baru mengenal satu sama lain kurang dari sebulan ini.
Riski kemudian berujar kepada Koco kalau jauh di dalam hatinya memang ada keinginan setidaknya untuk sekali ini saja dia ingin melakukan pendakian ini jadi dia bisa merasakan perasaan Koco yg biasa dia ceritakan kepadanya lagipula kegiatan ini bisa menambah pengalaman.
Koco sebenarnya tetap tidak sependapat dengan Riski, bagaimana pun mendaki gunung itu berbeda, tapi ia juga tidak mau jika harus melarang anak itu untuk merasakan sensasi mendaki, dan tertawa puas saat sampai dipuncak,
ia kemudian mengurungkan niat dan berpesan kepada Riski, “mene mulai mlayu-mlayu diluk ben isuk, latih ambekanmu, gunung iku gak seramah sing dipikir wong-wong”
(besok, mulai lari-lari kecil setiap pagi, latih pernafasan, gunung itu tidak seramah yang orang-orang pikirkan) selepas mengatakan hal itu, Koco kemudian pergi meninggalkan Riski seorang diri di dalam kamar yg entah kenapa membuatnya masih termangu diam sendirian.
Malam sudah larut, Riski sedang terlelap didalam tidurnya sebelum tiba-tiba ia mencium aroma dari kembang yg sangat wangi, aromanya asing tapi rasanya Riski pernah mencium aroma ini, tidak salah lagi. katanya di dalam hati. aroma ini adalah aroma dari kayu cendana.
Riski pun mulai membuka matanya, ditengah kegelapan kamar dia merasakan kalau tidak jauh dari tempatnya sedang berbaring terlihat seseorang sedang dalam posisi bersimpuh, sosoknya terlihat tidak begitu jelas tapi Riski bisa melihatnya kalau sosok itu adalah seorang wanita.
rambutnya panjang tergerai sampai menyentuh lantai, posisinya bersimpuh membelakangi Riski, Riski yg masih belum sepenuhnya sadar nampak terhenyak di atas tempat tidurnya ia memandang pada bagian kepalanya seperti ada sesuatu yg berkilau kekuningan seperti sebuah mahkota
yg anehnya terlihat familiar bagi Riski, anak itu nampak bingung apakah dia sedang dalam kondisi bermimpi atau sudah terjaga, selain itu aroma wangi dari kayu pohon cendana nampaknya berasal dari sosok wanita yg ada dihadapannya ini.
Riski pun berusaha bangkit dari tempatnya sedang tidur tapi tiba-tiba sosok yg masih terlihat samar-samar itu berkata dengan suara yg sangat lembut.

“tetaplah disitu”

Riski menyadari mungkin sekarang dia dalam kondisi terjaga. kalau begitu, siapa perempuan asing ini.
“Aku menyarankan agar kamu tidak perlu pergi hanya untuk menuruti keinginan dari orang yg sedang memanfaatkanmu” katanya, suaranya terdengar begitu lembut namun terasa dingin, “kamu tidak pernah tahu ada apa saja di gunung itu, kamu itu istimewa,
-dan yang istimewa biasanya menjadi rebutan, ini bukan perkara siapa yg nanti mendapatkan, tapi perkara dusta yg diselimuti nafsu pribadi dari orang yang tidak memikirkan perasaan dari yg lain”

“uruangkan, ya..”

“urungkan…..”

“URUNGKAN!!” teriaknya dengan suara yg tinggi.
Riski bisa melihat sekilas wajah wanita itu dan seketika ia menyadari kalau sosok yg sedang bersimpuh dihadapannya ini memiliki perawakan yg sama persis dengan sosok wanita yg ada di dalam lukisan penari bali.
Pagi harinya, Riski terbangun dengan kepala yg terasa sakit, ia tidak bisa membedakan lagi apakah semalam dia bermimpi ataukah hal itu memang terjadi. Entahlah, tapi mengenai pesan itu rasa-rasanya ada bagian di dalam hatinya yang juga ragu dengan pendakian ini.
niat hatinya selepas matahari sudah bergerak naik, ia akan pergi ke rumah Lika untuk mengatakan kalau dia tidak bisa ikut dalam pendakian ini. semoga saja perempuan itu mengerti.
Sewaktu Riski berjalan di lorong rumah, Riski berusaha menghindari kontak mata dengan lukisan penari dari bali tersebut tapi nampaknya hal itu sulit dilakukan karena meski pun Riski mengalihkan pandangan ia sempat melihat kearah bola mata wanita yg ada di dalam lukisan,
wanita itu terlihat seperti sedang tersenyum kearahnya.
Riski sampai di rumah Lika saat matahari ada di atas kepala, ia memarkirkan motor Rc-100 keluaran tahun 95’nya itu di halaman depan di bawah pohon jambu, ia sempat mendongak kearah pintu rumah yg anehnya, Lika seperti tau akan kedatangannya. wanita itu tersenyum menungguinya.
Riski mendekat, dan wanita itu menyambutnya, “monggo mas” katanya lembut, Riski bingung, aneh sekali tubuhnya seperti menolak keras untuk mengatakan maksud kedatangannya, di atas meja juga tersaji teh yg sama seperti sebelumnya dan sekali lagi mbak Nuk melotot dari ruang seberang
Lika mendorong Riski agar meneguk teh itu, setelahnya dia berkata sangat senang setelah Riski setuju mau ikut pendakian ini dan hari ini juga ada yg mau Lika tunjukkan kepada Riski alasan kenapa dia sampai hati melakukan ini,
singkatnya, Lika mengajak Riski pergi ke rumah yg ada dibagian dalam tepatnya di sekitar area dapur, mbak Nuk sempat menghentikan mereka, ia berbicara, “ojok nun, nek bapak eroh sampean ambek aku iso diajar non” (jangan non, kalau bapak tau anda atau saya bisa dihajar non)
tapi Lika menanggapi mbak Nuk dengan senyuman yg membuat wanita paruh baya itu ketakutan dan menyingkir, maka mereka kembali berjalan, tangan Lika mengapit tangan Riski menuntunnya ke sebuah ruangan yg benar-benar terlihat gelap.
bahkan sinar matahari pun tidak bisa menyusup masuk, Lika menyalakan lampu petromaks yg ada di dinding kemudian membawanya sembari menunggu Riski agar mengikutinya.

masuklah mereka kesalah satu pintu berwarna hijau muda yg dipenuhi goresan aneh didepannya.
“mas Riski eroh yo nek ibu iku kembar?” (mas Riski tahu kan kalau ibu itu kembar?)

Riski mengangguk sambil menahan hidungnya yg tiba-tiba mencium aroma yg busuknya setengah mati sampai Riski merasa mual saat berada di dalam ruangan itu.
“biasane nek onok keturunan kembar, nduwe anak sing kembar sisan mas, mas Riski eroh ambek info iki?” (biasanya kalau ada keturunan yg kembar, punya anak yg kembar juga mas, mas Riski tahu kan mengenai info ini?)

Riski hanya diam sembari menahan hidungnya,
rasanya dia pernah mendengar tentang hal ini, tapi apa hubungannya dengan ini semua.

Lika tersenyum dibalik pendar cahaya lampu minyak yg dia bawa, jujur tiba-tiba Riski merinding di depan anak ini,
Lika menarik satu tangan Riski memintanya mendekat ke bagian dalam kamar, aroma busuk yg tidak bisa Riski jelaskan membuat rasanya ia ingin berlari pergi tapi tertahan saat Riski melihat seonggok kain putih yg menutupi sesuatu di dalamnya.

Riski terdiam sejenak dalam hening.
Lika kemudian menarik kain yg menutupinya, di sana Riski bisa melihat apa yg ada di dalamnya, rupanya sosok yg nyaris sama persis dengan Lika hanya saja kulitnya berwarna putih sangat-sangat pucat, bagian hidungnya ditutup oleh kapas, dan dia terbungkus dalam balutan kain kafan.
“si mbak pernah mati suri kaya mas Riski, dia sudah dilarang naik ke gunung karena beliau itu memiliki aroma seperti kembang laruk, tapi si mbak gak mendengarkan kami waktu itu, saat ini si mbak ditemukan dalam kondisi begini, sudah dilakukan apapun untuk mengembalikannya,
-tapi tidak ada yg berhasil, sampai kami pernah mendengar kalau sukmanya masih tersesat di sana, si mbak ngambil sesuatu di sana masalahnya tidak ada dari kami yg bisa melihat dimana si mbak berada, cuma orang yg pernah mati suri yg bisa melihatnya, karena itu,
-saya butuh mas Riski buat menunjukkan jalannya nanti)

Riski yg mendengar itu sontak berjalan mundur menjauh dari Lika, “Mati aku” katanya berujar lirih,
sejujurnya Riski masih terlihat bingung, dia tidak tahu harus merespon seperti apa, tapi Lika nampaknya menunggu respon anak itu, “piye carane aku eroh mbakmu? aku loh gak ngerti opo-opo?” (gimana caranya aku bisa tahu dimana mbakmu? aku loh tidak tau apa-apa?)
“sing munggah engkok wong-wong sing bakal mbantu awak dewe mas, engkok onok aku sisan sing bakal ngancani kowe, aku gak bakalan nianggalno njenengan, mohon mas Riski purun mbantu keluarga kulo, sakken, ibu wes gak onok, bapak ben bengi nangis terus mas”
(yg mendaki nanti adalah orang-orang yg akan membantu kita mas, nanti ada aku juga yg akan menemani kamu, aku gak akan meninggalkan kamu, mohon mas Riski mau menolong keluargaku, kasihan, ibu sudah gak ada, bapak setiap malam menangis sendirian)
“sing nolong iki sopo ae, koen iku yakin tah iso selamet yo opo nek tambah kowe utowo aku ra iso muleh, ojok gawe dulinan perkoro ngene iki, aku wes sering ketemu” (yg nolong itu siapa aja, kamu itu yakin bisa selamat, gimana kalau menambah korban, kamu atau aku gak bisa pulang,
jangan membuat hal ini jadi perkara sepele, aku sudah sering bertemu yg seperti ini)
Lika untuk sejenak terdiam, suasana di tempat itu terasa sangat hening hingga rasanya tempat itu seperti kedap suara, “ya sudah kalau mas Riski akhirnya ndak mau, saya gak maksa, monggo mas Riski pulang, ngomong-ngomong hati-hati kalau pulang, mas Riski gak tau kan apa saja yg-
-sudah masuk kedalam perut?)

Lika menyeringai memberi jalan Riski untuk pulang, tapi anehnya Riski seperti tidak bisa pergi dari tempat itu, ia tidak mau meninggalkan Lika di sini sendirian.

“monggo mas” Lika masih menyeringai memberi jalan.
Lika kemudian mendekat, menyentuh pipi Riski, ia berbisik “ndak papa, ndak papa, yg nemenin kita bukan orang-orang sembarangan, mereka siap nanggung resiko, setiap malam jasad si mbak jadi rebutan banyak sekali makhluk yg tidak akan saya ceritakan, jadi mohon maaf kalau pakai-
-cara begini ya mas?”

Riski mengangguk, ia seperti menurut apa saja kata perempuan ini.
mereka kemudian keluar dari ruangan itu, setelah meninggalkan ruangan itu Riski terhenyak melihat seorang pria tua yg mengenakan kaca mata, kulitnya sawo matang dan menatap Lika serta Riski dengan sorot mata yg tidak bisa ditebak, Riski menyadari mungkin beliau ini lah bapak Lika
awalnya dia kira orang ini akan menolong Riski tapi kemudian dia berkata kepada Lika, “kabeh sing mok butuhno wes tak siapno nduk, ati-ati bapak mung iso ndungokno kowe” (semua yg kamu butuhkan sudah kupersiapkan ya nak, hati-hati bapak hanya bisa mendoakan kalian)
Hari itu, Riski menginap di rumah Lika, mbak Nuk juga mengurusi semua kebutuhannya selama sehari, dan keesokan paginya, bapak Lika menawarkan diri untuk mengantar mereka ke stasiun, perjalanan mereka akan dimulai dari titik pertemuan ini.
Riski kemudian teringat dengan rombongan Koco dan berniat menanyakan hal itu, Lika kemudian mengatakan kalau semua rombongan Koco tidak ikut kecuali Koco sendirian di sana, hanya orang-orang pilihan yg Lika bawa karena tujuan mereka juga bukan untuk mendaki tapi mencari.
Riski kemudian bertanya, apa Koco tau tentang maksud dan tujuan mereka ini, Lika menjawab Koco tidak perlu tau dan dia harus ikut agar tidak menimbulkan kecurigaan siapa pun, tapi Lika menjamin orang-orang bawaannya adalah orang-orang yg berguna.
di stasiun, bapak Lika kemudian langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka berdua, Lika berjalan dengan langkah kaki yg cepat, melewati banyak sekali orang-orang yg ada di stasiun, tempat dimana berbagai orang berkumpul menjadi satu.
pedagang, pelancong, semua orang memenuhi stasiun dan mereka akan saling berebut gerbong masuk, penumpang kereta masih belum diatur, di sana Lika melihat Koco dan orang-orang yg akan bergabung rupanya sudah berkumpul, di sana pula Riski akhirnya bisa melihat orang-orang itu.
seorang pemuda dengan rambut keriting panjang dengan badan tegap menyapa Lika dan Riski, seorang perempuan berambut pendek dengan jaket tebal mengangguk, juga ada seorang anak yg mungkin lebih muda membawa tas lonjong dengan sepatu karet pendakian, dan yg terkhir Koco.
Lika menyapa semua orang, begitu juga dengan Riski, setelah semua orang sudah berkumpul satu sama lain, mereka bergabung dengan orang-orang berebut satu sama lian untuk bisa ikut dalam rombongan kereta ini, dan siang itu, mereka berangkat ke tempat tujuan terakhir.
tempat dimana tragedi naas ini bermula.
disinilah awal tempat mereka semua berpijak.
Image
Riski duduk disamping seorang bapak tua yang mengapit keranjang bambu nampaknya berisi ayam peliharaannya, sedangkan Koco beradu tenaga berhimpit-himpitan dengan seorang pria berbadan bongsor, sementara kawan-kawan Lika yg belum Riski ketahui namanya nampak sedang berbaur.
mereka berbicara dengan penumpang lain, Lika sendiri tidak berhenti melihat Riski sewaktu kereta terus melaju, sorot matanya membuat anak laki-laki itu merasa tidak nyaman.
Di dalam suasana yang ramai dipenuhi oleh manusia, bapak tua yang duduk disamping Riski kemudian membuka pembicaraan dengannya. “bade ten pundi dik?” (mau kemana dek?)
Riski mengangguk membalas hormat kepada si bapak, kemudian ia menyebutkan nama sebuah tempat, bapak itu lalu mengangguk mengerti, ayam yang sejak tadi ada di dalam dekapannya tiba-tiba saja menjadi tidak bisa tenang mungkin terganggu dengan laju kereta yang gerasak-gerusuk.
“mau apa dik ditempat itu?” tanya bapak itu lagi, Riski melihat Lika sebentar sebelum menjawabnya,

“mau naik pak, ke gunung yang ada di..” belum selesai Riski mengatakan nama tempatnya, si bapak tiba-tiba berkata kepadanya dengan ekspresi wajah yg datar, “urungkan!!”
“nopo pak? maksud njenengan?” (gimana pak? maksud bapak?)

“urungkan!!” katanya lagi, Riski mulai merasa tidak nyaman dengan bapak tua itu, sorot matanya benar-benar berbeda dengan tadi, Riski mencoba melihat kearah Lika yg juga melihat dirinya dari bangku yg lumayan jauh.
saat menoleh kembali ke bapak tua itu, Riski dibuat tersentak dari tempat duduknya, kedua tangannya memegang bagian wajah Riski lalu berteriak sangat keras, “URUNGKAN!! CAH CILIK!!”

untungnya salah satu kawan Lika, pria tegap dengan rambut panjang agak keriting itu datang.
pria itu langsung mendorong bapak tua itu, sambil satu jari jempolnya seperti menyentuh keningnya, anehnya setelah melakukan hal itu, bapak tua itu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, kejadian itu membuat Riski menjadi pusat perhatian orang-orang yg ada di dalam gerbong.
untungnya tidak ada yg tau kejadian yg sebenarnya, semua orang kembali ke tempatnya masing-masing, pria itu kemudian berjalan mundur, meninggalkan Riski, bapak tua itu melihat Riski kemudian bertanya kepadanya lagi. “bade ten pundik dik?” (mau kemana dik?)
seperti itu lah, belum sampai menginjak tanahnya saja hal janggal sudah mulai terjadi, Riski tidak bisa membayangkan apa yg sebenarnya sudah menunggu dirinya.
kereta yg ditempuh oleh Riski memakan waktu kurang lebih 10 jam, itu pun baru menginjak satu kota, karena ia harus segera bersiap untuk langsung naik ke kereta selanjutnya yg juga memakan waktu yg tidak sedikit, sejujurnya ini adalah perjalanan yg paling melelahkan bagi Riski.
mereka baru sampai di kota terakhir pukul 11 siang, setelah itu Lika baru bisa memimpin semua orang menuju ke suatu tempat yg tidak jauh dari stasiun terdekat, sebuah bengkel tua yg entah dimiliki oleh siapa, bengkel itu menampung mobil besar dan Lika menemui seseorang di sana.
“pak lek, iki aku?” katanya kepada seorang laki-laki yg mengenakan kaca mata hitam yg duduk sambil menyesap kopi, laki-laki itu membuka kacamatanya dan langsung mengenali Lika,

“loh kowe nduk, kowe lapo nang kene, kowe gurung paham tah ambek” (loh kamu nak, kamu ngapain di sini,
-kamu masih belum paham ya sama) belum juga orang itu selesai berbicara, Lika sudah memotong pembicaraannya, “sak iki aku wes gowo kembang ‘e” (sekarang aku sudah membawa bunga-nya)

setelah mengatakan itu, laki-laki itu kemudian memandang ke semua orang, ia nampak terkejut-
terutama saat melihat wajah Riski.
“edan!!” ujar laki-laki itu, “ojok ngomong kowe bakal?” (stress!! jangan bilang kamu akan?) lagi-lagi belum selesai berbicara, Lika memotong ucapan orang itu, “wes, sak iki terno nang omahe mbah Kung, diomongno nang kono ae?” (sudah, sekarang antar kerumahnya mbah Kung, kita-
-ngomong saja di sana)

orang itu masih menunjukkan ekspresi yg gelisah, ia tidak berhenti melihat Riski, ini tentu saja hal yg sangat mengkhawatirkan, “kowe ra ngerti kapan kudu mandek nduk!!” (kamu itu gak juga paham kapan harus berhenti!!)
semua orang kemudian naik ke mobil jeep buntut milik orang itu.

Riski duduk disamping perempuan berambut pendek yg selalu tersenyum setiap kali Riski tanpa sadar melihatnya, Koco sendiri juga lebih banyak diam, tidak seperti Koco yg biasanya.
dari stasiun mereka kemudian menuju ke sebuah desa yg ada di kaki gunung, tempatnya sangat jauh dipedalaman, sempat melewati bagian-bagian jalur setapak dengan pohon-pohon tinggi besar di kanan-kiri, bahkan mobil harus melaju diatas lintas sungai kecil.
setelah melewati segala halang rintang baru lah mereka melihat sebuah gapura yg dibangun dari batu bata merah.

jika diperhatikan gapura ini cukup lama, dengan rumah-rumah disepanjang jalan yg terus naik, sampai akhirnya mobil jeep berhenti di satu rumah dengan halaman yg luas.
orang itu kemudian turun dan menuntun mereka bertemu dengan seorang kakek tua yg sedang memberi makan ayam.

awalnya tidak ada yg terjadi dengan mereka bahkan setelah melihat Lika, tak ada perubahan ekspresi apa pun sampai orang tua itu melihat Riski dan seketika wajahnya berubah
orang tua itu sontak berteriak dengan nada yg keras, “KOWE EDAN!!! OPO MAKSUDMU IKI?” (KAMU GILA!!! APA MAKSUDMU INI?)

Lika kemudian maju dan berusaha menjelaskannya, tapi kakek tua itu tidak mau mendengarkan, “melu aku!! kowe sisan!!” (ikut aku!! kau juga!!)

Riski termangu,
ia juga dipanggil oleh orang tua yg tidak dikenalinya itu bersama dengan Lika.

sementara Koco dan yg lain menunggu di sebuah bangunan mirip mushola atau padepokan yg ada di bawah pohon rambutan.
di dalam ruangan itu, Mbah Kung orang yg sudah bertahun-tahun diberi mandat jadi juru kunci di atas tanah ini berteriak kepada Lika, wajahnya benar-benar menakutkan tidak seperti wajah tenang yg sebelumnya dia tunjukkan.
“”Kowe iki golek molo nang kene, ra ngene carane nganggo goleki dulurmu, iso-iso sing gak iso muleh koen-koen iki!!” (kamu itu mencari masalah di sini, gak begini caranya untuk mencari saudaramu, bisa-bisa yg gak bisa pulang itu kalian juga)

Lika hanya diam saja melihat orang-
-tua itu sebelum kemudian dia berdiri, Lika berkata dengannya dengan suara yg selembut mungkin, “ngartos mbah tapi bapak tambah suwe tambah ra kuat nangung iki, ngenteni njenengan goleki mbak ra ndang ketemu juntrungane, kulo gowo kembang kale kulo gowo niki”
(ngerti mbah tapi bapak semakin lama semakin tidak kuat menanggung ini semua, menunggu anda mencari si mbak gak juga menemukan ujungnya, selain saya membawa si kembang saya juga membawa ini)

Lika menunjukkan sesuatu di dalam tas yg dia bawa, seketika wajah orang tua itu nampak-
-bingung.

wajahnya tiba-tiba berubah menjadi semakin pucat, ia terus berjalan mundur, “maksudmu opo kowe sampe nggowo iki? kowe ra ngehormati aku ya dadi juru kunci nang kene?” (maksudmu apa kamu sampai membawa ini? kamu tidak mau menghormati saya ya sebagai juru kunci di sini?)
Lika berujar dengan suara yg teramat tenang, “bar aku karo kancaku munggah, mbah ra usah melu-melu, kabeh sebab akibat siap tak tanggung dewe” (biar aku dan teman-temanku naik, mbah tidak perlu ikut campur, semua sebab akibat siap ku tanggung sendiri)
Mbah Kung mengalihkan pandangannya melihat kearah Riski, ia bisa tahu kalau ada yg tidak beres dari anak ini, maka mbah Kung mendekatinya, “kowe le, kowe gelem munggah karo cah wedok iki?” (kamu nak, kamu mau naik dengan anak perempuan ini?)

Riski melihat Lika sebelum mengangguk
Mbah Kung kemudian mengerti, ia memijit bagian tengkuk belakang Riski sembari berkata kepada Lika, “ya wes, aku ra bakal melu urusanmu, sing mok gowo iku barang sing bahaya, cah cilik koyo kowe-kowe ra bakal iso nulung mbakmu, cara mu iki salah, cah edan!!”
(ya sudah, aku tidak akan ikut campur urusanmu, yg kamu bawa itu barang yg berbahaya, anak kecil kaya kalian tidak akan bisa menolong saudaramu, cara mu ini salah, anak stress!!)

Mbah Kung masih memijat-mijat tengkuk Riski, “tapi aku ra iso mbarke cah iki mok leboni barang gak-
-jelas koyo ngene, setidaknya dia kudu milih dewe dalane” (tapi aku tidak bisa membiarkan anak ini kamu beri barang gak jelas seperti ini, setidaknya dia harus memilih jalannya sendiri)

tiba-tiba isi dalam perut Riski seperti naik dengan sendirinya, ia mulai merasa mual, dan-
-semakin lama ia tidak bisa menahannya lagi.

Riski memuntahkan isi di dalam perutnya, seketika ia tersentak dari tempatnya duduk saat melihat gumpalan darah yg seperti sepotong daging tapi dalam keadaan yg menyengat.

“sak iki tak takoni maneh, kowe gelem melu cah wedok iki?”
(sekarang ku tanya sekali lagi, kamu mau ikut anak perempuan ini?)

anehnya, Riski tidak merasakan intimidasi dari Lika lagi, ia bahkan tidak perduli meski pun Lika memandangnya dengan sorot mata yg kosong, Riski menatap mbah Kung lalu berkata kepadanya. “purun mbah” (mau mbah)
Mbah Kung nampak kehabisan kata-kata, beliau kemudian berujar kepada Lika dan Riski,

“yowes, sak iki kabeh istirahat sisek, mene kaet munggah, engkok bengi bakal onok udan deres!!” (ya sudah, sekarang istirahat dulu, besok baru naik, nanti malam akan turun hujan yg deras!!)
seperti yg mbah Kung katakan, malam harinya hujan deras kemudian turun, di dalam rumah milik mbah Kung Lika kemudian memperkenalkan satu persatu orang yg besok akan pergi naik.

Lika menunjuk orang yg paling tua di sini, seorang teman yg sudah lama Lika kenal.
pria tegap yg pernah menolong Riski, namanya adalah Prio, beliau selama ini bekerja sebagai pemborong, Prio ini memiliki kebatinan yg kuat, beliau merasa kasihan sewaktu tau keluarga Lika menghadapi masalah yg sangat sulit, sehingga menawarkan diri dalam pendakian ini.
lalu perempuan dengan potongan rambut pendek, ia adalah teman dari saudara Lika, beliau sebenarnya sudah lama menawarkan diri untuk membantu tapi baru kali ini dia mendapat kesempatan itu, sedangkan yg satu lagi juga sama, mereka mengaku satu group dengan saudara Lika dan hanya-
berniat menolong sebisa mereka, sedangkan Koco yg masih tidak mengerti kenapa list orang-orang yg datang berbeda seperti yg Lika jelaskan saat pertama kali menawarinya untuk ikut pendakian masih belum diberitahu alasan yg sebenarnya.

Lika hanya berujar kalau teman-teman mapala-
yg lain, semuanya tidak bisa ikut dalam pendakian ini karena hal yg Lika sendiri tidak ketahui.

Riski pun memilih diam apalagi Lika sudah memohon kepadanya untuk merahasiakan ini kepada Koco, perempuan itu berjanji tidak akan ada yg terjadi dalam pendakian ini.
singkat cerita, malam itu, sewaktu Riski dan Koco sedang tidur di dalam ranjang yg ada di kamarnya tiba-tiba anak itu dikejutkan dengan suara seperti benda jatuh, suaranya sendiri keras sekali sampai membuat tubuhnya seketika bangkit dari tempatnya.
jantung berdegup kencang, Riski benar-benar yakin kalau dia baru saja mendengar suara benda jatuh itu, ia pun menyenggol badan Koco berusaha membangunkannya agar dia ikut memeriksanya.

Koco hanya menggeliat sambil berkata kepadanya. “turuo su, mene munggah!!” (tidurlah njing,
-besok kita naik!!)

“diluk Co, he, tangi!! tangi o, aku krungu suoro!!” (sebentar Co, he, bangun!! bangun!! aku tadi dengar suara!!)

tapi Koco tak menghiraukannya dan mengatakan, “halah wes ta lah turu o” (halah sudah lah tidur sana!!)
karena kesal Riski menjambak rambut Koco dan membuat anak itu seketika membuka kedua matanya dengan wajah yg dongkol Koco berkata, “LAPO SEH BLOK!!” (NGAPAIN SIH BLOK!!)

Riski kemudian menjelaskan kalau tadi dia mendengar suara benda jatuh, keras sekali,
dia pikir mungkin ada yg gak beres.
Koco sebenarnya sudah mengatakan kepada Riski untuk tidak perlu terlalu memikirkan hal seperti itu, dia bilang kalau yg Riski dengar mungkin saja cuma krunguen, suara yg sebenarnya tidak ada, tapi belum selesai Koco bicara tiba-tiba suara benda jatuh itu terdengar kembali..
“JANCOK OPO IKU MAU” (JANCOK APA ITU TADI)

Koco kemudian melihat Riski, kali wajahnya nampak pucat, “iku sing mau marai aku tangi.. kowe krungu pisan kan?” (itu tadi yg membuat aku ikut bangun.. kamu dengar juga kan?)

Koco mengangguk, Riski kemudian melangkah turun diikuti Koco
Riski berjalan mengendap-endap di dalam rumah mbah Kung bersama dengan Koco, rumah mbah Kung ini besar tapi masih berlantaikan tanah, mereka melihat keluar kamar dimana seluruh ruangan dalam keadaan sunyi senyap, tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua.
tak lama kemudian lagi-lagi terdengar suara benda jatuh itu, kali ini lebih keras dari sebelumnya, penasaran dengan asal muasal suara, Riski kemudian melangkah sembari diikuti oleh Koco yg ada dibelakangnya, mereka mencari-cari asal suara itu sampai tertuju pada salah satu kamar,
Koco sempat mengingatkan Riski, “he, ra usah lah ndelok ngene iki, ra sopan, mbalik ae nang kamar” (he, gak usah lah lihat yg beginian, tidak sopan, kembali saja ya ke kamar)

tapi Riski sudah kepalang penasaran, ia melihat pintu yg di cat dengan warna hijau tua itu,
tak lama kemudian, dia mendorongnya pelan, di dalam sana, Riski mendengar suara-suara lain selain suara benda jatuh ada suara seperti anak-anak sedang bermain.

orang normal tentu saja berpikir, bagaimana mungkin di jam selarut ini masih ada anak-anak yg terbangun.
Riski bersama dengan Koco kemudian mengintip dari celah pintu yg terbuka, di dalam sana dia melihat ada anak-anak perempuan kecil, rambutnya panjang sampai sepunggung sedang berlari-larian di dalam kamar, mereka semua mengenakan pakaian berwarna putih.
Riski dan Koco tentu saja bingung, bukankah mbah Kung tinggal sendirian di rumah ini bersama dengan Mas Arman sopir jeep yg sudah mengantar mereka, lalu siapa anak-anak kecil ini?

apa mereka cucu-cucu mbah Kung. pikir Riski waktu itu.
tapi pemandangan ini belum menjawab dari mana suara benda jatuh itu datang, jadi sewaktu Riski dan Koco sedang memandangi anak-anak yg berlarian itu tiba-tiba terdengar suara sekali tepuk tangan “Clap!!” dan anak-anak perempuan itu kemudian berlarian menuju ke satu lemari tua.
lemari tua ini dibuat dari kayu jati, anak-anak perempuan itu kemudian mengerumuni lemari dan mengangkat tangannya yg mungil keatas seperti orang yg menunggu buah jatuh dari pohon, maka Riski dan Koco kemudian mengedarkan pandangan melihat keatas..
rupanya.. di atas lemari ada seorang wanita yg rambutnya panjang sedang menunduk melihat kebawah, wanita itu sedang dalam posisi orang yg seperti merangkak, anak-anak perempuan itu tertawa-tawa masih mengadahkan kedua tangannya, dan suara itu akhirnya terjawab saat Riski dan Koco
-melihat kepala wanita yg ada di atas lemari jatuh dan menghantam tanah, menimbulkan suara berdebam yg keras, sontak Riski dan Koco terdiam seketika, terutama saat tawa anak-anak itu tiba-tiba lenyap dan melihat kearah Riski dan Koco yg sedang mengintip.
iya, anak-anak perempuan itu melihat Riski dan Koco, tapi sialnya, anak-anak kecil itu satu pun tidak ada yg memiliki wajah, termasuk sepotong kepala yg ada ditangannya.

Riski seketika membanting pintu itu kemudian berlari bersama dengan Koco, mereka cepat-cepat menuju ke kamar
“Opo iku mau!!” (apa itu tadi!!) ujar Riski yg benar-benar merasa ketakutan, Koco masih berdiri di depan pintu seperti sedang menahannya, Riski hanya bisa duduk sambil mengusap-usap wajahnya, setelah ia cukup tenang, Riski melihat kearah Koco, “lapo kowe iku, mrinio loh”
(kamu ngapain di situ, kesini loh?)

tapi Koco bergeming dari tempatnya, ia masih diam mematung seperti orang yg melamun, Riski pun berdiri mendekati Koco, “lapo seh mbut ken iki” (kenapa sih mbut kamu ini)

Koco masih diam.
saat itu lah Riski melihat ke tempat Koco sedang melihat dan di sana, Riski menemukan ada seorang wanita yg tadi sedang duduk dan menyisir rambut panjangnya menggunakan jemari tangannya.

Riski seketika terdiam tidak dapat bergerak.
“mas, kowe mbesok munggah nggih?” (mas, kamu besok mau naik ya?) kata wanita itu, meski pun tak memiliki wajah, suara itu seperti keluar dari dirinya, tidak hanya itu saja, suaranya terdengar begitu lembut dan halus.

Riski tidak menjawab, Koco juga sama saja.
“nang nduwur iku nggone sing jahat-jahat loh, nek aku dadi kowe, aku nang kene ae, enakan ambek aku mas, aku ra bakal sampe narik sukma mu koyok kae” ( di atas itu tempat yg paling jahat-jahat loh, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih di sini saja, enak sama aku mas, aku tidak-
-akan sampai mencabut sukmamu seperti apa yg mereka lakukan)

wanita itu masih menyisir rambutnya. rambutnya panjang sekali hingga menyentuh ke tanah.
ditengah-tengah ketakutan itu, Riski melihat wanita itu kemudian berdiri, ia menutupi wajahnya dengan rambutnya yg panjang.

“mrene, nang kene ae yo mbek aku” (kesini, di sini saja ya sama aku)

Riski menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak, sembari tubuhnya menyenggol-
-Koco yg ada disampingnya, niat Riski adalah pergi dengan Koco dari kamar ini, tapi aneh, Koco masih diam seperti orang yg benar-benar kosong.

“he su, su!! sadar!! sadar!!” (he njing, njing!! sadar!! sadar!!
wanita itu kemudian mendekat.. angin seperti bertiup membuat tubuh Riski terasa dingin, ia pun menyenggol Koco lebih keras dengan bahunya dan saat itu lah, Riski melihat kepala Koco jatuh dan menghantam ke tanah.
pagi harinya, Riski dibangunkan Koco dengan cara menepuk pipinya, “tanggi ndul, turu koyo mayit, setan!! tangi!! gur adus ndang sat set ngunu loh, bujangan tapi tangi awan”(bangun ndull, tidur kaya mayit, Setan!! bangun!! cepat mandi trus pergi gitu loh, bujang tapi bangun siang)
Riski melihat Koco sudah rapi, baju dan perlengkapan mendaki juga sudah siap semuanya.

Riski menahan sakit di kepalanya setelah semalam dia merasa kalau benar-benar melihat hantu wanita yg menghuni rumah mbah Kung, dia pun pergi ke kamar mandi, bersiap seperti yg lain.
setelah semua perlengkapan dan persedian sudah selesai, Riski kemudian menyusul yg lain, di luar rumah, Koco, Lika, Prio, Puteri dan Andris sudah menunggu Riski, mereka memang sengaja akan mulai mendaki saat matahari sejajar di atas kepala, maka mereka pun bersiap bersama, tapi..
Mbah Kung yg sedang duduk di teras depan rumah sembari menyesap tembakau memanggil Riski, beliau kemudian bertanya, “wes ketemu demit e omah iki, yo opo, awakmu jek nekat kate melok?” (sudah ketemu sama hantunya rumah ini, gimana, kamu masih mau nekat ikut?)

Riski melihat Lika.
“nggih mbah, saya akan ikut”

mbah Kung kemudian mengangguk, “yawes, sing mok temoni mambengi iku gak onok opo-opone karo sing gok nduwur, ati-ati bahkan ambek kancamu dewe? yo” (yasudah, yg kamu lihat semalam itu masih gak ada apa-apanya sama yg ada di atas, hati-hati bahkan-
-sama temanmu sendiri? ya)

Riski mengangguk, siang itu, mereka berenam memulai jalan mereka untuk mulai mendaki menuju ke pos pertama.
Riski yg notabennya belum pernah satu kali pun naik ke gunung tentu saja merasakan perasaan yg campur aduk, dilain hal ini adalah pengalaman pertamanya tapi sekaligus pengalam yg bisa membahayakan, satu hal yg tidak dia pahami, kenapa dia sampai seperti ini pada satu wanita saja.
apalagi wanita ini belum terlalu lama dia kenali, tapi seolah Riski mau melakukan apa pun untuk Lika yg memang memiliki paras cantik yg tidak biasa bahkan Riski bercerita jika Lika memiliki kecantikan yg tidak bisa dia gambarkan, dia jauh di atas kecantikan banyak wanita.
pada pendakian pertama ini Riski banyak sekali melihat pohon, ia benar-benar merasakan suasana yg baru, pantas banyak orang memilih gunung untuk menenangkan diri, rupanya ini lah perasaan para pendaki-pendaki yg sering Riski dengar dari komplotan teman-teman Koco.
tanpa Riski sadari bahkan ia sempat tersenyum sendirian, hal ini rupanya disadari oleh Koco, dia menyenggol Riski lalu berujar, “Piyeeee, enaaak too munggah gunung? kandani ket biyen, kowe nek melu tak jak nang puncak mahameru?” (gimanaaa? enaaak ya naik gunung? sudah kubilang-
-dari dulu, kamu kalau mau naik sudah ku ajak ke puncak mahameru?)

Riski tidak menjawab godaan Koco, semua orang di dalam rombongan hanya melirik Riski, karena tidak terlalu akrab jadi jarak mereka terpaut satu sama lain, kecuali Lika, ia sempat menahan senyum,
satu hal yg membuat jantung Riski berdegup semakin cepat, sungguh, Lika ini mungkin gambaran dari bidadari yg sering orang-orang bilang saat bermimpi.
awalnya, masih tidak ada yg terjadi, Riski juga bisa menempuh pendakian dengan normal, ia bahkan sempat mempertanyakan dimana kesulitan saat pendakian seperti apa yg orang-orang pernah katakan, nyatanya baik fisik atau pun mental, Riski masih terlihat baik-baik saja.
tapi, semua baru terjawab saat kurang lebih sudah satu setengah jam mereka bergerak terus naik ditambah tanah yang mereka daki mulai tidak rata, terkadang mereka jg harus menggunakan otot kaki lebih kuat untuk menanjak dan terkadang Riski harus menahan bobot tubuh serta beban yg-
-dia bawa dipunggungnya.

Riski mulai menghela nafas lebih sering bahkan beberapa kali pijakannya terasa goyah, hal ini disadari tidak hanya oleh Koco tapi oleh yg lain, Priyo sebagai orang yg paling tua kemudian berujar, “istirahat sek ya”

mendengar itu Lika nampak tidak senang
tapi tidak ada yg protes kecuali Riski, ia merasa tidak enak sehingga sempat berkata kalau lebih baik lanjut saja lagipula pos 1 masih cukup jauh dari tempat ini.

Koco yg melihat kondisi Riski menggampar pipi bocah itu, “Goblok, jalok semaput kowe, tambah repot kabeh engkok,-
wes ngasuh sek” (bodoh!! kamu mau pingsan, tambah semuanya nanti kerepotan, sudah istirahat dulu)

Koco bahkan memijat kaki Riski sambil berujar, “munggah gunung susah to, mangkane tak kongkon mlayu-mlayu sek kowe” (naik gunung susah kan, makanya tak suruh lar-lari dulu kamu itu)
Riski tidak bisa apa-apa selain menurut, di situ, Priyo dan Lika sempat berbicara berdua, sementara Puteri dan Andris ikut mengajak Riski ngobrol, hal ini mereka lakukan agar Riski tidak membawa pikiran negatif saat naik, membawa rasa bersalah ketika pendakian itu tidak enak.
di sinilah Riski baru tau kalau Puteri rupanya juga sering melakukan pendakian, dia bahkan jauh di atas Koco, ia pernah sampai keluar pulau hanya untuk mengkoleksi gunung mana saja yg sudah pernah dia jelajahi, dia bilang perempuan punya batas kebebasan yaitu saat sudah menikah.
Andris juga sama seperti Puteri hanya saja dia masih memiliki batasan, dia tidak senekat dan seketagihan seperti Puteri, berbicara dengan dua orang ini memberikan Riski waktu yg cukup untuk istirahat sehingga pendakian akhirnya dimulai lagi.
langit yg sebelumnya cerah tiba-tiba bisa berubah dalam hitungan jam, dari cerah menjadi mendung tebal, Riski bertanya kepada Koco berapa lama lagi mereka sampai di pos 1, Koco mengatakan jika mereka akan sampai di pos 1 kurang lebih setengah jam lagi. Riski bernafas lega.
tapi ada sesuatu yg membuat Riski merasa tiba-tiba awas, seolah ada yg sedang mengamatinya dari tempat yg jauh, anehnya hanya Riski seorang yg merasakan perasaan ini, ia ingin mengatakan hal ini kepada yg lain tapi Riski takut kalau mereka nanti akan berpikir yg tidak-tidak.
Priyo dan Lika yg berjalan paling depan kemudian berhenti, mereka melihat dua jalur yg sudah dibuka, Lika yg sebelumnya sudah pernah mendaki gunung ini tiga kali tiba-tiba melihat jalan itu dengan ekspresi bingung.

ia beberapa kali menggelengkan kepalanya seolah berpikir.
tapi anehnya, Riski seperti tau tempat ini, bukan tau lebih ke kalau dia pernah melewati jalan ini, di dalam kepalanya berputar ingatan de ja vu yg membuat Riski terus melihat jalur yg sebelah kiri, hanya saja Riski lebih memilih diam.

Lika kemudian menunjuk jalur yg kanan.
mereka pun bergerak bersama, langit semakin gelap dan udara turun dengan begitu cepat membuat Riski dan yg lain semakin merapatkan tangan berharap hal itu bisa menghangatkan tubuhnya, di sini sebenarnya baik Priyo dan Puteri sudah merasakan gelagat tidak nyaman.
Puteri bahkan berbicara terang-terangan untuk berhenti sebentar dan beristirahat lagi, di sini Koco sempat protes karena baru pos 1 saja mereka sudah menghabiskan waktu yg tidak perlu tapi Puteri memaksa bahkan dia melotot seolah wajah Puteri yg sebelumnya ramah hilang sudah.
Riski pun berusaha menenangkan Koco, ia cukup kaget rupanya benar yg orang bilang, di gunung orang benar-benar bisa berubah, Lika berdiri paling jauh, ia menatap lurus kearah jurang, sementara Puteri, Priyo dan Andris seperti sedang membicarakan sesuatu, tak lama kemudian-
-mereka bertiga pergi, berjalan menjauh sampai Riski dan Koco serta Lika tidak bisa lagi melihat kemana mereka pergi. hal ini benar-benar terasa mencurigakan.

Riski sendiri masih merasa waspada, jantungnya tidak bisa berhenti bergerak cepat, hingga tanpa sadar tubuhnya merinding
Riski berdiri, tubuhnya benar-benar merasa menggigil tiba-tiba, Lika kemudian memperhatikan dirinya dari jauh tapi Riski memilih menghindar, Koco sendiri juga nampak bingung dengan sikap Riski yg tiba-tiba menjauh dari dirinya, di dekat pohon di sisi jurang yg lain, Riski lalu-
-melihatnya, dia melihat sosok wanita tua, nenek-nenek sedang membawa kayu dengan kain jarik, anehnya, wanita tua itu menyeringai dan bersembunyi dibalik pohon tunggal, Riski tentu saja merasa janggal dengan situasi ini, untuk apa dia bersembunyi kalau Riski bisa melihatnya.
Riski termangu cukup lama, wajah nenek-nenek ini sedikit janggal dengan tempurung kepala yg lain seperti orang yg menderita cacat pada bagian kepalanya.

dia menunjuk Riski dengan satu jarinya yg memiliki kuku hitam panjang seolah sedang berbicara dengan dirinya.
untungnya dalam sepersekian detik seseorang menepuk bahunya, itu adalah Priyo yg kemudian bertanya kenapa Riski ada di sini, Riski pun termangu, dia baru menyadari kalau semua orang sedang melihatnya.

“bos, ojok mlaku dewe-dewe yo, bahaya” kata Priyo yg kemudian melihat-
ketempat Riski sedang tertuju tapi anehnya sosok itu sudah lenyap begitu saja.

Riski ingin menceritakannya tapi tubuhnya keburu kedinginan, ia pun akhirnya mengurungkan niatnya, kemudian melanjutkan perjalanan.

Puteri kali ini yg memimpin sementara Lika dibelakang.
hanya dalam waktu setengah jam setelah Puteri mengambil alih mereka kemudian berhasil mencapai pos 1 tepat pukul 4 sore, di pos 1 yg rupanya terdapat satu bangunan yg kecil itu mereka kemudian berembung apakah harus melanjutkan apa tidak.
Koco memberitahu untuk ke pos 2 hanya membutuhkan waktu 2 jam, seharusnya tidak lama, dan di sana akan lebih baik daripada di sini apalagi kalau nanti turun hujan, Lika juga sependapat, hanya Andris yg seperti menolak karena firasatnya mengatakan tidak, semua kemudian diam-
mereka menunggu keputusan Riski.

sebenarnya jika melihat apa yg Riski sudah lihat, dia condong setuju dengan Andris, melihat langit juga semakin gelap apalagi dia sejak tadi mendengar seperti ada yg membisikinya di telinga. “cah wangikuuuu..”
tapi melihat Lika yg menatap Riski terus menerus, anak itu kemudian berkata kalau dia setuju dan lebih baik pendakian berhenti di pos kedua.

Andris pun akhirnya mengalah, mereka melanjutkan perjalanan saat hujan rintik-rintik mulai perlahan turun.

apa pun demi Lika.
di sini Riski kemudian baru mengingat sesuatu, bukankah seharusnya kalau sedang mendaki gunung setidaknya ada satu orang poter yg bertugas membimbing mereka atau setidaknya menjaga mereka dari hal-hal yg mungkin tidak diinginkan.
Priyo kemudian menjawab, “Iya, nanti.. di pos keempat ada satu poter yg sudah menunggu mereka, di sana juga pendakian utamanya di mulai”

anehnya, selepas Priyo mengatakan itu dia bisa melihat sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yg tidak menyenangkan.
karena hujan rintik sedang turun menyulitkan pendakian ini apalagi bagi Riski yg benar-benar buta teknik tidak seperti yg lain, mereka bisa tahu mana tanah yg bisa dilewati mau pun tanah yg membuat mereka tergelincir, Koco bahkan memberitahu, “gawe o irung gawe ndelok lemah sing-
-garing. ojok moto!!” (pakai hidung untuk melihat tanah yg kering jangan pakai mata!!)

meski pun Riski tidak mengerti, ia ditempatkan ditengah rombongan, jadi beberapa kali Koco dan Andris membantu secara bergantian saat tanah yg harus mereka lewati semakin curam.
mereka baru berhenti ditengah-tengah pendakian, tanpa terasa hari mulai semakin gelap, Riski menghela nafas semakin sering, belum pernah rasanya dia sampai selelah ini.

Riski meminum air bersama Koco dan lagi-lagi dia melihat Priyo dan tiga orang yg lain sedang berbicara serius.
mereka seperti sengaja menjauhi dirinya bersama Koco, hal ini tentu saja membuat Riski mulai jengkel sebenarnya apa yg sedang mereka lakukan, bukankah mereka mendaki bersama, seharusnya tidak perlu ada rahasia diantara mereka, anehnya Koco yg biasa sensitif dengan hal ini,
nampak tidak perduli, Koco bahkan memberi wejengan Riski kalau hal seperti ini biasa, orang-orang melakukan itu untuk menentukan siapa yg memimpin, dan Koco mau pun Riski pasti mereka anggap sebagai anak bawang.
Riski yg tidak tahan kemudian mendekat, mereka bergerombol sedang membicarakan sesuatu dibalik pohon besar, di sana langkah Riski kemudian terhenti saat dari tempatnya sedang berdiri dia bisa mendengar Pryo sedang berbicara. “pos 1 sampe pos 2, omahe nyai kan?”
“Nyai?” batin Riski, ia tidak mengerti siapa yg dimaksud oleh nyai ini.

Andris kemudian berkata, “pos 1 sampai pos 3 , nyai biasanya bisa naik sampai situ”

Puteri kemudian ikut berbicara, “Kampung e nang ndi?”

“Pos 4 paling” jawab Lika, mereka semua terdengar serius..
“kampung, nyai?”

ketika Riski sedang menguping, tiba-tiba suara itu seperti kembali, “cah sing wangi.. nggone sopo” (anak yg wangi, punyanya siapa)

Riski hanya diam, sekujur tubuhnya semakin menggigil, entah karena hujan atau karena suara ini.
tapi Riski kemudian berusaha melawan dirinya, ia kemudian bisa mengendalikan tubuhnya tapi sialnya Priyo dan yg lain memergokinya, “kowe lapo nang kene?” (kamu ngapain di sini?)

Riski tidak bisa menjawab,

Puteri kemudian melindungi Riski, “wes-wes, gak popo, gak popo”
akhirnya Priyo meninggalkan Riski menuju ke tempat Koco, Andris hanya diam, sorot matanya nampak bersimpati, sementara Lika, dia tidak melihat Riski sama sekali, hanya Puteri yg sejak tadi ada untuknya

“ayo siap-siap, diluk engkas sampe” (ayo siap-siap, sedikit lagi sampe)
Riski kali ini ditempatkan dibelakang Priyo, ditengah-tengah perjalanan yg semakin sulit ini, Riski masih mendengar suara itu, suaranya tipis seperti suara mbah-mbah tua tapi ada suara tertawa dibalik bisikan itu, beberapa kali Riski melihat ke orang lain tapi tidak ada yg merasa
semakin mereka bergerak maju rasanya semakin jauh ke tempat yg mereka tuju, baik Koco dan yg lain mulai merasa letih, Puteri bahkan menggelengkan kepala setiap kali Lika melihatnya seperti mereka sedang menjalin komunikasi

Priyo meminta berhenti lagi, kali ini kabut mulai turun
hujan masih rintik-rintik, Riski kemudian untuk kali pertama mengatakannya, “mas kaya e salah dalan” (mas sepertinya salah jalan)

Priyo sontak bingung, salah jalan? mana mungkin, tempat ini hanya memiliki satu jalur.

Lika pun mendekat, “kok iso ngomong ngunu?”
“kok bisa kamu ngomong gitu?”

Riski kemudian menunjuk pohon yg besar, “nang kunu, dalane sak walike uwit iku” (di situ, jalannya selepas melewati pohon yg itu)

Priyo dan yg lain saling menatap satu sama lain, bahkan Koco hanya memandang Riski janggal.
Koco yg melihat pohon itu kemudian mendekati Riski sebelum menampar pelan pipinya, “kowe ngelindur ta blok? lak podo ae seh dalane wong kene wes mari ngeliwati wet iku, moso kudu mbalik?” (kamu ngelidur ya blok? bukannya sama saja jalannya, ornag kita sudah melewatinya tadi,
-masa kita harus kembali?)

Riski bingung menjelaskannya, intinya mereka harus kembali tapi dari sisi kiri pohonnya bukan dari kanan seperti tadi.

Puteri nampaknya yg mengerti maksud Riski, dia kemudian meminta yg lain melakukannya meski terasa konyol.
semua orang kembali, setelah mereka berada di balik pohon besar yg menyerupai trambesi, Riski yg memimpin jalan melewati jalur kiri, mereka pun melangkah bersama-sama, Riski sempat melirik Lika yg sekarang nampaknya mulai tertarik dengan Riski, persetan, dia hanya mau wanita ini.
tapi seperti yg Koco katakan, jalannya sama saja, “bangsat!! podo ae blok!!” katanya, tapi Riski belum berhenti berjalan, dia memutar sekali lagi yg otomatis membuat yg lain tambah bingung, “loh loh kowe kate balik maneh ta?” (loh loh kamu mau balik lagi ta?)

tapi Riski tetap-
-melanjutkan langkahnya, baru lah setelah itu mereka semua tidak bisa berkata apa-apa lagi, saat memutar seharusnya mereka sampai di posisi semula sebelum melewati pohon tapi nyatanya jalan ketika Riski mengitari pohon ini, jalan itu berubah.

Riski menemukan jalan ke pos 2
Riski kemudian menoleh ke orang-orang, Koco akhirnya menyadari ada yg aneh dengan pendakian ini.

kemudian tiba-tiba, Riski mencium bau busuk yg sangat menyengat, bau ini sungguh bau paling busuk sampai Riski memuntahkan isi perutnya, Priyo dan yg lain seketika mendekat.
Lika ikut mendekat tapi Riski semakin mencium bau busuk itu, dia pun melihat Lika, tidak salah lagi aroma ini, aroma ini berasal dari tas yg Lika bawa.

“kowe nggowo opo? kowe nggowo opo!!!!!” (kamu bawa apa?? kamu bawa apa!!!!)

Riski melangkah mundur.
Koco tentu saja membantu Riski menjauhkannya dengan Lika, “Piyeee piyeee piyeee?” (ada apaaa ada apaa ada apaaa ini??)

Lika berusaha memberi gestur agar Riski tenang, tapi Riski terus mendorong agar Rika memberitahu apa yg dia bawa..

Lika kemudian melihat Puteri dan Priyo,
mereka berdua mengangguk seolah mengatakan biarkan Riski melihat isinya, gak usah ada yg ditutupi lagi..

Lika pun mengangguk, mencondongkan tas miliknya kearah Riski yg direbut oleh Koco,

Koco kemudian memberikan tas itu kepada Riski, anak laki-laki itu pun membukanya.
di dalam tas itu bersama dengan Koco Riski mengambil sesuatu yg ada di dalamnya, semburan aroma busuk membuat Riski memalingkan wajahnya, saat benda itu terangkat dan Koco juga melihatnya, Riski tersentak dari tempatnya, dia langsung melemparkan benda itu..

kepala perempuan.
tapi anehnya Koco hanya melihat potongan kepala itu dengan wajah yg biasa saja, justru Koco merasa aneh melihat Riski yg melompat mundur sambil menunjuk potongan kepala itu, Puteri, Priyo dan yg lain saling memandang satu sama lain.

“kowe nyapo?” ujar Koco,

“ndas e sopo kui??”
“ndas opo?? ndi??” teriak Koco bingung,

iku iku iku!!! iku setaan!! goblok!!” Riski terus menunjuk tapi Koco semakin bingung, dia melihat ke tanah mencari-cari tempat yg ditunjuk oleh Riski.

“Ikuuu, ndas e cah wedok!!! aduh!! mati kui cah e” teriak Riski,
Riski kemudian melihat Lika yg juga nampak bingung saat itu lah dibelakang Andris dia melihat nenek tua menyeringai dari bahu anak laki-laki itu sambil berkata kepadanya, “Cah wangiiii… wes onok sing nduwe.. melu si mbah yok, ojok munggah maneh, ning nduwur bahaya”
(anak yg wangiii….. sudah ada yg punya.. ikut si mbah yuk, jangan naik lagi, di atas bahaya!!)

wanita tua itu kemudian menempelkan jari yg berkuku panjang hitam itu ke mulutnya, ia berjalan dibelakang Priyo dan yg lain. Riski pun kemudian berlari pergi dari tempat itu.
Image
Riski berlari, kakinya menapak di atas tanah basah, di depannya sudah menunggu rimbun semak belukar dengan tanah lapang lengkap dengan banyak pohon-pohon hutan, waktu itu Riski tidak berpikir jauh kalau bisa saja dia menerobos kearah jurang, baginya saat itu dia harus pergi..
Riski pun sama sekali tidak menengok kebelakang, baginya kepala anak perempuan itu sudah terbayang-bayang di dalam kepalanya.

Riski masih bisa mengingat dengan jelas kalau potongan kepala itu dalam kondisi mata terbuka, hal ini yg membuat Riski tentrum dan memilih berlari saja.
sejengkal demi sejengkal, kaki Riski berlari naik turun tanah gunung yg memang tidak rata, yg dia ingat saat itu, hujan masih turun dan semakin lama semakin deras, tidak hanya itu saja, suhu udara juga bertambah dingin, tapi Riski terobos saja semuanya, dia bahkan lupa..
alasan kenapa datang ke tempat ini, saat Riski baru sadar sesaat kemudian, dia baru berhenti di bawah pohon besar dengan akar-nya yg menjulang ke tanah, Riski kemudian menghelas nafas, dia baru ingat kalau dia baru saja meninggalkan kawan-kawannya,
sontak bocah malang itu melihat kesana kemari, dia sudah tidak tahu sejauh apa meninggalkan Koco, Lika dan yg lainnya, Riski kemudian berniat untuk kembali sebelum dia menyadari kalau di atas akar-akar yg menjulang itu, Riski tidak sedang sendirian..
jadi Riski sempat mencium aroma yg familiar tapi karena hujan sedang turun dan tanah dalam kondisi basah sehingga mengaburkan aroma nya tapi sejelan waktu bergulir Riski sadar, dia menciumnya dan melihat keatas tempat akar-akar pohon itu tumbuh tidak beraturan, di sana..
Riski melihat tujuh sampai sembilan Pocong sedang duduk, ada satu yg bergelantung dalam posisi wajahnya melihat ke tempat Riski yg kemudian diikuti satu pocong jatuh dan menghantam tanah, “gedebuk!!!!” Riski termangu, wajah pocong ini seperti daging dicacah halus..
tidak butuh waktu lama bagi Riski yg kemudian berlari menjauh dari pohon itu, kakinya bergerak sesukanya menembus semak belukar yg ada dihadapannya, saat itu Riski tahu kalau makhluk itu semuanya sedang melihat kearah Riski, untungnya sekumpulan pocong itu hanya melihatnya saja..
belum berhenti di sana, saat Riski sedang menapaki tanah naik yg mulai berlumpur, Riski terpeleset jatuh dengan kepala bagian belakang menghantam tanah lebih dulu, rasanya.. sakit sekali, sampai membuat Riski menggeliat, untungnya makhluk itu tidak mengejarnya, Riski pun bangun..
dengan badan terseok-seok, Riski membuka isi tas-nya, niat hati dia mau mengambil senter tapi tak berselang lama Riski lagi-lagi merasa diawasi oleh sesuatu yg sedang beruit-suit, Riski tentu sadar, apa mungkin jika itu kawan-kawannya yg sedang mencarinya..
dengan senter yg ada di tangan Riski kemudian melihat pemandangan seperti kebun yg dipenuhi dengan pohon karet, hal ini terlihat dari guratan pada badan pohon.

Riski pun berjalan masuk kesana, dimana jarak antar pohon tidak terlalu jauh dengan kabut yg menyelimutinya..
semakin masuk, suara suit atau siulan itu semakin terdengar, Riski tentu berteriak untuk menunjukkan posisinya sambil mengarahkan senter keatas berharap ada yg bisa melihat dan menemukannya..

kabut semakin tebal dan udara semakin dingin, tapi Riski tak kunjung bertemu siapa pun.
tapi semakin kedalam jarak antar pohon semakin renggang, hal ini mungkin terdengar sederhana tapi rasa-rasanya Riski mulai merasa ada yg janggal dari tempat ini dan saat itu lah suara siulan itu lenyap sudah berganti menjadi suara tertawa yg pernah Riski dengar

si nenek kembali.
kabut yg seperti asap putih kalau terkena sinar bulan seperti menunjukkan bayang wanita tua berambut panjang keriting berjalan dengan punggung bungkuk melewati satu pohon ke pohon lain, kemudian lenyap saat Riski melihatnya dan seiring waktu dia muncul diiringi suara mengikiknya.
Riski sadar dia terancam, tapi kabur dari tempat ini bukan perkara mudah, dia paham kalau memang tidak ada jalan buat dirinya kecuali Riski mengikuti kemana suara itu membawanya..

di atas batu diujung jalan kebun pohon karet, Riski melihatnya, sedang duduk membelakangi..
saat jarak mereka terpaut beberapa langkah Riski ingat kalau dikeadaan sesulit apa pun dia kudu berdoa pada tuhan, maka bersiap Riski membacanya tapi belum juga doa terucap dari bibirnya, sosok didepannya berbicara
“ra perlu dungo nek jero atimu ra yakin le ngente-ngentei waktu”
(gak perlu berdoa kalau dalam hatimu gak yakin, membuang-buang waktu saja)

suaranya persis seperti suara nenek-nenek pada umumnya, sosok itu tidak berbalik dia masih duduk membelakangi Riski,

“kowe ijen yo, opo tujuanmu mrene le?? golek opo?”
(kamu sendiri ya, apa tujuanmu kesini nak? mencari apa??)

Riski tidak berani bicara, bagaimana pun sosok yg ada didepannya ini bukan manusia, hanya saja entah kenapa Riski merinding sewaktu didekatnya.

“kih kih kih.. ra usah wedi, aku nek kepingin nyelokoi, wes tak duglang”
(kih kih kih.. tidak usah takut, aku kalau mau mencelakai, sudah ku tendang kejurang)

Riski masih berdiri, giginya gemeletak seperti orang kedinginan, atau mungkin hal itu karena dia berada di fase paling takut.
“kulo bade manggah kale rencang-rencang kulo mbah” (saya mau naik keatas sama teman-teman saya mbah) belum selesai Riski bicara, sosok didepannya berteriak kepadanya.

“GAK USAH MBOJOK CAH CILIK!! OPO TUJUANMU MRENE!!!”
“saestu mbah, ra wani kulo mbujuki njenengan” (sumpah mbah, mana berani saya membohongi anda)

“ngunu a. kih kih kih. mrene lek ngunu, nyidek.” (begitu ya, kih kih kih, kesini kalau begitu, mendekat)

Riski menurut, dia berjalan setapak demi setapak, aroma tubuhnya wangi kemboja.
nenek itu memanggil, melambai-lambaikan satu tangannya kearah Riski tapi anehnya dia masih tetap dalam posisi membelakangi Riski.

saat Riski mendekat pun dia sempat melihat sebagian wajahnya yg menghadap kedepan, dia tidak mengerti alasan kenapa sosok ini memanggilnya mendekat.
Riski hanya berani berdiri dibelakang punggungnya, ia menghindari wajahnya, saat itu sosok itu memintanya mendekat lagi, “maneh, nyidek le..” “nyidek maneh..” (lagi, mendekat nak..) (mendekat lagi)

sampai Riski bisa mencium wangi aroma kamboja yg sangat kuat.
“demoken sirah si mbah, ben kowe ngerti, si mbah wangine wangi kembang opo?” (sentuh kepalanya si mbah, biar kamu ngerti, si mbah aromanya aroma kembang apa?)

Riski diam saja saat sosok itu mengatakan hal itu, kemudian sosok itu berteriak lagi, “DEMOKEN!!” (SENTUH!! CEPAT!!)
Riski akhirnya menurut, perlahan kedua tangannya menyentuh bagian sisi kepalanya yg berarti rambut bagian belakang nenek-nenek itu, ada tonjolan aneh pada tempurung kepala sosok yg ada dihadapannya ini bahkan ada beberapa lubang yg janggal, tapi anehnya aromanya semakin wangi.
Riski yg meraba bagian tempurung kepalanya kemudian menyisir rambut putih itu karena Riski merasa hal ini terasa semakin aneh dan sewaktu Riski berhasil membiak rambut nenek tua itu, Riski melihat rupanya dibalik rambut yg keriting panjang itu ada wajah lain menyeringai kepadanya
jadi yg sejak tadi bicara dengan Riski adalah bagian belakangnya, beliau kemudian mengatakan satu hal yg nampaknya Riski pahami, “tambah wangi tambah kuat, wangi gak mesti api le, tak duduhno dalan muleh, siji nggal siji sing nang kene wes sadar ambek ambumu..”
(semakin wangi semakin kuat, wangi tidak selalu baik nak, ku tunjukkan jalan pulang, satu persatu yg ada di sini mulai menyadari aroma tubuhmu..”

Riski mundur, dan secara bergantian wajah itu melihat Riski.

“melu si mbah yok, gendongen si mbah le” (ikut mbah yuk, gendong mbah)
“lapo le, kowe ragu? aku eroh dalan muleh” (kenapa nak, kamu ragu ya? aku tau loh jalan pulang)

Riski teringat kawannya yg lain, tapi nampaknya sosok yg ada didepannya pun tau, “kancamu niat e gak gawe munggah gunung le, niat e golek sing gok duwur, wedok sing wes di bojo karo.”
“(temanmu punya niat bukan untuk mendaki nak, niatnya mencari yg ada di atas, perempuan yg sudah diperisteri oleh..”

sosok itu tertawa semakin lebar, “wes melu ae karo si mbah, dalane nang kunu” (sudah ikut saja sama si mbah, jalannya ada di situ)

Riski melihat tempat berkabut
“nek kowe ra gelem, gak popo le, si mbah mek ngilingno kowe” (kalau gak mau gak papa nak, si mbah cuma mengingatkan kamu)

Riski berpikir sambil melihat jalan berkabut itu, karena bingung Riski kemudian bersimpuh dihadapan sosok itu, Riski berniat menggendongnya.

“kih kih kih..”
Riski pun menggendongnya, tubuhnya tidak seberat yg Riski awalnya pikirkan karena bagaimana pun Riski sadar ada di dataran yg tidak seimbang, tapi baru juga Riski mengangkat tubuhnya tepat dihadapannya Riski melihat Lika yg menatapnya dengan wajah gelisah

“kowe lapo?” tanya Lika
wajah Lika dipenuhi goresan luka, bahkan kulitnya lebih pucat dari biasanya, rambutnya yg diikat terkembang seolah menunjukkan kalau Lika sama berantakannya dengan kondisi Riski saat ini, apa anak ini mencari dia sampai sebegitunya.

anehnya Lika masih bertanya kepada Riski.
“KOWE IKI LAPO?? JAWABEN??” ( KAMU INI NGAPAIN?? JAWAB??)

Riski melihat nenek yg sedang dia gendong, wajahnya menyeringai lebar melihat Lika yg berdiri dihadapannya.
karena Riski tak kunjung menjawab, Lika kemudian berspekulasi, “kowe nggendong sopo??” (kamu sedang menggendong siapa?”

“Opo Nyai??” Lika mulai mengerti, “opo kowe nggendong nyai?? opo nyai nawari kowe dalan muleh??”

(apa kamu gendong nyai?? apa nyai menawari jalan pulang?)
Riski bingung apa Lika tidak bisa melihat si mbah seperti dia melihatnya.

“Ojok percoyo, ojok percoyo omongane, percoyo ambek aku!! kowe bakal digowo muleh, dukno nyai sak iki!!” (jangan percata, jangan percaya apa yg dia katakan, percaya sama aku!! kamu akan dibawa pergi,-
turunkan dia sekarang!!)

setelah Lika mengatakan itu, nenek yg Riski gendong memeluknya semakin erat dan mencium aroma badan Riski dari batang lehernya. Riski merinding tiba-tiba.

“padahal cah wedok iku kate gunakno kowe le?” (padahal perempuan ini yg mau memanfaatkanmu nak?)
Riski yg mendengar itu melihat Lika dengan ekspresi wajah yg berubah dan Lika menyadarinya, “ngomong opo nyai? ngomong nek aku ngapusi kowe?” (ngomong apa nyai? ngomong kalau aku membohongi kamu?)

Lika berniat mendekat, tapi Riski berjalan mundur,

“tenang, tenang!!” ujar Lika
“aku ra bakal menang karo demit, dadi sak iki terserah kowe, kowe ra bakal iso muleh tak pastino iku, nek kowe gak percoyo karo aku sak iki” (aku tidak akan menang sama setan, jadi terserah, kamu tidak akan pernah pulang, kalau kamu gak percaya sama aku sekarang) Lika masih diam.
mendengar itu Riski mulai goyah, “CAH GOBLOK! CAH WEDOK IKI IKU NDUWE TUJUAN TERSELUBUNG KARO KOWE LE!! OJOK NURUTI CANGKEME”

(ANAK GOBLOK! ANAK PEREMPUAN INI PUNYA MAKSUD DAN TUJUAN TERSELUBUNG SAMA KAMU NAK!! JANGAN MENURUTI MULUTNYA YG MANIS ITU)
terlalu lama menunggu Lika kemudian menurunkan tasnya, “nggih nyai njenengan menang, monggo njenengan gowo cah kui, tapi nyai.. bapak titip niki ten kulo?” (iya nyai kamu menang, silahkan bawa anak itu, tapi nyai.. bapak menitipkan ini kepada saya)

Lika mengambil sebuntal kain.
sebuntal kain kafan berwarna putih yg bernoda merah karena darah.

Lika membuka temalinya dan menunjukkannya di depan Riski, tumpukan gelenjar daging yg busuk sekali, aroma yg sama seperti aroma kepala yg Riski lihat ada di dalam tas Lika.

“niki, satus ari-ari’ne bayi”
(ini ada seratus ari-ari bayi baru lahir)

nenek yg ada dipunggung Riski sempat diam dan melotot, lidahnya terjulur keluar.. tapi tangannya memeluk Riski semakin erat, sosok itu nampak aneh.. “ra iso, ra cukup!! mek satus, ra gelem aku, kurang-kuraaaaaaang!!”

Lika menunggu Riski
Riski kemudian bicara dengan suara terbata-bata, “katanya kurang..”

Lika mengerti, wajahnya nampak kesal tapi dia kembali mengambil sesuatu dari dalam tas-nya, “rambut!! rambutku nyai.. piye, njenengan purun.. tapi ojok gowo Riski”
(rambut!! rambutku nyai.. gimana, anda mau?)
Nenek itu menyeringai semakin lebar sambil berujar, “rambut e cah perawan.. hem..”

Lika mengambil pisau dan memotong setengah bagian rambutnya sampai menyisahkan potongan sebahu, dia melemparkannya di atas ari-ari itu, Riski kemudian bersimpuh dan wanita itu merangkak turun.
Riski melihat nenek itu memasukkan gumpalan ari-ari yg bercampur rambut Lika ke dalam mulutnya, setiap dia mengunyahnya membuat Riski mual, ia baru menyadari sosok itu begitu rakus, Lika pun berbisik kepadanya, “ayo, liane wes ngenteni” (ayo, yang lain sudah menunggu kita)
Riski melihat Lika dari belakang, di dalam tasnya pasti masih banyak yg dia bawa, untuk apa benda-benda yg amis itu sebenarnya, tapi melihat potongan rambutnya yg tidak rata ternyata tidak mengurangi kecantikannya, Riski bahkan semakin tertarik dengan wanita ini.
setelah melewati pohon besar tempat Riski melihat pocong yg untungnya sekarang tak dia temui saat bersama Lika, subuh sepertinya mau tiba terlihat dari langit yg berwarna kebiruan, Lika berhasil sampai di pos kedua bersama dengan Riski, di sana dia melihat teman-teman yg lain.
Puteri yg pertama mendekat bertanya kepada Lika, “Nyai?”

Lika mengangguk melewati Puteri kemudian tidur di atas lantai pos kedua, Riski kemudian melihat Koco yg mendekatinya dengan wajah seperti ingin memukulinya, di situ Riski melihat ada yg aneh, wajah Koco babak belur.
tapi ternyata tak hanya Koco yg babak belur, baik Priyo dan Andris sama saja, Puteri kemudian memberitahu Riski kalau Koco berkelahi dengan Prio dan Andris saat Riski menghilang selama dua malam ini.

dari semua orang yg sudah kelelahan mencari hanya Koco dan Lika yg tetap lanjut
singkatnya, Riski sudah menghilang selama dua malam, semua persediaan tinggal menipis, dan satu lagi yg Riski perlu tau, Koco sudah tau semuanya.
sosok kepala yg Riski lihat itu sebenarnya hanya potongan rambut dari perempuan perawan yg belum seratus harinya yg diambil dari kuburannya.
kini biar Lika beristirahat, Riski juga begitu, saat matahari di atas kepala, di pos keempat di sana sudah ada yg siap menunggu mereka.
Pada tahun itu rokok masih menjadi barang yg sulit untuk didapatkan, pada umumnya orang-orang lebih suka membawa kertas linting lengkap dengan tembakaunya yg biasanya diletakkan dalam satu kotak kayu yang sama, seperti Andris dan Prio, mereka baru saja melinting rokok-
-kemudian menghisapnya tidak jauh dari pos kedua, Riski mencoba untuk tidur seperti Lika yg nampaknya sudah sampai dialam mimpi, sekujur badannya terasa sakit dan ngilu, mungkin karena lelah setelah mengalami kejadian janggal itu,
bertemu dengan sosok yang mereka panggil dengan nama Nyai, terkadang Riski juga merasa heran..

terkadang Riski juga merasa heran.. bagaimana mungkin dirinya sudah melewati dua malam padahal jelas-jelas dari waktu pelarian tidak lebih dari beberapa jam saja,
tapi kembali lagi ke’kepercayaan masing-masing, mungkin saja tanpa Riski sadari dia sudah masuk dan tersesat ke alam lain, tempat di mana yg ghaib benar-benar ada.
Tidak ada yg terjadi selama masa istirahat itu, siangnya ketika matahari sudah berada di atas kepala, Koco membangunkan Riski, dia menepuk-nepuk pipinya, dengan wajah setengah sadar Koco kemudian mengatakan,
“Ayok ayok!! Sak iki munggah maneh mumpung jek awan, target kene dino iki iku gok pos keempat” (ayok ayok!! Sekarang naik lagi mumpung masih siang, target kita hari ini sampai ke pos keempat)
Dengan gestur sedikit malas Riski kemudian bangkit dari tempatnya tidur, dia melihat semua orang sudah bersiap-siap, wajah mereka nampak santai seperti tidak ada yg terjadi kemarin, Riski pun kemudian berdiri dan melihat Lika sedang berbicara dengan Puteri,
rambutnya yg sekarang panjang sebahu nampak sudah dirapikan, mungkin Puteri yg melakukannya.

Riski pun mengangkat tas miliknya lalu memulai perjalanan naik bersama dengan yang lain.
Diperjalanan menuju pos ketiga yg kabarnya hanya ada satu tanah lapang untuk beristirahat membuat semua orang setuju jika target mereka hari ini adalah pos keempat, konon pos ketiga hanya gemah yg dibabat alas membuat Prio selaku orang yang memimpin menargetkan pos keempat.
Bahkan jika memungkinkan mereka mau langsung merangsek sampai pos kelima, tapi yg terpenting adalah kali ini mereka harus lebih waspada dari sebelumnya, tidak ada yang tahu kejadian apalagi yg sudah menunggu mereka.
Di sini Koco kemudian bertanya mengenai kejadian pada malam pertama, bagaimana bisa Riski melihat sepotong kepala perempuan padahal jelas-jelas yg dia ambil cuma sehelai rambut berwarna hitam, tapi kenapa bisa sampai seperti itu, sayangnya tidak ada yang mau menjawab pertanyaan-
itu kecuali Puteri yg kemudian berkata kalau yang sudah terjadi biarkan saja terjadi, tidak ada lagi yg perlu dibahas dari kejadian itu, ini hanya kesalahpahaman saja, Koco hanya diam sewaktu mendengarnya, meski pun di dalam hatinya dia tidak puas dengan jawaban tersebut-
-tapi Koco pada akhirnya memilih untuk mengalah, dia pergi sembari sempat melirik kearah Riski yg kemudian menundukkan kepalanya.
Tanpa mereka semua sadari, waktu berlalu begitu cepat, dari matahari yg ada di atas kepala terus bergerak turun dan mereka semua berhasil mencapai pos ketiga tanpa ada halangan yg berarti, pada pos ketiga mereka semua sempat beristirahat,
saat itu lagi-lagi tidak ada yg bisa memprediksi cuaca yg ada di atas gunung, langit yg sebelumnya cerah mulai berubah menjadi gelap, awan-awan mendung mulai berdatangan, merubah jalan pendakian ini menjadi lebih sulit lagi.
Pada sekitar pukul tiga lewat sepuluh menit, perjalanan kemudian dilanjutkan kembali. Hujan deras kemudian turun, semua pendaki sudah mengenakan mantel menutupi kepala mereka dari air hujan, Andris yang berada dibaris paling belakang kemudian berkata kepada yang lain, “sek sek!!”
(sebentar-sebentar) katanya sembari melihat kesekeliling, entah kenapa sejak tadi dia merasa kalau mendengar suara binatang yg meraung, Prio yg mendengar Andris kemudian turun dan mendekati anak itu, mereka berdua kompak diam sembari memasang pendengaran mereka masing-masing,
Riski yg juga ikut melakukan hal yg sama pun mulai merasa aneh, lagi-lagi bulukuduknya berdiri tanpa ada sebab yg jelas, tapi.. mereka semua hanya mendengar suara gemersak dedaunan yang dihantam oleh air hujan, tidak ada suara raung binatang seperti apa yang dikatakan oleh Andris
“jam piro sak iki?” (jam berapa sekarang?) tanya Prio tiba-tiba kepada yg lain, Puteri mengambil potongan arloji di dalam tas miliknya kemudian berkata kepada Prio, “jam telu liwat limolas” (jam tiga lewat lima belas menit) Prio nampak sedang berpikir sambil sesekali-
-dia menggedek-gedekkan kepalanya, “butuh pirang jam maneh gawe sampe nang pos keempat?” (butuh berapa lama lagi untuk bisa sampai ke pos keempat?)

Mendengar itu Lika kemudian menjawab, “nek lancar palingan butuh petang jam maneh” (kalau lancar harusnya butuh empat jam lagi?)
Prio mengangguk pertanda dia mengerti, kemudian dia meminta Andris berjalan didepan sementara Prio ada di baris belakang, tapi anehnya Prio mengatakan sesuatu yg mungkin akan terdengar sangat janggal bagi anak-anak yg lain.
“mari ki kene bakal ngelewati masa SOROP, nek iso mulai tekan kene ojok onok arek sing wani-wani noleh mburi? Ngerti!!” (sebentar lagi kita akan melewati masa PERALIHAN dari terang kegelap, kalau bisa mulai dari sini satu pun dari kita jangan ada yg melihat kebelakang? Mengerti)
Mendengar itu sontak wajah Lika nampak terkejut, dia menatap Prio sembari bergumam lirih kepadanya, “Njaweh onok nang kene?” (dia ada di sini?)
Prio kemudian membuka mantel dan menunjuk bagian leher, rupanya tidak hanya Riski saja yg merasakan perasaan tidak enak ini, tapi semua anak-anak yg mendaki sekujur tubuhnya merinding luar biasa. Bahkan Puteri yg ada pada barisan depan sempat menyentuh bagian belakang lehernya.
“Heee onok opo iki, sopo Njaweh iku?? Sopo sing dimaksud iki?” (Hee ada apa ini, siapa dia?? Siapa yang dimaksud ini??) tanya Koco, wajahnya nampak pucat.

Tapi nampaknya tidak ada yang memperdulikan pertanyaan Koco, justru semua orang malah tertuju pada Puteri yang berkata,
“Kok isok loh, sak jane Njaweh onok nang nduwur dewe, lapo Njaweh iku mudun sampe semene?” (kok bisa loh, bukannya dia harusnya ada di tempat yang paling atas, ngapain dia sampai turun sejauh ini?)
Semua orang yg melihat Puteri kemudian tersadar akan sesuatu, dengan perlahan mereka semua kemudian beralih memandang kearah Riski,
“soale kembang sing iki wangine semerbak sampe kabeh teko siji nggal siji” (karena bunga yang satu ini wanginya benar-benar harum sampai semuanya datang satu persatu) kata Riski menirukan cara bicara Nyai kepada semua orang yang ada di tempat ini.
tidak ada lagi dari mereka yg berbicara, selepas Riski mengatakan itu.. rasa-rasanya semuanya sudah mengerti penyebab sosok yg paling dihindari di gunung ini sampai turun sejauh ini, Prio tetap mengatakan untuk tidak menoleh kebelakang, meski pun Prio tidak menjelaskan akibatnya.
“kurang sak jam maneh SOROP mas, piyeee opo lanjut opo leren sek nang kene?” (kurang satu jam lagi MASA PERALIHAN, gimana? apa tetap melanjutkan atau berhenti sebentar di sini?) kata Lika yg bertanya kepada Prio, sembari berjalan Prio seperti orang yg sedang melamun,
dia tidak fokus dengan pembicaraan ini, sementara di atas Riski melambatkan langkah kakinya agar dia bisa menguping apa yg sedang Lika dan Prio sedang bicarakan.
“Lanjut Lik, tapi kabeh kudu paham nek situasine iki wes diluar kendali ne kene, piyee iki, Njaweh sampek mudun, asuu!!” (lanjut Lik, tapi semua harus paham dengan situasinya, ini sudah diluar kendali kita, gimana ini, Njaweh sampai turun, anjing!!) bentak Prio yg marah,
“Lah ya mas aku yo gak paham kok sampai bangsat sitok iki melu-melu mudun, sakjane lak gak ngene carane!! Opo gara-gara…” (Lah iya mas aku juga gak paham kok bisa si bangsat satu ini ikut-ikut turun, seharunya kan gak begini caranya!! Apa gara-gara..) Lika menatap punggung Riski
Prio kemudian menjawab dengan suara yg setengah berbisik, “opo kene salah gowo kembang yo, Kembang laruk sing kene gowo iki ambu—ne wangi sak wangi-wangine kembang, mergo iku sing nang duwur siji gal siji pasti mudun”
(apa kita sudah salah bawa kembang, Kembang Laruk yang kita bawa ini aromanya—wangi sewangi-wanginya bunga, karena itu yang di atas pasti turun satu persatu)
Lika kemudian berhenti berjalan, Prio pun ikut berhenti. tapi Prio tak berani melihat kebelakang, dia menunggu Lika menyusul dirinya dan berbicara, “artine sak iki onok kemungkinan nek demit siji iku yo bakal teko.. onok kesempatan kanggo nolong si mbak?”
(apa itu artinya sekarang ada kemungkinan kalau setan yang satu itu juga akan datang.. ada kesempatan untuk bisa menolong si mbak?)

Prio mengangguk. “sakjane ngunu, sawise pos keempat, kene bakalan eroh nang ndi mbak mu disingitno rung tahun kepungkur iki”
(seharusnya begitu, setelah melewati pos keempat, kita akan tau di mana mbakmu selama ini disembunyikan selama dua tahun belakangan ini)
Waktu terus berjalan, sampailah mereka pada titik hutan yg banyak ditumbuhi tanaman liar bersemak belukar, di atas sini, suhu udara semakin dingin dikarenakan hari juga mulai gelap, selain itu hujan juga tak kunjung reda, Riski menggigil sembari mengusap-usapkan tangan,
Puteri kemudian memberitahu, beberapa menit lagi waktu SOROP akan segera dimulai..

Prio yg berada dibarisan paling belakang kemudian berjalan semakin cepat untuk menyusul yg lain, di sana di bawah pohon pinus, Prio kemudian menjelaskan permainannya,
“ojok onok siji sing wani-wani noleh nang mburi apa pun yang terjadi!! Sekali pun kowe krungu suara ne kancamu jalok tulung.. ojok direken, iling.. sampe aku ngomong aman, kowe kabeh kudu nuruti aku, nek igak..!! nek igak…” Prio sempat menelan ludah, “aku karo Lika ra jamin-
-kowe bakal iso mbalik dalam keadaan urip” (jangan ada satu pun orang yg berani-beraninya melihat kebelakang apa pun yang terjadi!! Sekali pun kalian mendengar suara temanmu sendiri minta tolong.. jangan diperdulikan, ingat.. sampai aku bilang aman!! Kalian semua harus menuruti-
apa kataku, kalau tidak..!! kalau tidak..!! aku tidak bisa menjamin kalian bisa kembali dalam keadaan hidup-hidup)
Puteri, Andris, Koco dan Riski, semuanya kemudian mengangguk dalam kondisi saling melihat kepunggung masing-masing, Prio kemudian menjelaskan lebih lanjut, urutan pendakian ini dan tidak boleh dirubah posisinya, mereka semua harus saling menjaga satu sama lain,
yg berada di depan adalah Andris dan Puteri, ditengah-tengah ada Riski dan Koco, sementara dibagian paling belakang ada Lika dan Prio. urutan ini tak boleh berubah sampai dipos keempat.
Mereka saling memberi botol minum yg tersisa, meneguknya sebelum wajah mereka melihat waktu SOROP yg pada akhirnya tiba. Mendadak angin dingin berhembus pelan menyapu badan mereka, tapi anegnya hembusan angin yg ini membuat degup jantung mereka berdetak semakin cepat,
perasaan ini adalah seburuk-buruknya perasaan yang pernah Riski dan yang lain rasakan satu sama lain.
Dengan cepat, semua orang kemudian melangkah lebih cepat dan tegas dari sebelumnya, Riski hanya mendengar derap kaki teman-temannya saja, semua orang nampak ingin segera sampai ke pos keempat, Riski juga hanya bisa melihat punggung tiga orang yang ada dihadapannya,
Riski terus tertuju pada punggung Puteri, Andris dan Koco, dia sama sekali tidak bisa melihat Lika dan Prio yg ada dibelakang, waktu itu kabut sudah mulai menyelimuti sela—sela pepohonan, Riski belum pernah merasakan kalau sekujur badannya saat ini kedinginan sekaligus ketakutan.
Beberapa kali juga Riski seperti melihat ada wajah-wajah manusia yg mengintip dari celah-celah pepohonan, mereka diselimuti oleh kabut yg tebal, bersama-sama mereka saling mengingatkan satu sama lain, “ra usah direken, lurus.. ndelok nang ngarep ae!!”
(tidak usah diperdulikan, lurus saja dan lihat kedepan!!) teriak Puteri, tapi sedikit demi sedikit, perasaan was-was dengan sosok-sosok yg memperhatikan mereka semakin kentara, mereka semakin menunjukkan eksistensinya, hujan mulai reda meski pun masih rintik-rintik,
Riski mulai melepaskan penutup kepalanya, dia masih berjalan mengikuti punggung Koco yg ada dihadapannya, sebelum tiba-tiba saja dia mendengar dengan jelas suara jeritan Lika yg datang dari arah belakang, sontak hal ini membuat tubuh Riski berhenti bergerak. Riski mematung diam.
Melihat ada yg aneh pada tubuh Riski yg tiba-tiba diam, Lika cepat-cepat berkata “onok opooo!! Kowe ra usah noleh!! Ojok percoyo.. aku karo Prio gak popo…!!” (ada apaa!! Kamu gak usah berbalik!! Jangan percaya.. aku sama Prio baik-baik saja..!!)
setelah Lika mengatakan hal itu, tak lama kemudian terdengar suara tertawa yg seperti sedang menertawakan Riski..”Hihihihi…” suaranya seperti suara anak-anak kecil yg cekikikan, anehnya sepertinya hanya Riski yg bisa mendengarnya.
Lika kemudian bertanya, “kowe sempet mandek perkoro opo?” (kamu tadi sempat berhenti karena apa?)

Riski kemudian menjawab, “mau.. aku krungu koyok onok suaramu jerit, tak kiro awakmu jalok tolong” (tadi.. aku dengar kaya ada suaramu yg menjerit, ku kira kamu meminta tolong)
Lika kemudian berkata, “igak!! Aku gak jerit ket mau, tambah aku ra eroh nek onok suara, tapi aku paham awakmu pas sempet mandek pasti onok opo-opo, mangkane awakmu dideleh nang tengah”
(tidak!! Aku tidak berteriak tadi, malah aku tidak tau kalau ada suara, tapi aku paham kalau kamu sempat berhenti pasti ada apa-apanya, makanya kamu ditaruh diposisi tengah)
Seketika Riski hanya bisa membatin, tipu muslihat sosok ini jauh lebih sulit dibandingkan Nyai yg menunjukkan wujudnya secara terang-terangan. Prio kemudian ikut berkata, “ojok sampe kowe ndelok Njaweh!! Percoyo karo aku, ojok kebujuk Ris karo demit siji iki”
(jangan sampai kamu terkena tipu dayanya!! Percaya sama aku, jangan sampai tertipu Ris dengan setan yang satu ini) Riski hanya bisa mengangguk setelah mendengarnya, bagaimana pun juga Riski bisa merasakan kalau sosok yg mereka bicarakan ini jauh lebih gelap dibandingkan Nyai.
Rombongan terus berjalan naik, sementara suasana gelap sudah menyelimuti tempat ini, Riski dan yg lain sudah memegang senter ditangannya masing-masing, mereka masih mengikuti alur di mana Koco mengikuti punggung Andris begitu pula dengan Lika dan Prio yg berjalan mengikuti Riski.
Hujan deras kemudian kembali turun, membuat Riski menggunakan penutup mantel dikepalanya lagi yg sebelumnya dia turunkan, medan pendakian juga menjadi semakin sulit, di depan banyak ditemui hambatan tanah berlumpur, terpaksa satu persatu dari mereka mengeluarkan tenaga yg besar,
beberapa kali Riski juga menghela nafas berat karena selain medan yg menyusahkan, suhu udara juga terasa semakin dingin, teriakan-teriakan dari Puteri, Koco dan Prio saling bersahut-sahutan satu sama lain, mereka saling memberikan nasihat untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru
saat itu lah Riski kemudian mencium aroma yg sangat wangi, aroma dari sepuhan ratusan kembang melati, dan aroma ini berasal tepat dibelakang Riski, sontak Riski seketika terdiam, merinding, dia merasa kalau dibelakangnya ada sosok lain yg bergabung bersama dengan Lika dan Prio.
Tapi Riski mencoba abai dengan situasi ini, dia terus menerjang medan yg sulit itu kemudian tetap mengikuti punggung Koco yg juga mengikuti punggung Puteri dan Andris.

hanya saja semakin lama, wangi aroma melati membuat rasa penasarannya kian meninggi, apa Lika dalam bahaya?
kejadian ini kemudian mengingatkan Riski dengan apa yg dikatakan oleh nyai kepadanya. “tambah wangi tambah bahaya” (semakin wangi semakin berbahaya) entah kenapa, ia kemudian terngiang-ngiang dengan kalimat itu sampai tanpa sadari, kakinya menjejak pada tanah yang gembur.
sedangkan yg lain, Koco, Puteri dan Andris menapak pada akar-akar pohon, seketika Riski tersungkur jatuh sendirian diikuti teriakan Lika dan Prio yg terkejut melihat kegawatan ini, sayangnya mulai dari barisan Koco sampai Puteri tidak ada yg berani menoleh melihat kebelakang.
setidaknya itu yg Riski rasakan waktu itu sebelum tubuhnya menerjang jatuh kebawah, untungnya jatuhnya Riski tidak berakibat fatal karena tubuh Riski sempat tertahan menghantam akar pohon lain, otomatis sekarang Riski berada di barisan paling belakang, dan saat itu lah dia-
kemudian bisa melihat punggung Prio dan Lika yg ada dihadapannya, hal ini membuat Riski melotot tidak percaya dengan apa yg dia lihat.

disamping Lika dan Prio yg sedang diam sembari berteriak memanggil Riski, ada anak-anak kecil bergaun putih menggandeng tangan mereka.
anak-anak itu kemudian tertawa, suaranya sama persis dengan sosok yg menertawai Riski tadi, mereka menoleh melihat Riski dengan wajahnya yg buruk rupa.. seperti daging yg mengelupas dari tengkorak kepala mereka, kemudian.. anak-anak ini memberi gestur di bibir sembari menunjuk..
Riski yg merasakan getir ngilu disekujur tubuhnya tidak mengerti maksud dari sosok anak-anak kecil ini tapi Riski menyadari satu hal, aroma melati itu tidak berasal dari tubuh anak-anak misterius ini, tapi.. aroma melati itu masih berada tepat dibelakangnya..
tak berselang lama, Riski merasakan ada yg menyentuh bahunya, Riski termangu ketakutan melirik sepotong tangan dengan 5 ruas jari, pada umumnya manusia normal hanya memiliki 3 ruas pada setiap jarinya tapi yg ini sampai memiliki 5 ruas jari dengan kuku yg cukup panjang..
aroma sepuhan wangi melati tercium menyengat dan membuat Riski melengus menutup hidungnya, dari arah belakang suara berat itu kemudian terdengar ditelinga Riski, “Aaaweeeehhh” “Aaaaaweeeeeh”

terdengar seperti Aweeh atau mungkin Njaweeeeh..
anehnya, tubuh Riski kaku tidak berani bergerak sementara anak-anak perempuan itu terus tertawa seperti sengaja menertawai Riski, mereka terus menerus menunjuk Riski. Saat itu lah hal yg tidak pernah diduga-duga dilakukan oleh Prio,

pemuda itu menoleh kebelakang, wajahnya pucat
Prio kemudian berlari tunggang langgang naik keatas sendirian, tak perduli apa pun yg ada dihadapannya, Prio berlari sendirian melewati Koco, Puteri dan Andris..

Riski yg melihat peristiwa itu kemudian sadar kalau aroma melati yg ada dibelakangnya sudah lenyap..
Riski kemudian berdiri, dengan gestur yg sadar kalau Prio dalam bahaya besar, ia kemudian berlari menuju ke tempat Lika, dia mengingatkan kalau Njaweh saat ini sedang mengejar Prio, Lika yg mendengarnya nampak terkejut wajahnya pucat pasi, dia kemudian berkata, “ra bakal selamet”
(tidak akan selamat)

Lika kemudian menarik tangan Riski, membawanya mendekat kearah yg lain, Puteri tampak bingung kenapa tiba-tiba Prio berlari seperti itu, dengan wajah datar Lika berkata, “cepet ayok nang pos keempat” (cepat ayok kita pergi ke pos keempat)

Puteri hanya diam,
dia sadar ada yg tidak beres, sementara Riski melihat diatas dahan-dahan pohon semakin banyak anak-anak yg duduk menggoyang-goyangkan kakinya, mereka masih menertawai Riski, Koco dan Andris pun terpaksa memimpin di depan sebelum aroma itu kembali diikuti suaranya, “Kih kih kih”
Riski berkata kepada Lika, “Nyai mbalik”

mendengar itu, Lika mengangguk dan semua orang yg ada di sana berlari sekuat tenaga, Riski pun melakukan hal yg sama, sayup-sayup suara wanita tua itu tertawa semakin keras, sampai membuat Riski begidik ngeri melihat sosoknya yg merangkak
sembari berlari, Lika berteriak kepada Puteri.. “tiang e nang pos keempat kan?” (dia ada di pos keempat kan?)

Puteri mengangguk sembari berkata, “iyo, Nyai ra wani melbu pos keempat, soale wes bedo teritorine” (iya, nyai gak akan berani masuk ke sana, soalnya sudah beda wilayah)
Koco yg berlari paling depan ikut berteriak, “asline ki kene ki lapo mlayu, sak umur-umur gak tau aku ndaki terus mlayu koyok maling dikejar-kejar!!” (sebenarnya kita itu kenapa harus lari, seumur hidup aku gak pernah mendaki tapi lari kaya maling yg dikejar-kejar)
Riski dan yg lain tidak perduli, mereka saling berlari meninggalkan satu sama lain, Koco pun akhirnya tidak punya pilihan lain selain ikut mengejar Andris yg sudah berada didepannya, saat itu lah medan naik terlihat dan Puteri menunjuk itu..

pos keempat, akhirnya mereka sampai..
semua orang seketika melesat masuk ke dalam gedung tua yg berukuran sedang, Lika melihat ke jendela mengamati apa yg ada di luar, saat itu lah Riski mengatakan kalau Nyai sudah pergi hal ini terasa dari aroma wangi tubuhnya yg sudah lenyap..
tapi rupanya ini belum selesai, Andris yg pertama menyadari kalau di dalam bangunan tua ini ada seorang pendaki yg sedang duduk menatap mereka dengan pandangan mata yg dingin..

seorang pemuda biasa yg memiliki kulit pucat yg seperti mayat..
Riski kemudian meminta semua temannya mundur, dengan gemetar Riski kemudian berkata, kalau pemuda yg ada didepannya ini meski pun memakai baju pendaki tapi aroma tubuhnya wangi sekali.. seperti aroma minyak kasturi, Riski tau dia bukan manusia..
“kulo.. kesasar, mboten saget mudun, oleh a kulo gabung kaleh njenenengan sekalean?” (saya tersesat, gak bisa turun, boleh saya ikut bergabung sama kalian?)

Riski melihat Lika, bulukuduk Riski merinding didekat anak laki-laki ini, wajahnya nampak tak memiliki emosi..
“saya masih manusia kok” katanya, tapi Riski tidak percaya, Lika dan Puteri saling memandang,

“kalu saya menolak pun rasa-rasanya mas juga pasti ikut kan?”

laki-laki itu tersenyum menyeringai, “nggih.. saya akan tetap memaksa untuk ikut kalian”

semua orang seketika terdiam..
Lika kemudian tak memperdulikan laki-laki itu, sekarang Lika menagih janji kepada Puteri, “nang ndi kampunge? nang ndi tiang e?” (di mana kampungnya? dimana dia?)

“kudu onok sing Nyamben aku sek Lik” (harus ada yg Nyamben aku dulu Lik)
Andris kemudian maju, dia berkata kalau seharusnya ini pekerjaan Prio, tapi orang itu sudah pergi dan tidak tau bagaimana keadaannya, sementara Lika juga tidak mengerti caranya..

Riski dan Koco sama bingungnya, apa yg dimaksud Nyamben ini..
Puteri akhirnya menunjuk Andris, memaksa bocah itu melakukannya apa pun resikonya, mereka sudah berjalan sejauh ini, naik atau turun sama berbahayanya, Andris nampak ragu, dia ingin menolak tapi Lika melotot kearahnya, anak itu pun akhirnya setuju melakukannya..
didepan bangunan itu, Andris menyalakan kemenyan yg dibawa oleh Lika, dia juga mengambil daun pandan, sementara Puteri melpas seluruh pakaiannya di depan semua orang, Koco pun sampai terngangah melihatnya, tidak ada yg tau apa yg mau dilakukan Puteri..
hanya menggunakan pakaian dalam ditengah suhu yg sangat dingin, Puteri kemudian memberi gestur orang yg seperti bersimpuh di depan tungku kemenyan yg mengepulkan asap, Andris yg berdiri dibelakangnya kemudian melilit leher Puteri sampai anak itu tersedak dan meronta-ronta..
Riski dan Koco sempat mau beraksi menghentikan Andris tapi dihentikan Lika, sementara wajah Puteri sudah kemerahan, matanya melotot keatas, sebelum.. dia rubuh tak sadarkan diri..

Andris membuang kain yg dia gunakan untuk melilit sekaligus daun yg ada didalamnya..
saat Riski bertanya apa yg dilakukan oleh Andris yg memilih diam dan masuk ke bangunan sendirian, tiba-tiba tersentak saat melihat Puteri menciumi tubuh Riski, dia seperti binatang yg mengendus, dengan wajah menyeringai dia berkata, “Kembang iki iso ndudui nang ndi mbakmu.. nduk”
(kembang ini bisa menunjukkan dimana keberadaan kakakmu.. nak)

Riski seketika menyadari, aroma tubuh Puteri sudah berbeda, jika ada wangi yg bisa mengalahkan minyak kasturi, itu adalah wangi tubuh Puteri yg membuat Riski menggigil karena merinding..
sorot mata Puteri lebih seperti sorot mata orang yg sedang kosong, teduh, sejuk tapi menakutkan.

Riski sampai harus menghindarkan dirinya dari pandangan Puteri dibelakang tubuh Koco, sementara Koco tertuju melihat tubuh Puteri yang begitu berisi sembari sesekali menelan ludah.
“ndak usah takut mas Riski, saya ndak ada keinginan buat makan kamu walau pun aroma badanmu manis”

Riski melihat Lika, anak itu hanya melihat Puteri dengan ekspresi yg dingin.

tak lama kemudian Koco yg baru sadar dari lamunannya menyuruh semua orang masuk ke pos bangunan.
Puteri berdiri bersama dengan Lika, mereka seperti sedang berbicara, lagi-lagi Riski mendapati tingkah Puteri yg sedikit aneh, sesekali mereka seperti sedang melihat kearahnya.

Riski merasakan sesuatu yg tidak mengenakan di dalam tubuhnya, tapi dia masih belum tahu apa itu.
Andris duduk dipojok sembari menekuk lutut, sejak apa yg tadi dia lakukan kepada Puteri, bocah itu seakan memilih menyendiri jauh dari semua orang, sementara Riski masih bersama dengan Koco, duduk sambil mempelajari situasi, kecuali Koco matanya tidak berkedip melihat Puteri.
“cah kui ayu yo asline, tapi kok ra waras, moso adem-adem ngene mek gawe ngunu iku?” (anak itu cantik loh aslinya, tapi ya kok sedikit gak waras, masa dingin-dingin gini pake pakaian kaya gitu?) ujar Koco kepada Riski, dari semua orang yg di sini Koco memang yg paling tidak peka.
“kancamu onok sing nggandeli, cah wedok sing ayu tapi asline rupane remuk sampek gak kekiro” (temanmu ada yg menggantikan, seorang perempuan yg sangat cantik tapi rupa aslinya hancur sampai tidak terkira)

Riski terhenyak, ucapan itu keluar dari pemuda asing yg ada disampingnya.
Riski baru sadar kalau ada pemuda ini sejak tadi, terkadang hawa keberadaannya samar.

“ngapusi kowe, cah ayu koyok ngunu kok diomong remuk, ndasmu iku remuk” (bohong kamu, anak cantik gitu kok dibilang hancur, kepalamu itu yg remuk)

pemuda itu hanya tersenyum kepada Koco.
“sinten asmane?” (siapa nama anda?)

pemuda itu melihat Riski, melambaikan tangannya meminta Riski mendekatkan telinganya, Koco yg melihat itu sedikit kesal dengan tingkah laku orang yg ndak jelas asal usulnya ini.

setelah pemuda itu selesai berbisik, Riski nampak pucat.
Koco menyenggol badan Riski, saat itu lah bocah itu baru sadar, Koco memberikan gestur apa yg dibisiki oleh orang aneh yg ada disamping mereka ini, ketika Riski melihat pemuda itu lagi, satu jarinya berdiri tepat didepan mulut seakan memberitahu agar Riski tidak mengatakannya.
Lika menyingkir dari hadapan Puteri, ia mendekati Andris dan lagi-lagi mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.

Puteri yg sendirian kemudian menoleh melihat kearah Riski, ia tersenyum menyeringai lalu dengan tenang berjalan mendekati Riski, Koco masih tertuju pada tubuhnya.
“jancok mrene cok arek iki!! lapo iki..” kata Koco sambil menepuk-nepuk bahu Riski.

saat jarak diantara mereka terpaut beberapa langkah, Puteri berhenti lalu melirik pemuda yg juga sedang melihatnya, ada garis wajah yg jijik saat mata mereka bertemu.

tak lama pemuda itu pergi.
Puteri kemudian meminta Riski berdiri, ia mendekatkan wajahnya sambil berkata, “mari ngene nek sawut’e wes podo mudun, kabeh mlaku maneh yo, kampung e wes cidek, kowe karo Lika kudu gelem jamin cah-cah iki” (setelah ini kalau mendung sudah turun, semua jalan lagi ya, kampung-
-nya sudah dekat, kamu dan Lika harus mau menjamin anak-anak ini)

“Jamin?” Riski bingung dengan ungkapan itu, tapi Lika kemudian berkata, “iyo, aku karo Riski sing jamin” (iya aku dengan Riski yg akan menjamin)

Riski yg melihat Lika kemudian tak berkata apa-apa.
wajah pemuda yg menyingkir itu sempat menunduk seperti kecewa dengan keputusan Riski yg tidak melawan Lika sama sekali.

sementara Koco yg paling bingung dengan situasi ini hanya bisa hah heh, apalagi dia satu-satunya yg rasa-rasanya masih ingat dengan kawan mereka yaitu Prio.
“Prio piye cah kui rung mbalik loh? opo gak digoleki?” (Prio gimana, anak itu belum balik loh? apa gak dicari dulu?)

Lika mendekat kemudian berkata “Prio ra popo, engkok lak ketemu maneh, turu ae kowe.. engkok tak bugah kapan lanjut mlaku” (Prio gak papa, nanti pasti ketemu lagi
tidur saja dulu kalian, nanti kubangunin kalau lanjut jalan)

“Lanjut?” Koco tentu saja kaget, dia kira mau istirahat semalam di sini tapi rasa-rasanya Lika ingin tetap melanjutkan perjalanan meski pun masih butuh berjam-jam lagi sampai pagi datang.
“iyo lanjut, nek kowe ra gelem, turu ae nang kene, tapi ijen yo?” (iya lanjut, kalau kamu gak mau, tidur aja di sini, tapi sendirian ya?)

Koco pun menolak, sementara Puteri pergi, ia mengenakan lagi pakaian yg tadi dia kenakan, sembari matanya terus melihat Riski.
tak berselang lama hujan deras turun, sekuat apa pun Riski mencoba untuk tidur dia tidak bisa, ada sesuatu yg mengganjal, mulai dari jaminan, kemudian bisikan dari pemuda itu yg entah kenapa bisa membuat Riski begidik ngeri. “Bangsat!! kenapa jadi gini setan!!” ujarnya,
ketika waktu menunjukkan pukul 1 malam, saat itu lah Puteri berdiri dari tempatnya, diikuti Lika yg kemudian sadar, Andris dan Riski pun langsung mengangkat tas mereka, berikut si pemuda yg sejak tadi menghabiskan waktu duduk di teras pos bangunan, hujan jg mulai reda,
Koco adalah orang terakhir yg dibangunkan oleh Riski, meski awalnya bocah sial itu menolak dan memilih tetap tidur tapi pada akhirnya Koco mengalah dan memaksa tubuhnya untuk menembus tanah berlumpur akibat hujan tersebut.
mula-mula Puteri yg berjalan paling depan, sambil berkata dia hanya bisa mengantarkan rombongan ke kampung itu, jaminan yg sudah dibuat tidak menentukan langkah selanjutnya tapi Lika punya hutang kepada siapa pun yg ada pada diri Puteri. Riski memahami situasi ini.
pemuda itu berjalan paling belakang seolah menjauh dari Puteri, Riski sesekali mengawasi wajahnya yg benar-benar pucat, mata-nya cekung dengan bibir kebiru-biruan, sementara Lika yg berada dibelakang Riski berjalan tanpa perduli apa pun.
tanah yg tidak rata dengan kepadatannya yg menggembur menyulitkan medan ini, beberapa kali mereka nyaris terperosok atau terseok, di bawah pohon-pohon besar dan tinggi, satu persatu dari mereka mulai merasakan gejala yg aneh, dimulai sekujur badan mulai merinding.
Puteri menunjuk bahwa tidak lama lagi semua orang akan sampai di kampung itu, lebih baik tidak ada yg pergi atau berpencar karena semakin dekat kampung, akan semakin banyak warganya yg sudah siap menyambut.
barisan pohon-pohon besar itu semakin lebat dengan semak nyaris setinggi badan manusia, menutupi setiap sela dan tidak memberikan kesempatan mata untuk mengeksplor lebih jauh apa yg ada di depan, Lika berjalan semakin cepat, karena Puteri menambah kecepatan. termasuk si pemuda.
si pemuda yg awalnya ada di belakang tiba-tiba saja sudah melewati Riski dan Koco, tak ada yg tahu apa dan tujuan pemuda ini untuk memaksa tetap ikut, sementara Koco dari raut wajahnya sepertinya tubuhnya sedang dalam kondisi yg tidak menyenangkan, beberapa kali dia bernafas-
-lebih panjang.

saat jarak mereka terpaut sekitar sepuluh sampai dua belas langkah, Koco menarik ransel Riski sebelum berujar, “hancok kebelet ngeseng aku!!” (hancok, aku pengen buang air besar)

Riski yg mendengarnya hanya bisa diam sambil menatap Koco nanar.
Riski kemudian melihat kedepan hanya Andris yg nampaknya menyadari kalau Riski dan Koco tertinggal, Riski menjelaskan keadaannya, dengan terpaksa seluruh rombongan pun berhenti, hanya Lika yg nampak geram melihat kejadian ini, tak lama Puteri mendekat lalu menawarkan diri-
untuk mengantar Koco.

“gak popo, iki wes kawasan kampunge, ayok nang kunu onok godong kriwuk, tak terke” (gak papa, ini sudah masuk kawasan kampungnya, ayok disitu ada daun rimbun, kuantar)

Koco pun setuju, mereka berdua pergi menembus semak belukar yg tidak jauh dari mereka.
Riski yg merasa Koco dan Puteri sudah pergi terlalu lama mulai khawatir apalagi ia berkali-kali merasa sungkan dengan Lika yg melihatnya dengan sorot mata dingin, Riski pun berkata akan menyusul mereka berdua, saat itu Andris menawarkan diri tapi Riski menolak..
Riski menyingkirkan setiap daun rimbun yg menghalanginya, dedaunan ini menyerupai daun muris yg mempunyai dimensi lebar, terkadang sayatan rantingnya membuat kulit Riski terasa perih, saat menjelajah semakin jauh samar-samar terdengar suara Koco yg mengejan.. sebelum, Gedebuk!!
suaranya seperti karung jatuh atau sesuatu yg menyerupainya, Riski berhenti sebentar menyingkirkan rimbun yg menghalangi pandangannya dan lagi-lagi suara gedebuk jatuh terdengar lagi, bahkan hingga dua tiga kali dalam satu waktu yg berdekatan.
Riski tidak tahu suara apa itu tadi jadi dia melanjutkan langkahnya, ketika melewati satu pohon kembar dimana dibagian tengahnya terdapat tanah agak menurun disitulah Riski menemukan Koco sedang melihatnya dengan ekspresi orang yg bersusah payah mengeluarkan apa yg ada diperutnya
Riski pun menyingkir kebagian sisi pohon sambil berteriak, “ning ndi Puteri?” (kemana Puteri?)

suara Koco terdengar dimana dia mengatakan kalau Puteri ada dibagian sisi pohon yg lain, Riski pun mengerti, tiba-tiba suara gedebuk itu kembali dan mengejutkan mereka berdua.
“kowe krungu gak sih koyo onok suara rutuh?” (kamu dengar gak sih kaya ada suara jatuh?)

Koco yg ada dibawah menjawabnya, “krungu, suarane koyok kelopo rutuh” (kedengeran, suaranya kaya buah kelapa yg jatuh)

“ing ndi onok kelopo nang tengah gunung ngene ki?” (dimana ada pohon-
-kelapa ditengah hutan kaya gini?)

“lah iku mangkane” (lah ya itu makanya) jawab Koco, ditengah-tengah percakapan itu, Riski kemudian melihat benda jatuh itu dari arah tempat seharusnya Puteri sedang berada, begitupula dengan Koco suara benda jatuh juga terdengar dibelakangnya..
Riskipun berjalan mendekat melewati bagian tengah tempat Koco bisa melihat Riski, dengan langkah kaki pelan Riski melihat apa yg jatuh dari balik pohon itu saat dia melihat selembar kain yg membungkus, warnanya putih kusam dalam kondisi terbaring, karena samar Riski mengamatinya
di sana, Riski melihatnya, wajah manusia yg hitam legam seperti daging yg lama membusuk sedang melotot melihat Riski sembari mengangah lebar,

belum bergerak dari tempatnya, Riski mendengar suara Koco menjerit dengan suara lantang, “POCONG ALAS DADAKNO”

di situlah, Riski sadar..
baik di bawah mau pun di atas ranting-ranting pohon, nyaris seluruh tempat ini dihuni oleh puluhan bahkan mungkin lebih sosok pocong yg memiliki bentuk tubuh dan ukuran berbeda-beda.

wujud mereka sama dengan kulit wajah nyaris hancur seperti daging dicincang hingga merah hitam
saat itu lah Puteri datang dengan yg lain sambil berujar “aku salah, iki wes melbu kampung e, enggen sing digawe Koco ngising iku nggone mbok-mbok ane, nggon Sadekwoh sing butuh jaminan mau” (aku salah, ini ternyata sudah masuk kampungnya, tempat yg dipakai Koco buang air besar-
-itu tempat yg paling tua berada, tempat dia yg membutuhkan jaminan tadi)

Riski menoleh melihat Koco yg sudah kocar kacir dimana dibelakangnya ada wujud familiar yg Riski kenal,

seonggok Pocong dengan kain berwarna hitam legam hanya saja ukurannya tujuh kali manusia normal.
ji, ro, lu, pat,
muleh siji, ninggal papat..

@bacahorror_id #bacahorror
Image
Koco berlari sembari kedua tangannya menarik celananya, ia menuju ke tempat Riski dan yg lain sedang berada, sontak semua orang menutup hidung, tapi Koco segera mengelak dia bilang kalau meski pun dia baru saja membuang air tapi tidak sebau itu sampai kalian semua menutup hidung.
sayangnya tidak ada yg menggubris apa yg dikatakan oleh Koco, mereka menutup hidung bukan karena bau taik dari pantat Koco tapi dari bau aroma yg keluar dari badan sosok besar tinggi berwarna hitam yg membuat Riski merasa badannya menggigil.

benar, kalau sejak tadi Riski mencium
-bau yg wangi seperti kasturi, maka bau yg keluar dari badan mengerikan dari sosok pocong yg ganjil ini sangat busuk, lebih busuk dari bangkai mayat sembilan belas hari, bahkan Lika sampai mengalihkan pandangannya.
anehnya tak lama kemudian Koco baru mencium bau itu terlihat dari gestur wajahnya yg bingung. “cok, ambune opo iki? moso teko silitku?” (cok, bau apa ini? masa dari pantatku?)

hal ini juga terjadi pada Andris, kecuali Riski, Lika, si pemuda asing dan tentu saja Puteri.
saat itu lah Riski baru saja menyadari kalau baik Koco atau Andris mereka tidak bisa melihat sosok mengerikan yg jauh berdiri diantara dua pohon yg sangat besar di depan mereka.

di sini Riski melihat Puteri yg kemudian berjalan mendekat, gadis itu mendekati sosok itu.
Lika mendekati Riski yg disorot oleh yg lain, “mari ngene ewangono aku goleki mbak ku yo” (setelah ini bantu aku nyari mbak ku ya)

Riski hanya mengangguk, saat itu riski masih belum mengerti sama sekali, tujuan dari pendakian ini karena nampaknya semua mulai kabur.
dari bisikan itu, Lika lalu menuju ke tempat Andris, dia mengatakan sesuatu kepada anak itu yg tak lama kemudian berbicara dengan Koco.

Riski sempat melihat Koco menolak keras apa yg Andris katakan tapi kemudian wajahnya yg tegas tiba-tiba melunak saat Andris menjelaskan sesuatu
setelah cukup lama mereka menunggu Puteri kembali, akhirnya yg ditunggu-tunggu datang, Puteri berjalan ke tempat Lika dan Riski lalu menjelaskan semuanya, dibalik sana lah jalan menuju ke tempat beliau, tapi..

semua orang diam, menunggu Puteri mengatakan..
“kabeh Pangukuk sing nang ndukur gunung, kepingin kembang laruk sing kene gowo, termasuk sing ngerabeni mbakmu” (semua penunggu yg di atas gunung, ingin mendapatkan kembang laruk yg kita bawa, termasuk yg menikahi kakakmu)

Puteri mengatakan itu dengan senyuman yg menakutkan.
“kabeh?” tanya Lika sedikit terkejut,

“iyo kabeh, jare..” Puteri melihat ke sosok yg hanya berdiri saja melihat mereka, “koen eroh lah sopo sing tak maksud”

wajah Lika yg sepenuhnya percaya diri tiba-tiba menjadi pucat, Riski tahu kalau ini diluar rencana Lika.
“mari ngelewati iku, koen bakal nemoni kampung sing tak maksud, munggah berarti kudu siap nerimo kabeh, tapi” (setelah melewati itu, kita akan melihat kampung yg ku maksud, naik berarti harus siap menerima semua, tapi) Puteri melihat pemuda yg dibelakang “akeh sing gak mbalik”
Lika mengangguk, dia sudah berjalan sejauh ini, mundur atau kembali tidak ada dalam kamusnya, dia pun segera menyanggupi yg disambut oleh sosok yg ada di tubuh Puteri dengan senyuman yg semakin sumringah, sedangkan Riski tiba-tiba merinding luar biasa.
Malam itu ditengah hujan yg turun, Andris dan Koco berdiri menjauh, sementara Puteri berjalan lebih dulu diikuti Lika dan Riski, sementara si pemuda berjalan terakhir, seperti yg Lika katakan, Andris dan Koco berhenti sampai di sini.

sedangkan empat yg lain melanjutkannya.
belum pernah rasanya Riski mencium aroma yg sebusuk ini saat dia berjalan mendekati sosok yg benar-benar luar biasa besar, konon Puteri memanggil sosok itu dengan Nyepuh, yg paling di tuakan, Puteri atau sosok yg di dalam puteri juga sempat menanyai Riski, apa yg dia ketahui-
tentang gunung dan semestanya?

Riski menjawab untuk mendaki dan melihat apa yg ada di bawah mereka sebagai ucap syukur, dan sosok yg ada di dalam tubuh Puteri tersenyum,

“pengetahuanmu soal gunung iki cilik yo le, nang gunung onok sing gak bakalan koen ngerti”
(pengetahuanmu tentang gunung ternyata kecil ya, di gunung ada sesuatu yg bahkan kamu tidak akan pernah mengerti)
mereka semua melewati jalan setapak yg diapit pohon tempat sosok pocong hitam yg berbau busuk itu berdiri, disekitarnya nyaris ratusan bahkan ribuan pocong-pocong lain mengawasi keberangkatan mereka, atau mungkin kepergian yg tidak akan menemui jalan pulang.
kalau pernah mendengar di pedalaman jauh di dalam alas, di atas tanah yg terus naik, fajar seharusnya tiba tapi di sini, saat kaki itu berpijak di atas bebatuan berlumpur dengan banyak sekali pohon dan semak belukar saat itu lah, Riski sadar, di tempat ini pagi tidak pernah ada
udaranya begitu dingin nyaris menusuk tulang, sejauh mata memandang rumput setinggi mata kaki diinjak basah, banyak sekali akar pohon meliuk sepanjang perjalanan, suara gemerisik daun saat tertiup angin menambah atmosfer kalau Riski sudah berada di satu tempat yg lain..
Lika yg pertama bertanya, “nang ndi mbakku Ris?”

Riski tentu saja bingung, dia tahu Lika membawanya kesini untuk ini, untuk mencari kakaknya, tapi Riski benar-benar tidak tahu bagaimana cara menemukan kakak Lika yg wajah dewasanya saja belum pernah dia lihat, tapi–
sayup-sayup dari sela-sela pohon Riski melihat banyak sekali sosok manusia yg saling mengintip, saat Riski melihatnya wajah itu akan bersembunyi, saat Riski tidak melihatnya wajah itu mengintip, anehnya nampaknya hanya Riski yg tahu perihal ini..
semakin banyak pohon yg ada disekitar Riski, semakin banyak sekali wajah-wajah manusia, laki-laki, perempuan, nenek-nenek, anak-anak, mereka semua mengintip dan bersembunyi sembari melemparkan suara tertawa kecil yg membuat bulukuduk berdiri..
“Le, coba mok rasakno, coba mok amboni ambune arek iki.. koen kroso gak onok sing liane nang kene?” (nak, coba dirasakan, coba kamu cium aroma anak ini, kamu merasakan apa gak ada yg seperti dia di sini?) Puteri bertanya,

Riski menggelengkan kepalanya, dia tidak mencium apa pun.
Lika lalu membuka isi tasnya, ia berniat mengambil sesuatu yg ada di dalamnya, tapi sosok Puteri memberi peringatan, “ojok sek, gak usah mekso mergo nang kene kabeh isok eroh, entenono diluk engkas..” (jangan dulu, gak usah memaksakan diri karena disini semua bisa melihat, tunggu
-sebentar saja)

tapi dasarnya Lika sudah tidak perduli, di tangannya ada kain yg dilipat, si pemuda nampak terkejut saat melihat kain itu namun dia hanya diam saja, sementara Riski sejak tadi mendengar suara-suara dibalik pohon benar-benar menertawainya, tempat ini membuatnya-
kehilangan keseimbangan, pikirannya seperti pelan-pelan dimakan dan dibuat kacau. tapi Riski masih sadar, dia melihat kain putih yg ada di tangan Lika, saat lipatan kain itu di buka, Riski melihat dua butir gigi rahang.
wajah Puteri nampak melotot, meski pun dia tidak berkata apa-apa tapi raut wajahnya nampak menolak ide ini, sedangkan pemuda asing itu bersikap sama seperti Puteri membuat Riski bertanya-tanya mau apa dengan dua butir gigi rahang itu, apa yg mau Lika lakukan dengan itu..
“koen wes tau mati suri too.. aku oleh ndelok untu mu?” (kamu sudah pernah mati suri kan.. aku boleh lihat gigi mu?)

sosok Puteri kemudian sekali lagi mencoba menenangkan Lika, “nduk ojok ngene, koen gak ngerti opo sing mok lakoni!!!” (nak jangan begini, kamu gak tau apa yg kamu
-lakukan)

tapi Lika kemudian berkata, “koen mek dikirim karo wong iku, meneng o ae, iki urusan mbakku, tugasmu mek ngeterno aku tok” (kamu dikirim sama orang itu, diam saja, ini urusan keluargaku, tugasmu cuma mengantar)

Sosok Puteri pun diam, ia lalu menyeringai..
wajahnya nampak menahan kesal pada Lika, pemuda itu juga memilih diam, dari semua orang Riski yg masih melihat wajah-wajah mengintip itu lalu mendekati Lika yg sekarang berdiri di depan wajahnya, menyuruh Riski membuka mulutnya, tangan Lika lalu memeriksa satu persatu bagian gigi
“gak onok e mbak yu sing tanggal” (gak ada e mbak yg lepas) teriak Lika seolah memberitahu Puteri dan pemuda yg ada di belakang Riski, namun Riski sadar jika Lika seperti berpura-pura pun dengan yg lain yg hanya melihat, dan benar saja, tiba-tiba dengan gerakan tangan yg cekatan
-Lika memasukkannya begitu saja dua butir gigi itu kedalam mulut Riski lalu menahan bibirnya saat Riski kemudian menelannya bulat-bulat, Riski tentu saja terkejut dengan apa yg baru saja Lika lakukan sehingga reflek tangannya memukul Lika tepat dibagian wajahnya, menghajarnya..
iya, Riski memukul wajah Lika berkali-kali seperti orang yg kesetanan, apa yg baru Lika lakukan seperti kelewat batas, tapi mendadak kepala Riski seperti dihantam dengan balok kayu, sakit, sakit sekali, Puteri dan yg lain tidak mencoba menghentikannya, Riski hanya tau,
wajah Lika berdarah-darah tapi gadis itu masih sempat tertawa dengan mulut bersimbah darah, saat semuanya mulai temberam, Riski sudah jauh dari mereka–jauh–jauh sekali, karena dia mencium aroma yg dia suka, aroma tubuh Lika yg kuat, tapi Riski tahu itu bukan Lika..
Riski sudah berlari sendirian sejak tadi dan sejauh riski berlari, Lika dan yg lain tidak bisa mengerjarnya, Riski hanya mengikuti aroma itu.. bau insting yg menuntunnya, saat Riski sadar dia sudah sendirian di tempat ini, jauh masuk ke dalam hutan yg lebih dalam,
Riski melihat kesana-kemari, tapi tidak ada siapa pun, hari gelap tapi gelapnya seperti saat surup, dimana langit masih kebiruan dan di bawah pohon yg sangat tinggi Riski lalu mendengar orang-orang berkerumun di atas jalan setapak dengan derap kaki yg cepat,
Riski yg pucat kemudian datang memeriksa keatas bukit dengan rumput-rumput basah, dia pikir dia bisa meminta tolong derap langkah orang itu, Riski masih tak memahami tempatnya sedang berdiri dan benar saja seperti yg dia duga, tak jauh dari tempatnya ada segerombolan orang..
mereka berjalan berkerumun, menggunakan kaos oblong putih tanpa alas kaki, menapaki setapak demi setapak jalan yg menurun, Riski bersyukur dia tidak harus sendirian, maka cepat-cepat ia mendekat menuju ke gerombolan orang itu yg rupanya melantunkan sesuatu yg dia kenal,
ditengah-tengah rombongan ada empat sampai enam orang menandu sesuatu seperti kotak panjang, tinggal beberapa langkah lagi, jarak mereka tidak terlalu jauh, Riski berteriak sambil memanggil-manggil orang -orang itu, saat Riski mulai menyadari kalau rombongan orang itu-sedang-
menandu keranda mayat, saat itu lah Riski berhenti dan menghentikan langkahnya, sorak-sorai lantunan doa saat mengangkat mayit seketika Riski sadari namun terlambat sudah karena rombongan orang itu kemudian berhenti, sebelum menoleh bersama-sama melihat kearah Riski,
“Bajingan” umpat riski, menyadari jika yg ada dihadapannya adalah rombongan laki-laki berwajah pucat dengan luka seperti orang yg jatuh dari ketinggian, beberapa bola matanya tidak ada di wajahnya, tapi ada satu kesamaan diantara semua laki-laki ini, mereka menjulurkan lidah yg
-sangat-sangat panjang sambil berujar kepada Riski, “monggo, tasik enten enggon kangge njenenngan” (silahkan, masih ada tempat untuk anda)

Riski pun tunggang langgang berputar arah sambil melihat rombongan itu mengamatinya. Riski tahu kalau tempat ini dipenuhi oleh semua yg-
-dimaksud oleh Puteri.

“pengetahuanmu soal gunung iku cilik yo” (pengetahuanmu soal gunung itu masih sedikit ya)
Riski terus dan terus berlari, dia tahu di atas gunung memang masih banyak sekali hal-hal yg tidak dia ketahui, termasuk apa yg baru saja dia lihat dan segala jenis makhluk yg ada di dalamnya, namun, sekarang dia harus bagaimana kalau Lika dan yg lain saja sudah tidak ada..
disela-sela langkah kakinya yg semakin tidak tentu arah, tiba-tiba dari kejauhan Riski melihat seseorang berdiri seperti menungguinya, Puteri.

akhirnya Riski menemukan satu kawannya, atau mungkin tubuh kawannya yg entah dipakai oleh siapa.
“uwes ketemu ambek Ayut-ayutan?” (sudah ketemu dengan iring-iringan?) tanya Puteri,

“ayut-ayutan, biasane ngiteri gunung munggah mudun nganggo nggowo sukmo ne wong sing mati, awakmu eroh kan, nang gunung akeh wong sing mati” (iring-iringan, biasanya mengelilingi gunung,
-naik turun membawa sukmanya orang yg sudah mati, kamu sendiri tahu kan, di gunung banyak orang yg sudah mati)

Puteri mendekati Riski, menciumi aroma badannya, “wangi–wangi temenan awakmu yo”

jujur, waktu itu riski merasa tidak nyaman dengan kehadiran Puteri.
“gak usah wedi, aku mek takon kok, menurutmu sing mati mau mergo opo yo gok ndukur gunung?” (gak perlu takut, aku hanya bertanya kok, menurutmu yg mati karena perkara apa ya di atas gunung?)

Riski tidak menjawab, Puteri masih menunggu.. namun jawaban dari pertanyaan itu-
kemudian ditunjukkan oleh Puteri, “sak iki sing gok ndukur podo mudun, sing gok nisor podo munggah, mergo opo? mergo awakmu” (sekarang yg di atas semuanya turun, yg di bawah semuanya naik, karena apa? karena kamu)

Puteri kemudian menunjuk sesuatu di depannya,
di sana berdiri banyak sekali anak-anak sedang berdiri, puluhan atau mungkin lebih dari itu, mereka berdiri dengan kepala dililit kain hingga darah yg merembas keluar terlihat, “pertanyaanku mau jawabane, tumbal”
“arek cilik sing mok delok gok ngarepmu iku mati perkoro tumbal, sak iki nang kene, iku nggone wong sing ngadek gok antara urip lan mati, koen eroh nek sing njupuk sukmo ne mbak e Lika iku sing manunggal, sing nyekel gunung iki, awakmu sek mikir isok urip?”
(anak kecil yg kamu lihat sekarang itu mati karena tumbal, sekarang di sini itu tempatnya orang diantara hidup dan mati, kamu tau kalau yg mengambil sukma kakaknya Lika itu yg paling tinggi, dia yg memegang gunung ini, kamu masih berpikir bisa hidup?)
saat Puteri mengatakan itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara gending gamelan pergelaran seperti dimainkan dengan sangat meriah, kemudian anak-anak kecil yg kepalanya dililit dengan kain putih menunjuk keatas, Riski yg bingung menatap Puteri yg menyeringai,
tak lama kemudian dia mengatakannya,

“sing diomongno wes teko, kanggo jemput awakmu, kembang laruk sing wangine ngalah-ngalahi kembang suoko” (yg dibicarakan sudah datang, untuk menjemput dirimu, kembang laruk yg aromanya mengalahkan bunga Suoko)
Puteri melihat Riski, cara melihat gadis itu tak sama lagi, bibirnya menyeringai dengan posisi badan berdiri tegak sementara dibelakangnya barisan anak kecil yg setinggi pinggang orang dewasa, semuanya tertuju ke tempat Riski sedang berdiri..
Puteri kemudian menekuk satu kakinya seperti gerakan seseorang sedang bersiap menari, satu tangannya di atas kepala sementara tangan yg lain menekuk disamping pinggang, saat itu terjadi, puluhan atau ratusan anak kecil itu tiba-tiba menunjuk Riski yg tentu saja kebingungan.
aroma yg belum pernah Riski cium tiba-tiba saja muncul sekelibat, dan itu adalah aroma yg sama seperti aroma pada selembar kain yg diberikan oleh Lika.

sepertinya.. Riski tau kemana dia harus pergi, iya. semua pemandangan mengerikan itu seperti merujuk pada satu hal,
“bade ten pundi le..” (mau pergi kemana nak..) kata Puteri, suara gadis itu sudah berubah total, kali ini terdengar tipis tapi terasa begitu mengancam, Puteri menggedek-gedekkan kepalanya,

“ket awal koen iku janne ojok gelem munggah nang gunung le.. mergo,” Puteri tersenyum,
(sejak semula kamu itu seharusnya jangan mau naik keatas gunung nak.. karena..)

“karena..”

dari ujung mata Puteri keluar sesuatu, seperti cairan berwarna merah kehitaman, Puteri juga menunjukkan gigi-giginya yg terlihat saling bergemeletak, darah keluar dari celah-celah gusi..
“sing wes munggah, opo meneh nggowo Kembang Laruk iku gak iso muleh” (yg sudah naik, apalagi kalau sudah membawa Kembang laruk gak bisa pulang)

Puteri tertawa, ekspresi wajahnya seperti seseorang yg sudah kehilangan akal, Riski juga merasakan ada yg ganjil dengan tubuhnya.
bagian daging gadis itu seperti menyusut sampai sela-sela tulang di bawah lehernya nampak menonjol, ada sesuatu yg terjadi dengan gadis itu, hanya Riski tidak tahu apa itu.

tapi yg paling gila dari semua itu ialah, Puteri kemudian menggaruk wajahnya, ia terus melakukannya.
awalnya hanya garukan kecil sambil terus tertawa seperti orang yg sudah sinting, semakin lama semakin keras, warna kemerahan kemudian mulai timbul di pipi dan bagian bawah matanya, tapi Puteri terus menggaruknya- dia garuk dan terus dia garuk,
seluruh badannya juga semakin menyusut hingga di titik, badan Puteri yg sebelumnya berisi kini seperti tulang kering, dia kini berdiri dengan leher yg kesusahan menahan batok kepala setelahnya baru lah tawa itu pecah dan Puteri memuntahkan seonggok daging keluar dari mulutnya,
tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan setiap kali benda berlendir itu keluar, anak kecil yg ada di belakangnya seperti membentuk gerakan tangan orang yg menyembah, Riski yg melihat itu bingung antara apakah dia harus lari atau membantu Puteri yg dari ekspresi wajahnya nampak-
sedang putus asa.

tapi seiring apa yg Puteri lakukan, Riski menyadari sesuatu, gerak gerik mata Puteri, diikuti lehernya yg mulai kembali normal, gadis itu seperti memberi tanda agar Riski segera pergi meninggalkan tempat ini.

hanya saja Riski masih bimbang untuk melakukannya.
saat itu lah, Riski kemudian melihat masing-masing dari dua jari Puteri merogoh masuk ke dalam mulut, sementara mata Puteri melihat keatas.. tersiksa, ada sesuatu yg akan dia ambil, sesuatu yg paling dia ingin keluarkan, sekujur pada bagian leher menunjukkan urat yg menonjol,
Riski bisa melihat jika gadis itu kesakitan, gadis itu benar-benar tersiksa dengan sesuatu yg sedang dia pikul, sementara sesuatu yg berwarna hitam panjang dan menyerupai sulur rambut mulai terlihat, tapi sebelum Riski tahu apa itu, Riski dikejutkan dengan sesuatu yg menyentuhnya
Riski menoleh mendapati jika satu tangannya digenggam oleh tangan kecil dari salah satu anak yg entah kapan tiba-tiba sudah berada di sampingnya, Riski terhenyak sepersekian detik sebelum anak itu tiba-tiba membuka selembar kain yg menutupi kepalanya, sembari berujar..
“MLAYUUUOOOOOOOO!!!” Dosoh, wes teko!!”

Riski menjerit saat melihat kepala anak itu yg mana bagian batok kepalanya terbelah tapi tak terpisah, satu mata anak itu sudah hilang, Riski seketika merinding tapi itu belum seberapa karena tiba-tiba saja anak itu memelintir kepalanya,
iya. Riski melihat bagaimana leher anak yg masih kecil itu memutar dengan sendirinya hingga tulang yg ada di bawah leher menyembul keluar dan itu terjadi karena sesuatu yg ada di belakang Puteri, benar, Riski melihat dari sudut mata, yg mana saat ini Puteri sedang bersimpuh,
Puteri tertawa tapi bukan suara tawa yg seperti tadi, suara tertawa yg seperti sedang meremehkan, bukan meremehkan Riski tapi meremehkan sesuatu yg lain, di sana Puteri juga bicara meski pun suaranya sedikit tertahan, “ojok ndelok!! ojok ndelok sek, nek aku ngomong mlayu,,mlayu”
“jangan di lihat!! jangan di lihat dulu, kalau aku bilang lari.. lari!!”

Riski hanya bisa mematung sembari menelan ludah, dan suara itu timbul, Riski tahu ada aroma yg seperti aroma badan saudara Lika, hanya saja tersamar dengan bau lain, “gak popo le, aku too sing digoleki”
(gak papa nak, aku kan yg dicari)

suaranya ini jauh lebih mencekam dari suara apa pun yg pernah Riski dengar, suara seperti wanita tapi sedikit lebih berat.. Riski sebenarnya ingin melihat bentuk dan wujud dari sosok itu, dia bilang dia yg Riski cari, atau yg Lika cari..
Puteri masih tertawa getir sebelum mulai menangis sesenggukkan, “salah!! iki salah!! iki salah” kata Puteri saat Riski tidak bisa melihatnya karena sosok itu masih berdiri di belakang Puteri, ia berujar meski pun tidak tahu pada siapa dia sedang bicara,
“kabeh sing gok nduwur iki sak jane ancen gak oleh di delok ambek menungso, nang nduwur gunung iku bedo karo gok nduwur lemah biasa” (semua yg ada di atas ini ternyata memang tidak boleh di lihat oleh mata manusia, di atas gunung itu berbeda dengan di atas tanah biasa”
“mari ki.. mari ki..” (sebentar lagi.. sebentar lagi..)

Riski kemudian melihat anak kecil yg memenuhi tempat ini, masing-masing dari mereka mulai bergerak, satu tangan mereka mulai di atas kepala, sementara suara tangis Puteri masih terdengar meski pun semakin lama semakin lemah
saat itu lah, Puteri kemudian menjerit dan dari sudut mata Riski, Puteri menoleh kebelakang, itu juga menjadi bagian terakhir sebelum Riski berlari meninggalkan tempat itu.. tanah, pohon, langit, semuanya terasa hambar, dan Riski sempat melihat wujud kepala wanita tanpa wajah..
Riski menembus apa pun yg ada di depan, yg ada di belakang tadi memang tercium seperti saudara kembar Lika, tapi yg tidak disadari aromanya berbeda dengan yg sekelibat lewat tadi, Riski berpikir jika yg dibelakang bukan yg benar-benar dia cari, tapi bagaimana bisa-
-aroma mereka nyaris mirip, saat itu Riski teringat dengan apa yg di lakukan oleh Andris kepada Puteri, apa mungkin sejak awal, Andris salah mbubat, Puteri salah membawa siapa yg seharusnya dia bawa, tapi di tempat yg nyaris selalu membuat sekujur badan Riski merinding,
dia kemudian melihat sesuatu yg lain di depannya, sesuatu yg sedang berdiri di samping pohon, sosok itu bersandar tangan pada pohon di samping tanah yg menapak naik, Riski terdiam sejenak sebelum menyadari celana yg dipakai oleh sosok itu.. Riski pun mendekati,
melihat lebih dekat, sosok itu bertelanjang dada, dan bernafas lebih cepat seperti orang kelelahan, Riski terus mendekat karena jujur, dia sudah terpisah jauh dengan anak-anak yg lain, apalagi Puteri juga sudah bernasib seperti itu, jadi tidak ada yg tau lagi apa yg harus Riski-
lakukan… ia pun mendekati sosok itu, nafasnya nampak memburu dan dia membelakangi Riski,
selangkah demi selangkah Riski terus mendekat, dari cara berpijaknya Riski merasa mengenalinya, dan benar saja saat Riski melihat bahu dari sosok asing itu, Riski mengenalinya, tidak salah lagi itu adalah Priyo, bagaimana mungkin pada akhirnya Riski bisa bertemu lagi dengan Priyo
cepat-cepat dia mendekat dan sosok itu nampaknya menyadari kalau ada yg sedang berlari mendekatinya, anehnya, Priyo tak kunjung berbalik, ia baru menyadari kehadiran seseorang saat Riski mulai menepuk bahunya, dan saat wajah sosok yg menyerupai Priyo itu menoleh menatapnya,.
Riski seketika terhenyak diam di tempatnya, karena Priyo rupanya sudah kehilangan matanya..

“ku ambil mata ku agar Njaweh gak mengejarku…”

ujar Priyo yg kemudian tertawa terbahak-bahak..
Bagian Akhir.

dulu, orang-orang saling membicarakan cerita pendakian ini, berawal dari satu mulut sampai ke mulut yg lain, mereka bilang yg naik ada 6 orang, tapi yg turun?

hanya dia, saja.
Image
Priyo tahu yg ada di dekatnya adalah Riski, meski pun pemuda itu belum mengatakan apa pun, Priyo dengan tanpa bola mata benar-benar terlihat mengerikan, maksudnya orang macam apa yg bisa melihat hal itu di depan matanya, pantas lah kalau waktu itu Riski sempat ragu dan takut.
tapi Priyo awe-awe, memanggil Riski dengan meambai-lambaikan tangannya, meski arah yg dia tuju berbeda dengan tempat Riski berdiri, melihat hal itu, Riski merasa kasihan pun dia juga penasaran, sebenarnya apa yg terjadi dengan Priyo, seberapa buruk Njaweh itu.
ketika wajah Riski sudah berhadap-hadapan dengan Priyo, saat itu lah pemuda itu meraba-raba wajah Riski seperti memastikan sesuatu, dengan nafas tersenggal-senggal, Priyo mengatakan, “mlayu, mlayu mas.. kowe gak eroh Doso iku koyo opo, aku salah!! aku salah!! wes nuruti Lika!!”
Riski tentu saja bingung dengan maksud ucapan Priyo, kenapa anak ini tiba-tiba berubah sikap, kenapa dia menyuruhnya lari, kalau pun lari harus kemana dia, banyak sekali pertanyaan yg sekarang berkumpul di kepala Riski, sebelum dia mengatakan sesuatu yg membuatnya terkejut.
“kaet awal, Lika iku wes gur pengen mati.. koen, aku mbek liyane, sak jane wes diapusi karo cah iku, gak onok keinginan arek iku nulung dulur’e, murni kepingin mati tapi arek iku sek dijeret karo omongan bapak e”
(dari awal, Lika itu sudah ingin mati.. kamu, aku dan yg lain, itu sudah dibohongi anak itu, gak ada keinginan anak itu pengen nolong saudarinya, murni hanya ingin mati tapi bapaknya masih memasrahi sesuatu kepadanya..)
Riski semakin bingung, kemana arah pembicaraan Priyo sebenarnya, kenapa sekarang orang yg paling pendiam sekarang jadi lebih banyak bicara, tapi Riski tidak bisa membuang perasaan simpati melihat kondisi Priyo yg benar-benar berantakan.
“uwes, uwes, sak iki, ndi tanganmu, ayok nek kudu muleh, ayok muleh, aku kepisah karo liane..” (sudah, sudah, sekarang, kesini kan tanganmu, ayok kalau memang harus pulang, mari kita pulang, aku terpisah sama yg lain) ujar Riski mencoba membopong tubuh yg lebih besar dari dirinya
tapi Priyo benar-benar seperti orang yg sudah sinting, meski pun dia mengulurkan tangannya dan membuat Riski harus menahan bobot tubuhnya, mulutnya tidak bisa berhenti meracau, ia terus berbicara hal-hal yg buruk tentang Lika, tentang kenapa dia mau di bodohi anak yg lebih muda.
dari sekian banyak kicauan dan omong kosong yg keluar dari mulut Priyo, Riski kemudian tertegun saat Priyo menyebut kalau sejak kecil, Lika diperlakukan buruk oleh bapaknya, sejak kecil saudarinya yg selalu di sayang dan dianggap anak, bahkan Priyo tahu sesuatu yg tidak banyak-
-orang tahu. satu rahasia kecil yg paling gelap dari latar belakang keluarga Lika.

tapi Riski benar-benar tidak perduli, maksudnya dengan kondisi yg sudah terjadi, mendengar atau mengatakan hal-hal seperti itu apakah masih penting, yg harus mereka berdua pikirkan, hanya satu.
cara untuk pulang, hanya itu saja.
Riski tidak pernah tahu kemana dia harus pergi, jadi dia hanya membopong tubuh Priyo di atas jalan setapak, menahan bobot tubuh orang ini benar-benar menguras tenaga, ketika sejengkal demi sejengkal tanah sudah mereka telusuri, saat itu juga entah kenapa Riski terbesit pikiran-
-tentang wajah mbah Kung yg kali terakhir Riski melihatnya, orang tua itu tampak kecewa kepadanya.

pikiran Riski tentang orang tua itu terus menerus muncul sepanjang perjalanan, sementara Priyo, di balik keburukan nasib yg sudah menimpanya, ia masih saja meracau tentang hal-hal-
-buruk, hingga pada satu titik saat Riski masih berusaha sekuat tenaga membopong Priyo dengan susah payah, ia teringat dengan perkataan mbah Kung kepadanya.

“ojok gampang percoyo karo kanca-kancamu” (jangan mudah percaya dengan teman-temanmu)

Riski seketika berhenti,
iya, dia mendadak berhenti dan merasakan jika Priyo yg ada di sampingnya tampak berbeda, entah ini firasat atau apa, Riski merasakan sesuatu yg tidak beres.

Riski melirik satu tangan Priyo yg tersampir di bahu nya, melihat ruas jari-jarinya, lalu menghitungnya satu persatu..
“ji, ro, lu, pat, mo..” (tu, wa, ga, pat, ma)

Riski tercekat, dia pasti salah hitung, maka Riski kembali menghitung ruas pada jarinya sekali lagi..

“ji, ro, lu, pat… mo”

Riski menelan ludah, lalu mendengar suara Priyo tertawa tepat di sampingnya.
Riski tahu, dia tidak boleh melihatnya, maka meski pun suara yg ganjil itu terdengar di telinganya, Riski membuang muka, dan tangan yg ada di bahu Riski lalu merengkuhnya, erat.. erat sekali, sampai Riski menahan sesak yg cukup sakit di bagian lehernya, dia tidak boleh melihatnya
dilain pihak, Riski juga tidak tahu cara lepas dari sosok ini yg sekarang hanya bisa Riski gumamkan namanya, “Njaweh!!” “Njaweh” “Njaweh”

belum pernah Riski merasakan keringat yg keluar dari kening nya terasa sedingin ini, sekujur badan Riski juga lemas,
disudut matanya sebenarnya Riski sudah sangat ingin melihat wujud sosok ini, tapi bagian lain yg ada pada dirinya menolak, dia takut akan terjadi sesuatu yg mengerikan jika Riski melakukannya.

hingga Njaweh atau apa pun itu mengendus tubuhnya untuk kali kedua. sinting.
bukan hanya diam, sebenarnya Riski sudah mencoba untuk melepas rengkuhan dari sosok yg kini membuat kepalanya menempel pada sesuatu yg terasa lembab, mungkin badannya atau hidungnya, Riski tidak tahu tapi yg jelas, aromanya wangi namun lembab, hanya itu yg Riski rasakan.
sosok itu tak berbicara, layaknya nyai yg pernah Riski temui tapi kehadirannya benar-benar mengintimidasi, berbeda, jauh berbeda, apa memang benar semakin jauh dan tinggi gunung itu, penghuninya semakin ganas sampai seperti ini, bahkan Riski sampai terbesit untuk putus asa saja.
sampai Riski mendengar sebuah kerikil jatuh atau dilemparkan kearahnya, awalnya Riski tidak menyadarinya tapi semakin lama, semakin sering bebatuan kecil itu, Riski masih direngkuh, dia, sosok ini begitu suka mengendus tubuh Riski seperti ada yg dia cari pada dirinya.
di situ Riski melihat kaki, iya.. kaki orang telanjang dengan celana yg pernah Riski lihat,

Riski tidak bisa memastikan karena keterbatasan, lehernya tidak bisa memutar karena jika dia melakukannya pandangannya pasti menangkap bentuk Njaweh ini, tapi Riski tahu siapa yg berdiri
entah apa yg sedang dia lakukan, tapi perlahan-lahan Njaweh melepaskan Riski, jadi Riski hanya bisa meringkuk, sesak yg dia rasakan kini perlahan hilang, tapi Riski tidak bisa menoleh, dia juga tidak bisa berbicara dengan orang itu, orang yg pernah membisik di telinga Riski.
orang itu, orang yg meminta Riski kalau berhasil turun agar mengatakan kepada mbah Kung di mana jasadnya berada. dia cuma minta agar jasadnya bisa pulang.

Riski yg sejak pertama tahu kalau orang ini bukan manusia, bahkan sejak di bangunan itu. wanginya, berbeda, dan sekarang,
dia sudah menolongnya.

Riski pun bergegas pergi, meninggalkan tempat itu di mana Njaweh pasti saat ini sedang melumat orang itu.
awalnya Riski bisa lari, tapi lambat laun dia putus asa lagi, toh dia juga tidak kunjung melihat matahari, di sini rasanya akan terus menerus gelap, bahkan saat Riski kemudian duduk di bawah salah satu pohon trambesi, Riski mendengar suara itu lagi yg sepertinya lewat tak jauh-
dari tempatnya.

ya, para penduso itu yg sedang mengangkat keranda, benar. di sini pemandangan seperti itu sudah menjadi hal biasa, Riski pun rasa-rasanya tidak lagi perduli kalau harus mati di sini. dia tahu sejak awal sudah banyak yg memperingatkan, dasar manusia nya yg bodoh.
dan itu lah saat di mana, Riski akhirnya melihatnya.

benar, rasa susah, sedih, putus asa, semua campur aduk, Riski sudah menyiapkan dirinya untuk mati, tapi sekarang berdiri seseorang yg wanginya, wanginya dia cari, wangi dari bebauan paling wangi.

Riski melihat saudari Lika.
si Kembang Laruk, dia yg sama seperti dirinya, sedang tersenyum, sedang mengulurkan tangan. dia sepertinya meminta Riski agar mengikutinya.
putus asa, tidak bisa pulang, tidak bisa kembali, Riski kemudian berjalan setapak demi setapak di bawah tinggi dan besarnya pohon trambesi, akasia dan jenis pohon apa pun di atas ketinggian yg tidak Riski ketahui.

cara gadis itu berjalan, anggun namun cepat..
Riski mencoba mengimbangi bagaimana gadis itu berjalan, tapi tampaknya si gadis tidak perduli, sesekali dia menoleh lalu tersenyum, manis, manis sekali, benar-benar seperti pinang dibelah dua, bahkan kalau ada orang mengatakan dia adalah Lika yg Riski kenal, tampaknya dia percaya
suara angin malam berhembus, jeritan, tangisan, suara-suara sumbang dari segala penjuru hutan mulai terdengar, sosok yg menyerupai Lika itu lalu berhenti, berhenti di satu pohon dengan sulur merambat, dia duduk pada akarnya. menunggu Riski mendekatinya, sejengkal demi sejengkal..
Riski masih tidak tahu alasan kenapa dia membawanya ke tempat ini, dengan sabar Riski berusaha berkomunikasi, mengajaknya berbicara, tapi si gadis hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala, dia tak bisa bicara?

atau dia memang tidak mau bicara?
tak menunggu lama, dia menunjuk sisi bagian lain pohon yg besar itu, Riski yg tahu perihal tanda ini, melakukannya. dia berjalan perlahan-lahan, satu langkah demi langkah, melihat si gadis itu yg masih duduk menatapnya, sementara Riski memutari akar-akar menjulang pohon ini.
di sana, Riski melihat seseorang, seseorang yg Riski kenal, sosok yg tidak seharusnya dia lihat lagi, tapi sorot matanya, tampak menahan sakit yg luar biasa, Puteri.

Riski melihat Puteri, meringkuk dengan tulang menyembul keluar, gadis itu, sekujur badannya seperti badan boneka.
tapi saat Riski berniat mendekat, gadis itu menjerit, berteriak agar Riski terus berjalan, Riski hanya begidik ngeri, melihat kedua lutut gadis itu menonjol dengan darah segar yg menetes di atas tanah, dia seperti orang yg jatuh dari jurang, dan menahan sakit itu untuk hidup.
Riski kembali berjalan, sekali lagi pohon ini cukup besar untuk menutupi bagian-bagian akar-nya yg menyembul keluar, menciptakan rongga-rongga di setiap sisi nya.

tak terhitung Riski mendengar suara menjerit, suara tertawa, suara menangis, semua campur aduk menjadi satu.
di sisi yg lain setelah Puteri, Riski melihat seorang laki-laki, tubuhnya gempal dengan kulit sawo matang, rambutnya panjang keriting, dia meringkuk membelakangi Riski, tak perlu menunggu waktu lama bagi Riski untuk mengenali, sosok yg sempat diserupai oleh Njaweh. Priyo.
berbeda dengan kondisi Puteri yg tak seperti rupa manusia lagi, akibat sekujur tulang di badannya yg semuanya menyembul keluar, Priyo tampak baik-baik saja, kecuali dia hanya meringkuk tanpa baju, tanpa sepatu, dan masih membelakangi Riski.

Priyo yg sekarang tak bersuara.
tempat Priyo meringkuk duduk, tenang sekali, tak ada jeritan, tak ada tangisan bahkan tak ada suara. hening, hening sekali sampai membuat Riski merasa tidak nyaman. tapi Riski ingin melihat kondisi anak itu, maka dia mendekat, mendekat ke tempat Priyo sedang meringkuk sendirian.
nafas Riski tersenggal, sejujurnya melihat kondisi Puteri, sudah cukup membuat kepalaya penuh, sesekali Riski memukul kepalanya, dia seperti orang yg di bikin gila dengan segala kekacauan ini.

kini Riski sudah berada tepat di belakang Priyo, dengan keberanian yg tersisa, Riski-
menyentuh bahunya.

saat itu lah, Priyo menoleh, melihat ke tempat Riski sedang berdiri, dan betapa tersentaknya Riski saat melihat dari bagian pusar sampai ke ujung kening di bawah rambut, semua, semua yg ada di sekujur badan Priyo, rata, rata dengan darah yg menggenang.
layaknya bayi yg baru bisa merangkak dan meraba, Priyo menggerakkan tangannya berusaha menjangkau Riski yg kelabakan mundur, sinting, sinting, sebenarnya tempat apa ini.

Riski memukul kepalanya lagi, dia tidak mau terlarut, sementaraPriyo masih meraba-raba udara.
dia seperti sedang mencari di mana keberadaan orang yg baru saja menyentuh bahunya.

Riski pun mundur, dia berusaha untuk tak mengeluarkan suara, lalu lanjut berjalan memutari pohon ini, dimana dia bisa melihat rongga lain di samping akar yg menyembul keluar.
dan di sana lah, Riski kemudian melihat orang yg paling ingin dia lihat.

celana hitam, jaket cokelat lusuh yg melekat dan rambutnya yg hanya tinggal sebahu, meski pun, dia dalam posisi meringkuk, Riski bisa langsung tahu jika yg ada dihadapannya adalah Lika.
gadis itu meringkuk, menutupi wajahnya dengan lututnya, awalnya Riski hanya berdiri memandanginya, ia melihat apakah sosok yg ada di hadapannya benar-benar Lika,

Lika yg dia kenal, Lika yg dia pukul wajahnya, tapi dilihat dari mana pun, Lika yg ini adalah Lika yg dia kenal,
Riski pun mendekatinya, pelan, pelan, dan tampaknya dia menyadari kehadiran Riski, terlihat dia sempat bergerak meski pun hanya barang sedetik saja, Riski yg benar-benar lelah setelah melalui semua ini, kini berlutut menyentuh bahu Lika dan gadis itu mengangkat wajahnya..
tapi sebelum Riski melihat rupa Lika, sosok saudari Lika menahan kepalanya, dia membuat Lika kembali tertunduk dan menggandeng Riski untuk kembali berjalan, sementara sosok Lika seperti menjerit dalam posisi masih meringkuk, hanya saja suaranya tampak sumbang.. tak begitu jelas,
iya, Riski dituntun terus berjalan memutari pohon ini, di sana, dia melihat sosok yg lebih terlihat seperti seonggok daging, tak bersisa, Riski terus berjalan-berjalan dan terus berjalan hingga pada akhirnya dia sudah memutari pohon ini, dan di situah sosok itu baru berbicara..
“sing isok muleh mung siji, sing papat liyane tetep nang kene yo…” (yg boleh pulang cuma satu, yg empat lainnya tetap di sini ya…) ujar sosok yg menyerupai saudari Lika, namun, suaranya tak seperti suara seorang wanita, dia kemudian menyentuh wajah Riski, mempersilahkan duduk
sosok saudari Lika lalu mundur, sembari melihat Riski yg sedang duduk tepat di bawah pohon itu, wajahnya benar-benar tampak seperti sesuatu yg sangat gelap…

dia bersujud, seperti gerakan orang menyembah, sambil berujar lirih, dia berkata, “Dosoh sampun teka” (Dosoh sudah tiba)
Riski duduk seperti seorang raja, tapi ini bukan kemauan Riski, dia seperti melakukan ini di bawah kendali sesuatu, sesuatu yg saat ini berada tepat di belakangnya, Riski tak bisa melihatnya dengan jelas tapi dia sangat besar, tinggi, hitam dan aroma nya semilir lembut wangi..
di sana juga untuk pertama kali Riski melihat sesuatu, sosok nyai mengamatinya.. bersembunyi dari ballik riuk jelantir semak belukar, tak hanya Nyai, tapi sosok-sosok lain seperti wanita yg sangat cantik juga mengawasinya, meski pun Riski tak pernah melihatnya tapi Riski tau,
dia makhluk yg menyambut samben Andris kepada Puteri, dan yg paling mengejutkan, Riski melihat sosok yg sejak tadi tidak dia lihat, Njaweh menyerupai barong namun memiliki kepala yg panjang, lonjong, buruk sekali, hingga Riski tak sudi melihat wajahnya.
semakin lama, semakin banyak yg berkerumun, seperti tempat ini adalah pusat dari segalanya. berbagai bentuk, berbagai rupa, berbagai wujud, tak ada yg bisa Riski jelaskan, semua nya di luar batas, seperti makhluk yg membisik di dalam tubuh Puteri.
pengetahuan Riski tentang gunung ini, bagaikan setitik ujung kuku jari.

karena setelahnya. Riski terus dan terus mendekam di dalam sana. tidak pernah bisa pulang, kecuali, Kembang Laruk yg lainnya, menggantikannya.
Mbah Kung datang, dia duduk setelah meletakkan tampah berisikan kembang dan potongan daging ayam cemani dengan tiga butir telur. setelahnya, mbah Kung cerita, butuh waktu sembilan hari buat nemuin jasad Riski, sekarang mbah Kung yg menjaganya, menguburkannya di belakang rumah,
kalau dibilang menguburkan mungkin kurang tepat, yg benar menjaganya.

mbah Kung cuma minta waktu sebentar, walau pun perbedaan sebentar itu mungkin berbeda dengan dimensi tempat Riski berada. dia bilang Kembang Laruk itu bukan tentang orang yg mati bisa hidup lagi, bukan.
tapi, orang yg karena kematiannya, sukmanya jadi lebih pekat, dibilang mati dia hidup, dibilang hidup setengahnya mati

di samping sesajen itu, Mbah Kung juga memberitahu, saudari Lika sudah pulang, sudah kembali, sudah bisa bertemu bapaknya lagi, tapi Lika nya, dia masih di sini
selain Lika, dua yg lain, juga masih di sini, bahkan tidak ada yg seberuntung Riski karena jasad mereka tidak di temukan, malah mbah Kung menemukan jasad orang yg lain lagi.

jadi setiap Malam, setiap hari khusus, hari bumi nya orang sini, mereka masih akan menyalakan pendar,
berharap tanpa Kembang Laruk yg lain, Riski bisa kembali, tapi alam memiliki rahasianya sendiri.

Alam bergerak karena kerja ilahi, jadi Mbah Kung hanya bisa berjanji jika memang sudah waktunya, Riski seharusnya bisa pulang, tapi sampai tahun yg terus berganti,
Riski tak pernah kunjung kembali.
Mbah Kung memeluk Koco, orang yg paling sering menangis di luar rumahnya setiap kali datang dan melayat ke kediaman ini, Mbah Kung hanya bisa berpesan, kalau jadi manusia jangan nambeng, jangan memaksakan diri, karena sejatinya yg lebih tahu seharusnya lebih di dengar.
sejak saat itu, Koco hidup selayaknya orang yg benar dan tahu kalau memang di atas tanah gunung, hal di luar nalar itu memang ada.

Mbah Kung juga sudah mengatakan bagian yg tak diketahui Koco, sesuatu yg tak dia ceritakan dan biarlah menjadi rahasianya sendri yg di bawa mati.
yg bisa dia bagikan hanya, di mana Riski dan ketiga kenalannya berada. Lika, Puteri dan Priyo.

dan bagaimana mereka tidak akan pernah bisa pulang terkecuali si Kembang Laruk itu sendiri.
Maturnuwun.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top